Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 20 Juli 2016

TAJUK RENCANA: Menghentikan Spekulasi (Kompas)

Spekulasi soal perombakan kabinet kembali mencuat. Partai Golkar dikabarkan telah mengusulkan dua calon menteri kepada Presiden Joko Widodo.

Media membuat spekulasi soal pergantian menteri. Meskipun menyatakan perombakan kabinet merupakan hak Presiden Joko Widodo, pimpinan partai mulai bersuara minor dengan mendikotomikan: siapa pendukung loyal berkeringat dan siapa pendatang. Pada Pemilu 2014, Golkar mengusung calon presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan bersikap "oposisi" dengan pemerintah. Namun, ketika situasi berubah, sikap politik pun berubah.

Perilaku politik seakan bergerak tanpa prinsip. Padahal, jika mengutip Mahatma Gandhi, salah satu tujuh dosa sosial adalah berlangsungnya politik tanpa prinsip dan karakter. Praktik politik Indonesia hanyalah membenarkan apa yang ditulis Harold Lasswell, ilmuwan politik Amerika Serikat, bahwa politik hanyalah urusan siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana mendapatkannya.

Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto bahkan sudah menyatakan mendukung pencalonan kembali Presiden Joko Widodo pada Pemilu 2019. Sebelumnya, Partai Amanat Nasional menyatakan bergabung dengan pemerintahan. Boleh jadi itu cara masuk dalam kekuasaan?

Spekulasi itu sendiri menimbulkan ketidakpastian. Menteri yang namanya diisukan bakal diganti menjadi tidak nyaman dalam bekerja. Energi terkuras untuk itu. Kita memandang spekulasi politik itu harus dihentikan.

Menjadi hak presiden merombak kabinet atau tetap mempertahankan kabinet. Menteri adalah pembantu presiden. Dalam sistem tata negara kita, tidak ada pertanggungjawaban menteri, yang ada adalah pertanggungjawaban presiden. Buruk dan baiknya kinerja pemerintahan yang dijalankan para menterinya menjadi tanggung jawab presiden selaku kepala pemerintahan.

Kini, terpulang pada Presiden. Apakah merombak kabinet atau mempertahankannya? Menjadi pemahaman publik bahwa memang ada menteri yang kinerjanya kurang baik. Masalahnya bukan sekadar mengganti, melainkan siapa yang akan menggantikan. Apakah sosok menteri yang akan masuk itu punya kredibilitas dan kompetensi untuk menyelesaikan persoalan ekonomi, sosial, dan politik? Atau sosok menteri yang hanya representasi partai politik sebagai bayaran atas dukungan politik yang diberikan kepada pemerintah? Apakah sosok menteri yang akan masuk bisa memperbaiki tata kelolapemerintahan?

Jika perombakan kabinet hanya bagian dari politik akomodasi, perilaku politik sejujurnya tidak pernah berubah. Politik hanyalah urusan bagi-bagi kekuasaan dan masih jauh dari prinsip politik untuk memajukan kesejahteraan umum.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Juli 2016, di halaman 6 dengan judul "Menghentikan Spekulasi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger