Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 16 Agustus 2016

Dalam "Providentia Dei" (MOCHTAR PABOTTINGI)

Selama beberapa bulan terakhir sebelum memasuki detik-detik peringatan ulang tahun kemerdekaan kita yang ke-71, terbaca tak sedikit hal yang menyedihkan dan melorotkan harkat kehidupan kita sebagai bangsa.

Kita ikuti laku nista rutin yang terus berlaku dalam dunia peradilan. Kita prihatin akan bom waktu perpetuasi penajaman kesenjangan ekonomi. Kita merunduk mengikuti keterjangkitan korupsi dan praktik tak patut di dunia dan lembaga-lembaga pendidikan. Dan kita geram memantau laku kian serakah dan sewenang-wenang kaum pemodal dalam penambangan dan alih fungsi lahan serta reklamasi pantai yang terus merusak ekosistem, termasuk kedamaian kehidupan dan keamanan mata pencarian rakyat kecil di pelbagai bagian Tanah Air.

Kita juga dihadapkan pada luapan liar kejahatan seksual di kalangan remaja tanggung yang laku patut dan rasa malu seolah sirna; keteteran pemerintah dan prevalensi keterlibatan aparat penegak hukum dalam penyalahgunaan narkotika; benih-benih intoleransi dan/atau radikalisme agama yang masih terus terbetik di tengah kita; tersebarnya kartu BPJS palsu dan, sebelumnya, sama aibnya, vaksin palsu. Paling mutakhir terbaca berita perihal kemerosotan indeks demokrasi kita.

Tonggak-tonggak kegetiran di tengah kita sesungguhnya masih memanjang puluhan tahun ke belakang. Itu semua mudah menimbulkan rasa putus asa dan menyebarkan sinisme. Kita tahu jika menyebar, kedua penyakit jiwa itu merupakan awal kehancuran bangsa. Jelas, kita tak boleh bersikap sinis, apalagi berputus asa, kapan pun. Dalam paradigma iman, rasa putus asa ataupun sinisme menafikan aksioma kehidupan bahwa rahmat dan kasih Allah tiada hentinya mengalir, tercurah, dan peluangnya senantiasa terbuka bagi kita semua. Ia juga menafikan dua aksioma jalinan dialektisnya dalam kehidupan setiap individu dan kolektivitas. Aksioma pergulatan barisan cahaya dengan barisan kegelapan akan terus berlangsung alah-mengalahkan hingga akhir zaman juga berjalin dialektis dengan aksioma keberpihakan Tuhan pada barisan cahaya. Di sini, sangat penting adanya Providentia Dei-Penyelenggaraan Ilahi- sebagai penegasan keberpihakan itu.

Dalam paradigma iman, Providentia Deiberlaku dalam apa pun yang ada, hadir, berproses, berinteraksi, dan berlangsung di sepanjang kehidupan segenap makhluk di alam semesta, seberapa pun ukurannya, dalam kategori cahaya ataupun kategori kegelapan. Dan lantaran ia adalah kerja Allah, hanya secuil darinya yang sanggup kita tangkap memadai. Maka, bicara kita kini hanyalah menyangkut satuan-satuan besar-monumental, bukan pecahan-pecahan kecil fragmenter.

Enam rahmat

Dalam memperingati ultah kemerdekaan yang ke-71 sungguh patut kita mengecamkan ulang kehadiran Penyelenggaraan Ilahi dalam rentang panjang proses dan realisasi kemerdekaan itu. Setidaknya ada enam rahmat monumental dalam adonan Allah membentuk kimiawi bangsa kita. Keenam maharahmat itu adalah Nusantara; bahasa Indonesia; tradisi kearifan penerimaan dan keterbukaan pada keberagaman serta evolusi bajik-konstruktif dari arus pluralitas agama dan peradaban; Islam Nusantara; progresi dan kumulasi terhormat dari perjuangan proto-nasion, Kebangkitan Nasional, dan Revolusi Kemerdekaan; dan tak kurang penting ideologi yang menyarati jiwa para Pendiri Bangsa kita-pembentuk keteguhan integritas mereka. Dalam rentang ratusan tahun, kumulasi tujuh satuan monumental ini bersenyawa tak terpisahkan.

Maharahmat Nusantara sudah kita akrabi semua dan tak memerlukan banyak komentar. Merupakan negara kepulauan terbesar di dunia tepat di pelintasan Benua Asia dan Australia serta Samudra Hindia dan Samudra Teduh dengan kekayaan alam yang sungguh berlimpah, Indonesia dengan sendirinya merupakan sasaran kunjungan, incaran rebutan, dan di atas semuanya tempat penghubung, persinggahan, penyemaian, dan penggodokan tersendiri oleh penduduk Nusantara dari kekayaan aneka peradaban dunia.

Maharahmat bahasa Indonesia terbaca bukan hanya lantaran ia mudah menerima atau mengadopsi kosakata dari aneka bangsa dan peradaban, melainkan terutama karena sifat dasarnya yang merdeka, egaliter, dan inklusif, sekaligus cerdas dan modern. Seperti ditulis Anthony H Johns (1963), "Dunia pemikiran, pengalaman, dan ekspresi yang kini bisa diutarakan dalam bahasa Indonesia secara subtil, indah, dan jernih, jika perlu juga tandas, adalah mengagumkan." Sifat merdeka dan egaliter-inklusif ini tercipta oleh karakternya yang ramah dan terbuka. Dalam napasnya berembus optimisme pada kehidupan serta kepercayaan akan kesatuan dan persahabatan antarmanusia dari lingkungan dan asal-usul mana pun. Bahasa Indonesia takkan pernah menjadi bahasa pesimisme, eksklusivisme, diskriminasi, dan pengasta-ngastaan.

Tak banyak bangsa kita yang mengetahui bahwa kuatnya energi dan kegandrungan kita untuk menjadi bangsa merdeka yang inklusif serta cepatnya ideal- ideal kemerdekaan itu tertanam pada kalbu manusia Indonesia, termasuk untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan, lahir dari persenyawaan ideal antara serangkaian ideologi egaliter yang bersemi dan berkembang pesat di Tanah Air lewat media cetak plus revolusi komunikasi sejak dekade-dekade pertama abad ke-20 dengan lingua francaIbu Pertiwi yang memang sudah egaliter. Kuatnya dorongan kepada bangsa kita untuk merdeka dari penjajahan Belanda terutama lahir dari pertemuan ideal antara medium dan message itu. Bisa dikatakan, penentu paling utama kebangsaan kita tak lain dari bahasa Indonesia. Dengan itulah, bangsa kita sepanjang ratusan tahun sudah memiliki sarana merasa, berpikir, dan bercita-cita dalam resiprositas kohesif yang bervisi.

Sejak berabad-abad sebelum penjajahan, tak sedikit kesaksian sejarah di Tanah Air dalam hal tradisi kearifan, keterbukaan, penerimaan, dan pengembangan akal budi pada keutamaan-keutamaan peradaban dunia. B Schrieke antara lain bersaksi perihal pusat-pusat pendidikan agama Buddha di Nusantara yang cukup dihormati di kawasan dunia Buddhis. Denys Lombard mengangkat kuatnya "stimulus Islam" sedari awal abad ke-16 yang menjadi lebih dominan daripada konsep-konsep kehidupan Hindu-Buddha. Lombard (1996, Re: 1990) menulis dengan "stimulus Islam" itu, "Beberapa konsep dasar yang dengan benar dianggap ciri-ciri khas Renaisans Eropa, misalnya individualisme dan konsep waktu linear, sesungguhnya telah masuk di Nusantara sebelum Belanda kolonial ataupun para misionaris abad ke-19."

Modal politik

Tiga puluhan tahun sebelumnya, dalam risalah alit penting mengenai Serat Pralambang Jayabaya dari awal abad ke-18, Sartono Kartodirdjo (1959) sudah mencatat perubahan Weltanschauungorang Jawa perihal paham kosmosentrik, konsep waktu siklis, dan keniscayaan pertanggungjawaban individual yang kemudian dilacak komprehensif oleh Lombard bahkan sedari awal abad ke-16 itu. Martin van Bruinessen bersaksi, pesantren yang banyak dipandang berciri desa dan tradisional sebetulnya didasari pemeliharaan ilmu-ilmu keislaman baku-pilihan yang kosmopolit. Dan itu dikaitkannya langsung dengan kecerdasan para ulama Indonesia yang menuntut ilmu di Tanah Suci, yang kemudian menuliskan sendiri puluhan risalah keislaman berkualitas cemerlang, banyak darinya terhimpun dalam apa yang disebut "Kitab Kuning".

Maharahmat Islam Nusantara berada dalam konteks ini. Kaum Muslimin di Tanah Air bukan hanya sudah terbiasa dengan keragaman agama/iman atau jalan kebajikan transendental dari asal-usul mancanegara maupun lokal, mereka pun secara nyata atau diam-diam mengakui bahwa para pendahulunya telah lebih dahulu menanamkan benih-benih kebajikan di negeri ini. Kaum Muslimin Nusantara, khususnya para penyebar Islam awal dari Asia Selatan ataupun Timur Tengah, telah menemukan afinitas-afinitas atau fellow-travelers dalam penyemaian dan pembangunan kebajikan di sekitarnya. Dan mereka tak bisa tak mengakui dan tercengang dengan sekian lambang atau bangunan penanda jalan-jalan kebajikan transendental, yang terkandung dalam kebudayaan-kebudayaan yang sudah berakar.

Itulah yang membuat kaum Muslimin Nusantara mengindahkan aneka kebudayaan bangsanya serta memiliki daya atau potensi kuat untuk beriman secara lapang, rendah hati, tercerahkan. Mereka menyadari di Tanah Air perlombaan akal budi dan/atau kebajikan sudah dimulai dan berlangsung berabad-abad sebelumnya. Seperti perkembangan buruk di banyak bagian dunia, tak terbayangkan bagaimana jadinya Indonesia jika dikuasai umat mayoritas yang sempit budi, memaksakan kebenaran sendiri, dan berpandangan keruh.

Sejarah perlawanan proto-nasion kita dari satu daerah/pulau ke daerah/pulau lain terhadap penjajahan Belanda yang berlangsung ratusan tahun itu, ataupun sejarah Kebangkitan Nasional dan Revolusi Kemerdekaan sesudahnya sulit untuk tak dikatakan konsisten dan terpuji. Itu semua tak pelak menunjukkan Pemerintah Belanda sesungguhnya secara licik telah menjajah suatu negeri yang pada dasarnya sudah memiliki peradaban tinggi dan memaksanya terjerembab ke dalam kemunduran peradabannya sendiri. Menyusul Lombard, Robert W Hefner (2000) juga menandaskan kenyataan ini. George Kahin (1952) mengimplikasikan satu-satunya penyebab keterjajahan Indonesia secara begitu licik, berselinap (stealthy), dan lama oleh Belanda adalah karena kedatangan mereka bertepatan dengan telah runtuhnya episentrum-episentrum politik yang berpengaruh intra dan ekstra Nusantara.

Praktis semua kekalahan perlawanan rakyat Nusantara terhadap penjajahan, baik yang sporadik maupun yang digerakkan oleh kerajaan-kerajaan lokal, adalah hasil adu domba dan tipu muslihat Belanda. Sejarah merekam betapa meratanya taburan pahlawan dan martir serta kisah-kisah kepahlawanan di Nusantara melawan penjajahan. Sejarah juga mencatat hingga akhir masa penjajahannya, cahaya moralitas dan keadaban lebih dimiliki rakyat dan/atau bangsa Indonesia. Ini tentu tak mengurangi arti dari tak sedikit figur Belanda di Tanah Air yang bersikap dan berlaku mulia serta berpihak pada dan/atau membela, bahkan di sana-sini ikut membangun Indonesia. Superioritas moralitas dan keadaban itulah yang mencuat, baik dalam pidato pembelaan Bung Hatta di depan Mahkamah Belanda di Den Haag pada 1928 maupun pidato pembelaan Bung Karno di Landraad, Bandung, pada 1929-cahaya moralitas dan keadaban yang kemudian tersublimasi dan terkristalisasi di Pancasila.

Hingga detik ini agaknya tak banyak di antara bangsa kita yang memahami sentralitas ideologi dalam membentuk integritas. Ideologi lahir dari pencerahan politik dan hanya bisa bertahan dengan itu. Di ranah publik, dalam kancah politik, ideal-ideal politik ultimat adalah salah satu pembeda terpenting dari himpunan manusia utama dengan himpunan manusia hewan, yaitu yang disebut Nietzsche berkiprah hanya dengan herds instinct. Para Bapak Bangsa kita boleh dikata semuanya lahir, tumbuh, dan mekar dalam ranah ideologi-terus belajar untuk menjadi tercerahkan di ranah publik. Dengan itulah mereka mengeja dan menginternalisasikan cita-cita publik yang luhur-agung dan sekaligus berjangkar demi Republik kita.

Keteguhan integritas mereka terbentuk bersama pendalaman ideologi dan konsistensinya dalam pengamalan serta sepak terjang politik. Dari situlah negara-bangsa kita lahir! Kita dituntut untuk terus mensyukuri keenam maharahmat Penyelenggaraan Ilahi bagi bangsa kita. Bersyukur berarti melipatgandakan kerja dan tradisi barisan cahaya, barisan pencerahan, barisan akal budi. Keenamnya merupakan modal politik yang sulit dicari tandingannya. Dengan itu, bukan hanya kita bisa melangkah lebih tegar ke depan, melainkan juga akan sanggup membalikkan kumulasi dari hal-hal menggetirkan di sepanjang perjalanan kemerdekaan kita.

MOCHTAR PABOTTINGI

Profesor Riset LIPI 2000-2010

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul "Dalam "Providentia Dei"".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger