Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 16 Agustus 2016

Menteri dari Negara Asing (HAMID AWALUDIN)

Dua pekan setelah dilantik menjadi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral oleh Presiden Joko Widodo, Arcandra Tahar langsung diempas isu besar tentang status kewarganegaraannya. Entah dari mana muasalnya, sebuah pesan berantai beredar dalam berbagai medium- perbincangan media sosial dan kini di media massa- bahwa sang menteri adalah pemegang paspor Amerika Serikat, tempat ia bermukim dalam 18 tahun terakhir.

Saya menulis artikel ini dengan asumsi bahwa berita yang beredar itu benar adanya.

Kabar ini, terus terang, cukup mengentak saya pribadi, mengingat aturan tentang kewarganegaraan ini lahir di tangan saya selaku Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia periode 2004-2007.

Cikal bakal undang-undang ini mulai dibicarakan pada era pendahulu saya, Yusril Ihza Mahendra. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, pada intinya adalah tidak boleh ada warga negara Indonesia memiliki kewarganegaraan lain, kecuali anak yang berusia 18 tahun ke bawah.

Terlepas dari ini, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara jelas mengatakan bahwa seseorang diangkat menteri, haruslah warga negara Indonesia. Dari perspektif inilah, Presiden Jokowi bisa disoal secara politik dan hukum. Masalahnya, Presiden mengangkat Arcandra Tahar sebagai Menteri ESDM, sementara ia memegang kewarganegaraan asing. Artinya, Presiden Jokowi melanggar Undang-Undang Kementerian Negara. Implikasi politis dan yuridis dari keputusan Presiden Jokowi mengangkat Arcandra sebagai pembantunya itu bisa dibawa ke mana-mana.

Lalu ada yang mengatakan, Arcandra masih tetap memegang paspor Indonesia yang masih berlaku hingga 2017. Kita harus ingat, memegang paspor Indonesia bukan jaminan bahwa ia tidak menjadi warga negara asing, karena masa berlaku paspor adalah lima tahun dan seseorang bisa saja menjadi warga negara asing sebelum masa berlaku paspornya habis.

Ada juga yang berpandangan bahwa Arcandra tidak memiliki soal sebab sekarang ia sudah menanggalkan status kewarganegaraan Amerikanya. Pandangan ini tidak valid dari segi hukum sebab menanggalkan status kewarganegaraan asing tidak serta-merta seseorang bisa menjadi warga negara Indonesia.

Status kewarganegaraan

Yang pasti, setelah mengangkat sumpah (taking oath) menjadi warga negara asing, secara otomatis status kewarganegaraan Indonesia yang dimilikinya gugur seketika. Dan untuk menjadi warga negara Indonesia kembali, tidak segampang yang dikehendaki.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2016 tentang Kewarganegaraan secara limitatif mengatakan bahwa pewarganegaraan seseorang bisa dilakukan dengan cara naturalisasi, yakni yang bersangkutan bermohon setelah bertempat tinggal dalam wilayah Indonesia selama lima tahun berturut-turut dan sepuluh tahun secara tidak berturut-turut.

Maknanya adalah untuk menjadi warga negara Indonesia (WNI), seseorang harus melalui proses yang cukup panjang. Menjadi warga negara Indonesia tidak boleh melalui mekanisme lampu Aladin yang menggunakan prinsip sim salabim.

Namun, ini bukan satu-satunya mekanisme untuk menjadi warga negara Indonesia. Undang-undang juga sudah mengatur bahwa warga negara asing yang karena jasa, keterampilan, dan keahliannya yang dibutuhkan oleh Indonesia, dapat diberi status WNI oleh presiden, setelah melalui pertimbangan DPR. Mekanisme ini tidak membutuhkan proses naturalisasi yang mensyaratkan durasi tinggal.

Arcandra Tahar yang dikenal luas sebagai seorang ahli yang memang dibutuhkan oleh Indonesia dapat saja diberi status WNI oleh Presiden tanpa harus tinggal di Indonesia selama lima tahun berturut-turut. Namun, harus memperoleh pertimbangan lebih dulu dari DPR. Dan ini yang paling pelik kelak sebab agenda status kewarganegaraan sang menteri sudah telanjur dihebohkan dan menimbulkan sensitivitas politik yang begitu rupa. Maka, tatkala Presiden minta pertimbangan DPR, usia dan energi bangsa pasti akan terkuras hanya untuk berdebat mengenai layak tidaknya ia diberi rekomendasi menjadi WNI.

Kekhawatiran dan prediksi ini tidak berlebihan, karena Arcandra, menurut berita, pernah ke Indonesia beberapa kali menggunakan paspor Indonesia, di saat ia sudah memegang paspor asing. Apa yang dilakukan oleh Arcanda itu jelas merupakan pelanggaran undang-undang keimigrasian karena ia menggunakan paspor-dokumen negara Indonesia yang tidak semestinya ia gunakan. Dari sini saja, dengan mudah kita nujum, bakal diramaikan oleh DPR bilamana Presiden minta pertimbangan Dewan agar Arcanda diberi status WNI tanpa proses naturalisasi.

Berhentikan segera

Agenda lain yang akan mengemuka secara politis adalah saat Arcanda datang ke Konsulat Jenderal Indonesia di Houston untuk memperpanjang paspornya pada tahun 2012. Saat itu, sebenarnya Arcanda sudah tahu bahwa ia akan menerima kewarganegaraan asingnya, tapi masih juga memperpanjang paspor Indonesianya. Masa antara permohonan memperpanjang paspor dan masa ia mengangkat sumpah menjadi warga negara asing terlampau singkat. Pertanyaan besarnya adalah soal motif ia memperpanjang paspor Indonesianya.

Lantas apa yang seharusnya dilakukan sekarang? Presiden seharusnya segera memberhentikan Arcanda sebagai Menteri ESDM. Bukan Arcanda yang diminta mengundurkan diri. Biar Presiden Jokowi tidak dipersepsikan melakukan pembiaran pelanggaran undang-undang, yang juga ikut serta dilakukannya.

HAMID AWALUDIN

Mantan Duta Besar RI untuk Rusia; Menteri Hukum dan HAM 2004-2007; Pengajar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Agustus 2016, di halaman 7 dengan judul "Menteri dari Negara Asing".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger