Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 04 Agustus 2016

Letargi Kebudayaan (ROBERTUS ROBET)

Mengapa kita begitu gampang melupakan, bahkan melupakan pandangan-pandangan dasar kita sendiri? Mengapa kita begitu mudah menggeser prinsip? Mengapa kita terus dengan mudah memberikan toleransi kepada pemimpin-pemimpin dan politisi  yang berjanji, mengingkarinya, berjanji lagi dan mengingkarinya lagi?

Mengapa kita dengan mudah tergoda dan beralih kepada idola-idola ketimbang berpikir secara serius dan mendalami mengenai apa-apa yang terpenting untuk mencapai kemaslahatan bersama? Mengapa kita dengan mudah memaklumi kesalahan dan kejahatan publik yang sebenarnya serius, bahkan kemudian sering  malah berbaris meletakkan diri kita di bawahnya? Mengapa kita sering gagal bertindak dalam standar etis dan dengan mudah jatuh ke dalam hipokrisi?

Barangkali kita tengah mengalami gejala letargi kebudayaan. Letargi secara leksikal sering diterjemahkan sebagai "kelelahan". Letargi dialami masyarakat Amerika pada tahun 1990-an awal dengan ciri-ciri meluasnya perilaku malas, di mana orang lebih banyak menghabiskan waktu di depan TV, berleha-leha, gaya hidup asal-asalan, tidak memiliki disiplin dan tujuan hidup (Daniel W Rosided, 1993: hal 488).

Gejala-gejala fisik serupa juga terjadi di Inggris pada masa pasca Perang Dunia II. Intinya, penelitian sosiologi menyoroti gejala letargi sebagai bentuk-bentuk perilaku sosial di dalam masyarakat di mana apati meluas dan banyak orang menjadi tidak produktif, serba putus asa, tanpa gairah.

Namun, teolog Amerika, James V Schaal, memiliki definisi yang lebih luas dan lebih tepat untuk menjelaskan letargi sebagai gejala historis dalam kebudayaan ketimbang hanya persoalan dalam perilaku sebagaimana ditafsirkan oleh sosiologi tingkah laku.  Dalam pandangan Schaal, letargi lebih merujuk pada kelelahan secara mental, bukan kelelahan fisik dan bukan semata-mata persoalan perilaku.

Letargi menyangkut kemunduran yang lebih subtil, yakni tanda dari mulainya gejala kemerosotan dalam peradaban, kemandulan dalam dunia intelektual, kemandekan dalam politik dan sosial (James V Schaal SJ, 2014). Secara fisik kita mungkin aktif, bergerak ke sana-kemari, berkunjung ke pihak-pihak, menulis, menjadi relawan ini dan itu, anggota partai politik, tetapi secara mental kita mentok dan kering  gagasan.

Letargi kebudayaan membuat kita gagal menggerakkan kapasitas mental untuk mencari alternatif-alternatif yang paling optimum untuk mengatasi keburukan. Akibatnya, kita menghabiskan tindakan untuk menutup satu keburukan besar melalui akumulasi  keburukan-keburukan yang lebih kecil.

Awal runtuhnya peradaban

Kita terlampau payah untuk secara maksimum mencari yang terbaik untuk masyarakat. Letargi membuat kita jatuh dalam kecendrungan  untuk "asal ada saja" atau "yang penting bukan dia", bukannya berpikir melampaui dan mencari apa atau siapa yang terbaik untuk masyarakat kita dan bertahan dalam ideal itu. Ketiadaan upaya untuk mencari yang terbaik secara optimum adalah awal dari merosotnya peradaban.

Istilah letargi sendiri berasal dari katalethe, yakni salah satu nama sungai dari empat sungai yang disebut-sebut dalam mitologi Yunani, yang  dapat dikonstruksi sebagai gejala yang dimulai dari kecenderungan untuk melupakan atau ketidakmampuan untuk menggerakkan memori dan menemukan kebenaran dan hal-hal yang esensial.

Uniknya, sebagaimana diungkap oleh Schaal, kata letargi secara etimologi juga memiliki kesamaan dengan kata Aletheiayang dalam bahasa Yunani berarti kebenaran. Huruf a di awal kata a-letheiabermakna bukan  atau tidak tersembunyi. Aletheia dengan demikian bisa berarti penyingkapan atau kebenaran. Kebenaran dengan demikian berkaitan secara erat dengan penolakan untuk melupakan (alethe). Dengan itu, letargi secara prinsipiil adalah kecenderungan untuk menerima segala hal apa "adanya", apa yang disajikan secara mentah, bahkan menerima apa-apa yang sebenarnya keliru dan bertentangan dengan pendirian-pendirian kita.

Di dalam letargi, kita sebenarnya sudah menyerah kepada keadaan, tapi kita berpura-pura terlibat dan antusias di dalamnya. Di dalam letargi, seluruh daya aktivitas kita dimulai bukan dengan bagaimana mengupayakan apa yang benar, melainkan dimulai dengan apa yang sekadar kita bisa dari yang ada.  Itulah sebabnya, Schaal menyebut letargi sebagai kelelahan dan kemalasan mental untuk mencapai kebenaran dan kualitas. Itu sebabnya pula, sejarawan menyebut letargi sebagai gejala runtuhnya peradaban.

Perilaku politik

Salah satu ciri letargi dalam kebudayaan terlihat dalam sulitnya mempertahankan suatu karakter dalam perilaku politik dan berdemokrasi kita. Demokrasi politik di Indonesia dihidupkan oleh perilaku politik yang serba cair atau lentur (fluid). Dengan itu, harmoni dicapai melalui serah terima dan tukar tambah kepentingan secara ad hoc, bukan dari hasil konfrontasi ide dan gagasan.

Uniknya, perilaku ini diterima secara mentah-mentah dalam diskursus publik secara umum. Perilaku "mencla-mencle" dalam politik diterima sebagai kewajaran. Dengan begitu, rakyat kebanyakan tidak pernah dididik berpolitik di dalam gagasan. Tanpa gagasan, rakyat akan dengan mudah melupakan. Tanpa gagasan, politik tidak akan pernah dialami sebagai perjuangan, melainkan hanya sebatas pilihan-pilihan instan.

Akibatnya, demokrasi politik kita tidak pernah mengalami kemajuan. Yang terjadi dalam demokrasi kita adalah sejenis "obesitas" politik, bobotnya bertambah, riuhnya meningkat, tapi ia bukan makin sehat, melainkan makin ke arah risiko ambruk. Guru-guru di sekolah-sekolah di seluruh Indonesia diminta mengajarkan pendidikan karakter, tetapi politik kita, pada saat yang sama, mengajarkan bagaimana cara mengkhianati karakter dengan sukses, untuk saat ini "politik" yang menang.

ROBERTUS ROBET

Sosiolog Universitas Negeri Jakarta

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Agustus 2016, di halaman 7 dengan judul "Letargi Kebudayaan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger