Tak perlu heran, sebelumnya kelompok ini sebenarnya akrab dengan drama penyanderaan warga asing dengan meminta tebusan sebagai kompensasi pembebasan sandera. Padahal Konvensi PBB 1929 (Konvensi Internasional Menentang Penyanderaan) menegaskan tidak menoleransi pemberian uang tebusan kepada tindak penculikan dan penyanderaan.
Pemerintah di wilayah sekitar kejadian terkesan tidak berdaya menghadapi perilaku penyanderaan, mengingat insiden tersebut masih terus berlangsung. Setidaknya awak kapal WNI secara kumulatif jadi korban penyanderaan sebanyak tujuh kali dalam kurun 12 tahun terakhir, yang selama ini diklaim dilakukan kelompok Abu Sayyaf.
WNI korban pertama Abu Sayyaf adalah sembilan anak buah kapal (ABK) Christian yang diculik di perairan Laut Sulu (akhir 2004), disusul penculikan tiga ABK kapal Bongaya berbendera Malaysia yang disergap di perairan antara pantai timur Sabah dan sebelah barat Tawi-Tawi di Kepulauan Sulu, 30 Maret 2005.
Selang 10 tahun kemudian terjadi drama penyanderaan 10 awak kapal tunda Brahma 12 pada 24 Maret 2015 disusul penyergapan kapal tunda Henry saat berlayar pulang dari San Fernando, Cebu, menuju Tarakan pada 14 April 2016. Juga penyanderaan atas tujuh ABK kapal tunda Charles 001 yang melanggar larangan berlayar ke Filipina pada 21 Juni 2016, disusul penyanderaan tiga awak kapal penangkap ikan LLD113/5/F berbendera Malaysia pada 9 Juli 2016. Terakhir, insiden penyanderaan kapten kapal nelayan penangkap udang Malaysia pada 3 Agustus 2016. Artinya, sampai saat ini awak kapal WNI yang disandera mencapai 11 orang.
Berbagai spekulasi muncul menyangkut upaya pembebasan sandera. Mulai dari pembebasan dengan menggunakan uang tebusan atau sebaliknya tanpa uang tebusan, siapa pihak yang berperan dalam pembebasan sandera, sampai dengan ada yang berspekulasi terjadinya penipuan dan penggelapan yang dilakukan ABK kapal dan berafiliasi dengan sindikat internasional menggunakan modus penculikan untuk mendapatkan uang tebusan miliaran rupiah.
Modus terakhir, seperti kasus penggelapan kapal tunda dan tongkang Martadini pada 2005. Kapal yang akan dijual ke Filipina oleh 16 ABK WNI itu melibatkan agen Singapura, Serawak, dan Filipina, dengan pembelinya-pengusaha papan atas Filipina-yang dikawal kelompok bersenjata Filipina selatan.
Upaya fungsional-teknis
Berbagai langkah yang dapat ditempuh Pemerintah Indonesia meliputi upaya fungsional dan teknis melalui beberapa pendekatan yang melibatkan kerja sama regional. Hal ini mengingat keterbatasan kewenangan yurisdiksi teritorial dan hukum dari tiap negara untuk memastikan tercapainya tujuan, manfaat, dan kepentingan bersama.
Pertama, Indonesia harus mampu mengefektifkan kerja sama trilateral yang sudah berjalan dengan Pemerintah Filipina dan Pemerintah Malaysia, baik secara diplomatik maupun pada level teknis, dengan melibatkan kekuatan negara dari unsur aparat pemerintah sipil (Departemen Luar Negeri, Imigrasi, Bea dan Cukai), militer, dan kepolisian.
Kedua, harus ada inisiasi Indonesia membuat nota kesepahaman (MOU) untuk sewaktu-waktu menggelar kerja sama operasi pembebasan sandera di wilayah Filipina yang dilakukan langsung oleh TNI dan tentara Filipina, ketika terjadi insiden penyanderaan WNI.
Ketiga, upaya pendekatan kultural dan intelijen, yang didukung efektivitas diplomasi Deplu, KBRI Manila, dan Konjen RI di Davao di tingkat kerja sama bilateral Indonesia-Filipina. Dalam pembebasan sandera perlu melibatkan para pihak yang memiliki kedekatan kultural dengan pihak-pihak yang terkait langsung ataupun tidak langsung dengan pelaku penyanderaan.
Keempat, gelar pasukan TNI di dekat perbatasan terluar Indonesia yang paling dekat dengan wilayah Filipina untuk menimbulkan efek pencegahan, sebagai bagian integral dalam upaya mengefektifkan upaya-upaya diplomasi dan pendekatan kultural ketika terjadi insiden penyanderaan.
Kelima, menjadikan wilayah perairan rawan penculikan sebagai daerah latihan gabungan. Ini sebagai bentuk kerja sama antarkekuatan penjaga laut Indonesia dan Filipina.
Keenam, mengamankan perjalanan kapal dengan menggunakan teknologi informasi, dengan memasang teknologi pelacak pada badan kapal, didukung fungsionalisasi alat penginderaan MRCstationer dan citra satelit yang secara efektif berdaya jangkau sampai wilayah pembajakan
Ketujuh, jaminan keamanan pihak Filipina, Indonesia, dan Malaysia dengan melakukan patroli keamanan dan pengawalan bersama di wilayah perairan tiap negara secara terkoordinasi.
Kedelapan, pengamanan dan pengawalan melekat secara fisik dari TNI AL serta tentara Filipina dan Malaysia, dengan menempatkan satuan tugas personel di kapal yang diamankan dengan dilengkapi sistem persenjataan yang memberikan efek pencegahan sepanjang perjalanan pada wilayah perairan masing-masing.
Kesembilan, mengefektifkan kerja sama PPATK dengan Philippine-AMLC dan lembaga sejenis negara-negara lain untuk mendeteksi transaksi perbankan dan finansial mencurigakan terkait tindak kejahatan penculikan dan penyanderaan. Ini untuk membatasi ruang gerak penculikan dengan motif tebusan.
Perlu komitmen bersama
Dengan demikian, diharapkan pada masa mendatang apabila upaya-upaya tersebut berjalan efektif melalui komitmen bersama dan kebijakan politik yang kuat dari pemerintahan tiap negara-baik terjadi insiden penyanderaan secara langsung maupun disebabkan motif lain-dapat segera diambil langkah cepat dan tepat.
Misalnya, modus penculikan atau penyanderaan bermotif penggelapan dan penipuan, maka hal itu akan dapat segera diketahui aparat berwenang. Lalu, ditentukan langkah untuk mengatasi krisis isu penyanderaan. Atau bahkan pada akhirnya tragedi penculikan dan penyanderaan yang sudah berlangsung lama tidak terulang lagi.
Kontrol peran media secara internal melalui redaktur pemberitaan menjadi penting untuk menghindari publikasi insiden penyanderaan secara berlebihan, yang pada akhirnya justru akan menguntungkan pelaku.
BAMBANG USADIKAROBANKUM DIVKUM POLRI; ATASE/SLO POLRI DI KBRI MANILA 2004-2007
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Agustus 2016, di halaman 7 dengan judul "Penculikan WNI".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar