Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 29 Agustus 2016

Pesan untuk Kemdikbud (MOHAMMAD ABDUHZEN )

Presiden Joko Widodo secara khusus meminta kepada Muhadjir Effendy, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru, untuk fokus pada dua program pendidikan, yaitu optimalisasi Program Indonesia Pintar dan penajaman fungsi pendidikan vokasional. Kedua hal ini merupakan tuntutan dan implementasi dari sembilan agenda prioritas (Nawacita) pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, khususnya terkait dengan program Indonesia Kerja dan Indonesia Sejahtera. 

 Dalam Nawacita kelima dan kesembilan disebutkan, peningkatan kualitas hidup manusia Indonesia dilakukan melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan Program Indonesia Pintar (PIP) melalui wajib belajar 12 tahun bebas pungutan. Untuk itu, pemerintah akan menginisiasi UU Wajib Belajar dan melakukan pemerataan fasilitas pendidikan dan guru di seluruh wilayah, terutama di area yang tingkat dan pelayanan pendidikannya rendah atau buruk. 

 PIP dan wajib belajar 12 tahun utamanya adalah persoalan akses dan pemerataan, yaitu upaya memperluas kesempatan masyarakat memperoleh pendidikan. Langkah ini penting, karena selain penanda pemerintah hadir, juga berimplikasi pada peningkatan angka partisipasi sekolah (APS) dan berdampak pada angka rata-rata lama sekolah (mean years schooling/MYS) yang merupakan satu indikator kemajuan pembangunan manusia. Dalam Nawacita, secara eksplisit ditargetkan APS sekolah dasar 100 persen dan APS sekolah lanjutan pertama (SLTP) 95 persen.  

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, APS dua tahun terakhir mengalami sedikit kemajuan dibandingkan APS 2013. Tahun 2015 APS SD  adalah 99,09 persen, SLTP 94,72 persen, dan SLTA 70,61 persen. Sementara angka rata-rata lama sekolah kita tahun 2014, menurut UNDP, sebesar 7,6.  Artinya, rata-rata orang Indonesia berusia 25 tahun ke atas menjalani pendidikan setara kelas II SLTP.

 Pelaksanaan wajib belajar 12 tahun secara luas seharusnya tidak perlu menunggu terbitnya undang-undang khusus karena dalam UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 34 Ayat (2) secara eksplisit disebutkan bahwa pemerintah  dan  pemerintah  daerah  menjamin  terselenggaranya  wajib  belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Kata "minimal" mengandung arti "boleh" menyelenggarakan wajib belajar lebih dari pendidikan dasar.  Butir penting yang harus diperhatikan pemerintah dan pemda terhadap program wajib belajar di segala tingkatan adalah memastikan tidak adanya pungutan biaya.

 Pelaksanaan PIP mestinya tidak sebatas membagikan kartu karena perluasan akses pendidikan merupakan kompleksitas yang terkait dana, prasarana, dan budaya yang memerlukan komitmen dan harus melibatkan berbagai pihak di luar Kemdikbud dan dinas pendidikan. Anak-anak tak bersekolah tidak semata-mata disebabkan oleh ketiadaan iuran atau biaya personal lainnya yang dapat diatasi oleh Kartu Indonesia Pintar. Apalagi untuk pendidikan dasar, penyebab anak tidak sekolah dewasa ini makin spesifik. Selain faktor geografis, masyarakat tidak menyekolahkan anaknya juga karena tidak melihat signifikansi sekolah dan lulusannya bagi kehidupan nyata sehari-hari. Oleh sebab itu, untuk memperluas akses, Mendikbud perlu memastikan kembali data dan permasalahan wilayah untuk kemudian merumuskan strategi  berdasarkan spesifikasi permasalahan dan wilayah.

Pendidikan vokasional

 Membangun Indonesia kerja adalah spirit yang sangat kuat pada pemerintahan ini. Dalam pidato  pelantikannya, 20 Oktober 2014, yang terdiri atas 824 kata, Presiden Joko Widodo sebelas kali menyebut kata "bekerja keras", "bekerja sekeras-kerasnya", "kerja besar", atau "kerja" saja. Bahkan, kabinet pun  dinamai Kabinet Kerja.

 Presiden seperti hendak menekankan dan para menteri seharusnya menghayati, "Janganlah banyak bicara dan mencitra. Mari bekerja." Tugas  pendidikan terkait hal ini bukan hanya mempersiapkan kemampuan vokasional angkatan kerja, melainkan lebih daripada itu menjadikan "kerja" sebagai nilai kehidupan yang dianut oleh dan tumbuh di masyarakat.  

 Mendikbud harus mengubah orientasi persekolahan ke arah yang lebih "pragmatik" sesuai arahan Presiden. Presiden Jokowi, sekembali dari kunjungan dan menjalin kerja sama dengan empat negara Eropa, menekankan kembali agar sistem pendidikan kita diubah secara mendasar. "Jika sebelumnya lebih bersifat umum, nanti lebih diarahkan ke kejuruan," kata Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyampaikan arahan Presiden Jokowi ketika itu (Kompas, 27/4/2016).

 Pramono menambahkan bahwa  sekolah kejuruan akan diarahkan pada penajaman keahlian untuk memenuhi kebutuhan industri dan pasar kerja internasional. Pelatihan khusus dilakukan sesuai dengan kebutuhan negara tujuan. Syaratnya, peserta pelatihan harus bisa berbahasa Inggris dan bahasa lokal negara tujuan. Pemerintah akan memperbarui balai latihan kerja (BLK) dan mempermudah saat mendatangkan pelatih dari luar negeri.

 Mendikbud Anies Baswedan ketika itu sebenarnya telah merespons gagasan perubahan ini. Hanya saja barangkali dipandang kurang nendang karena secara konvensional meneruskan kebijakan menteri sebelumnya, yakni menambah jumlah sekolah menengah kejuruan (SMK) hingga mencapai target lebih dari 70 persen pada tahun 2020. Tahun 2016, misalnya, pemerintah akan membangun 341 SMK yang diarahkan pada tiga sektor utama, yaitu kemaritiman dan kelautan; pariwisata; serta pertanian, perkebunan, dan peternakan (Kompas , 24/5/2016).

 Memajukan pendidikan vokasional seyogianya diletakkan dalam platform yang benar, bukan semata diarahkan untuk memenuhi kebutuhan industri dan pasar kerja internasional. Bukan pula sekadar memperbanyak jumlah SMK konvensional yang ternyata tak efektif, kurang diminati, sehingga tamatannya banyak menganggur. Mengutamakan pendidikan vokasional harus merupakan upaya mengefektifkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional secara sistemik dengan mendayagunakan berbagai sumber daya yang dimiliki.

Tiga langkah pokok

 Maka, Kemdikbud perlu, pertama, melakukan restrukturisasi jenjang persekolahan terutama pada jenjang sekolah menengah, akademi komunitas, dan politeknik, sembari merevitalisasi jalur pendidikan nonformal. Tingginya angka putus sekolah dan tidak melanjutkan pada tingkat pendidikan dasar harus difasilitasi melalui jalur pendidikan nonformal. BLK yang terdapat hampir di setiap kota besar harus dimodernisasi, dimodifikasi, dan dikembangkan sedemikian rupa agar menjadi tempat menempa tenaga kerja yang andal.

 Apakah jenis pendidikan menengah umum (SMA) dan menengah kejuruan (SMK) seperti sekarang perlu dipertahankan dengan mengembangkan model pendidikan berbasis luas (broad based education) seperti ide Mendikbud? Ataukah akan lebih efektif menghapuskan SMK yang ada dan menjadikan SMA dua tahun dengan pemilahan untuk jenjang akademik dan vokasional pada tahun ketiga. Lalu, SMK diintegrasikan dengan akademi komunitas (yang telanjur ada) dan belum jelas fungsinya, serta disatujalurkan dengan politeknik yang benar-benar fokus pada membentuk keterampilan.

Intinya, diperlukan "perombakan" sehingga memungkinkan terjadinya akselerasi dan kualifikasi tenaga kerja yang kini kondisinya lebih dari 50 persen hanya tamatan sekolah dasar, sementara bangsa ini, konon, akan menghadapi bonus demografi dan yang jelas bercita-cita membangun generasi emas.

 Kedua, menyinkronkan penjurusan dan kurikulum pendidikan vokasional formal dan nonformal dengan kebutuhan lapangan kerja, serta-bersama kementerian terkait-mengatur kembali tentang persyaratan kerja dan pengupahan yang berorientasi pada tingkat kemampuan nyata (tangible). Hal ini penting untuk menyembuhkan "penyakit ijazah" (diploma disease) yang menjangkiti masyarakat sekaligus meningkatkan gengsi dan minat pada pendidikan vokasional. Pendidikan vokasional pada berbagai tingkatannya harus diupayakan memberikan kompetensi specific-tangible sebagai pegangan untuk bekerja.

 Ketiga, mengkristalisasikan nilai-nilai kerja melalui proses pembelajaran dan  sosialisasi di sekolah dan masyarakat dengan menekankan bahwa pendidikan sebagai upaya untuk sintas dan untuk itu bekerja menjadi keharusan. Membangun keyakinan bahwa kehormatan manusia terletak pada karya dan oleh sebab itu bekerja adalah mulia. Pendidikan kita sudah terlalu lama terbuai "angan-angan" luhur yang kabur dengan mengesampingkan pragmatisme pendidikan dan menyepelekan kerja. Padahal, garda depan pendidikan nasional, antara lain Mohammad Syafei dengan Indonesische Nederland School dan  Dewi Sartika dengan Sakola Istri-nya, membangun sekolah kerja.

 Dua pesan presiden tersebut sangat mendasar karena merupakan jalan mengefektifkan pendidikan nasional, baik secara kuantitas maupun kualitas. Kiranya Mendikbud perlu fokus memikirkannya.

MOHAMMAD ABDUHZEN

ADVISOR INSTITUTE FOR EDUCATION REFORM UNIVERSITAS PARAMADINA, JAKARTA; KETUA LITBANG PB PGRI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul "Pesan untuk Kemdikbud".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger