Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 23 Agustus 2016

Rekonstruksi Makna Permusyawaratan (FAROUK MUHAMMAD)

Pancasila sebagai "roh" negara Indonesia merdeka, sila-silanya tidak lahir begitu saja, tetapi melalui penemuan dan pemaknaan mendalam.

Sejak sila pertama hingga kelima, pilihan kata/frasa sarat makna, sekalipun makna tersebut belum semua mengejawantah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sila penting terkait sistem ketatanegaraan adalah sila keempat:Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

Permusyawaratan adalah suatu tata cara khas kepribadian Indonesia untuk merumuskan dan memutuskan suatu hal berdasarkan kehendak bersama. Sementara perwakilan merupakan suatu format struktur yang mencerminkan keterwakilan para pengambil keputusan dari segenap komponen bangsa.

Kalau permusyawaratan lebih mencerminkan mekanisme pengambilan keputusan, perwakilan lebih mencerminkan siapa yang mengambil keputusan. Selanjutnya "hikmat-kebijaksanaan" merefleksikan orientasi etis, sebagaimana dikehendaki Pembukaan UUD 1945.

Bung Hatta menjelaskan bahwa, "Kerakyatan yang dianut oleh bangsa Indonesia bukanlah kerakyatan yang mencari suara terbanyak saja, tetapi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan." Karena itu, menurut Hatta, demokrasi Indonesia bukan demokrasi liberal dan juga bukan demokrasi totaliter, karena berkaitan secara menyeluruh dengan sila-sila Pancasila lainnya (Hatta, 1957).

Inti dari kerakyatan, menurut Bung Karno, adalah semangat gotong royong (kolektivisme). Jelas ini merupakan antitesis dari demokrasi Barat yang liberal dan menekankan kebebasan individual. Dalam prinsip musyawarah-mufakat, keputusan tidak didikte oleh suara terbanyak atau tekanan suara minoritas, tetapi oleh hikmat kebijaksanaan.

Hakikat yang terkandung dalam hikmat kebijaksanaan bukan didasarkan pada kesepakatan yang mempertimbangkan kalkulasi perolehan suara atau tenggang rasa pemilik suara mayoritas atas minoritas. Yang lebih penting adalah didasarkan pada ke-"wicaksana"-an atau kearifan di balik setiap pendapat.

Struktur ketatanegaraan

Permusyawaratan/perwakilan tidak hanya mencerminkan pilihan demokrasi khas Indonesia dalam perspektif prosedural pengambilan keputusan. Akan tetapi, juga menggambarkan pilihan struktur ketatanegaraan yang dianut Indonesia merdeka.

Dalam Risalah Sidang BPUPKI, Supomo menjelaskan bahwa "permusyawaratan" dan "perwakilan" adalah dua konsep yang berbeda dalam UUD 1945  (Yu Un Oppusunggu, 2015).

Pertama, musyawarah adalah pembahasan bersama semua pihak hingga tercapai kesepakatan. Ia bicara tentang substansi dari demokrasi khas Indonesia. Kedua, berbicara tentang mereka yang dipercaya (sebagai wakil), baik yang dipilih secara langsung maupun yang diangkat, untuk mengambil keputusan.

Secara struktural forum permusyawaratan berbeda dengan forum perwakilan. Forum permusyawaratan direpresentasikan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan forum perwakilan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).  

Amandemen UUD 1945 mengubah struktur ketatanegaraan Indonesia dengan menempatkan MPR bukan lagi lembaga tertinggi pemegang kedaulatan rakyat. Komposisi keanggotaan MPR juga berubah, terdiri dari anggota DPR dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) yang semuanya dipilih langsung, tidak ada lagi anggota yang diangkat.

Secara konseptual, MPR didesain sebagai lembaga negara yang diharapkan dapat mencapai "hikmat kebijaksanaan" karena sifat keanggotaannya yang mewakili seluruh elemen masyarakat, termasuk tokoh-tokoh informal/nonformal. Sementara lembaga negara-forum perwakilan-yang dipilih melalui proses politik (pemilu) secara konseptual sulit diharapkan mencapai "hikmat kebijaksanaan" mengingat keanggotaannya yang terdiri dari "orang-orang politik" yang sarat kepentingan (partai).

Dalam lembaga perwakilan seperti DPD, yang terjadi adalah pertarungan memperjuangkan aspirasi daerah lebih daripada kepentingan negara. Tidak jarang yang diperdebatkan lebih merupakan pendapat pribadi daripada aspirasi konstituen. Dengan konstruksi dan komposisi keanggotaan demikian, MPR seperti mengalami "degradasi" makna sebagai lembaga permusyawaratan seluruh elemen bangsa.

Struktur permusyawaratan

Dewasa ini, 15 tahun setelah amandemen UUD 1945, dirasakan kebutuhan untuk menghadirkan kembali MPR sebagai lembaga "permusyawaratan" yang dijiwai "hikmat kebijaksanaan". Hal ini diperkuat oleh Keputusan MPR RI Nomor 4/MPR/2014, yang merekomendasikan penataan sistem ketatanegaraan Indonesia melalui perubahan UUD 1945.

Di antara fokusnya adalah penguatan MPR sebagai lembaga negara yang mempunyai kewenangan tertinggi dalam mengubah, menetapkan, dan menafsirkan UUD 1945; merumuskan kembali perencanaan pembangunan model GBHN; penataan kembali wewenang Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang, serta penguatan kewenangan DPD sebagai lembaga perwakilan (legislatif).

Dalam pandangan penulis, keputusan hasil amandemen UUD 1945 tahun 1999-2001 yang meleburkan utusan golongan ke dalam DPR dan utusan daerah ke dalam DPD perlu ditinjau kembali. Tidak sedikit tokoh bangsa dan tokoh organisasi kemasyarakatan baik di pusat maupun daerah yang memiliki pemikiran negarawan, tetapi tidak terakomodasi dalam mekanisme pemilihan langsung.

Kemajemukan bangsa kita tidak mampu direpresentasikan secara optimal hanya oleh wakil rakyat yang dipilih melalui mekanisme pemilu. Untuk itu, keberadaan MPR sebagai perwakilan seluruh elemen bangsa harus dihidupkan kembali.

Dalam struktur MPR dapat diangkat unsur-unsur masyarakat yang tidak terakomodasi melalui mekanisme pemilu legislatif, yang dapat distrukturkan sebagai (fraksi) utusan golongan seperti pada era MPR sebelum amandemen dan/atau dicakup sebagai tambahan anggota DPD dari tiap provinsi.

MPR mengendalikan pembuatan peraturan perundang-undangan oleh lembaga perwakilan (legislatif) sehingga lebih menjamin keberlakuannya secara sosiologis.

Akomodasi terhadap komponen-komponen bangsa juga dapat meminimalisasi terbentuknya hukum (UU) yang hanya pro kekuasaan. Dalam "teori konflik" diingatkan, kelompok dalam masyarakat yang saling berjuang untuk meraih kepentingan. Undang-undang akan cenderung berpihak pada "penguasa" untuk memuluskan kepentingan kelompoknya.

Sistem parlemen di sejumlah negara juga tidak menabukan anggota yang diangkat atas pertimbangan keterwakilan dalam pengambilan keputusan. Seperti pada Parlemen Jerman, selain Bundestag (DPR) dan Bundesrat(Dewan Utusan Negara Bagian) terdapat Bundesversammlung(Badan Permusyawaratan). Anggotanya terdiri dari perwakilan yang dipilih melalui pemilu dan "perwakilan termandat", namanya LĂ„nder.Bundesversammlung memilih Presiden Federal.

Demikian juga dengan sistem parlemen Malaysia yang terdiri dari Dewan Negara dan Dewan Rakyat. Dewan Negara Malaysia berjumlah 70 senator: 26 dipilih oleh majelis legislatif negara bagian, dengan dua senator untuk setiap negara bagian, yang 44 anggota lainnya ditunjuk oleh Yang di-Pertuan Agung.

Semoga gagasan ini dapat menjadi referensi dan menjadi bahan pertimbangan.

FAROUK MUHAMMAD

Wakil Ketua DPD

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Agustus 2016, di halaman 7 dengan judul "Rekonstruksi Makna Permusyawaratan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger