Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 26 Agustus 2016

TAJUK RENCANA: Mengkaji Kembali Perppu Kebiri (Kompas)

Dewan Perwakilan Rakyat RI menunda pengesahan Perppu Nomor 1 Tahun 2016. Hal ini menjadi momentum mengkaji menyeluruh perlindungan anak.

Dewan Perwakilan Rakyat menunda pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak menjadi UU dalam rapat paripurna Selasa (23/8). Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perppu No 1/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak pada Mei lalu.

Keputusan menunda pengesahan perppu yang populer disebut "perppu kebiri" itu karena ada enam isu yang masih diperdebatkan dan memerlukan penjelasan pemerintah. Tiga fraksi yang belum dapat memberi sikap atas perppu untuk menjadi undang-undang adalah Partai Gerindra, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera.

Keenam isu tersebut mencakup data kekerasan seksual terhadap anak serta peta terjadinya kekerasan dan upaya pemerintah mengurangi kekerasan yang mendasari keluarnya perppu.

Salah satu yang menjadi perdebatan dan pemerintah diminta memberi penjelasan lebih lanjut adalah pelaksanaan hukuman kebiri dan pemasangan cip pada pelaku.

Pemberatan hukuman tersebut menjadi perdebatan pula di masyarakat, terutama mengenai efektivitas hukuman kebiri dalam menyelesaikan pokok masalah kekerasan seksual pada anak. Hukuman kebiri juga dipandang melanggar hak asasi manusia.

Kita tentu mendukung tindakan tegas dan keras terhadap pelaku. Dampak pada korban secara fisik dan psikologis terbukti memengaruhi kehidupan anak, keluarga, dan masyarakat untuk seterusnya. Apalagi, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, kekerasan seksual di Indonesia termasuk tinggi di Asia Pasifik, antara lain, karena sikap masyarakat permisif terhadap kekerasan seksual serta relasi jender dan relasi kuasa yang tidak setara.

Pada sisi lain, kita tidak ingin hukuman dijatuhkan berdasarkan rasa marah dan dendam; hukum tetap harus memberi keadilan.

Karena itu, dapat dipahami keinginan DPR RI meminta pemerintah menjelaskan lebih lanjut peta kekerasan seksual pada anak dan data kekerasan tersebut. Mengapa kekerasan terjadi dan apakah meningkatnya jumlah kekerasan disebabkan masyarakat lebih sadar melaporkan kejadian ataukah memang kejadiannya meningkat.

Dua hal tersebut sangat penting sebagai dasar menghapuskan kekerasan seksual pada anak. Menghukum secara tegas dan keras penting, tetapi lebih penting lagi memberdayakan masyarakat, dimulai dari lingkungan keluarga dan sekolah, untuk aktif mencegah dan melindungi anak-anak dari kekerasan seksual. Di sinilah peran penting pemerintah sebagai pembuat kebijakan.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul "Mengkaji Kembali Perppu Kebiri".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger