Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 28 September 2016

Belajar dari PON Jawa Barat 2016 (IMAM NAHRAWI)

Sepekan sudah gelaran Pekan Olahraga Nasional XIX 2016 Jawa Barat. Bagi penulis, mencermati semua yang terjadi dalam PON kali ini langsung teringat tulisan mendiang Gus Dur di Kompas pada Senin (18/7/1994) berjudul "Antara Kebanggaan dan Kekecewaan".

Kala itu, guru kami mengulas sejumlah pertandingan di Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat. Khususnya, kemenangan Swedia melawan Bulgaria, yang di mata almarhum terjadi karenastrategi bertahan lewat serangan balik sebagai cara bermain bola, efektif. Kecewa, karena Bulgaria, kala itu melalui striker legendarisnya, Hristo Stoickhov, mampu tampil sebagai kuda hitam meski akhirnya takluk. Bangga, karena penampilan spartan ternyata bisa ditampilkan tim semenjana terkat modal pembinaan dan spirit nasionalisme.

Hipotesis serupa bisa diterapkan; sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga, saya sangat bangga dengan apa yang sudah dilakukan semua pihak sejauh ini, terutama Pemprov Jawa Barat, dalam menyukseskan hajat terbesar olahraga empat tahunan di Tanah Air. Sekalipun sokongan anggaran dari kami relatif tak sebanding dengan kebutuhan, padahal ada dua event besar (selain PON, ada Pekan Paralimpik Nasional Oktober nanti), sepenuh daya telah dilakukan Pemprov Jawa Barat dan Panitia Besar (PB) PON yang dikomandoi langsung Gubernur Ahmad Heryawan.

Ada 44 cabang olahraga dengan 756 nomor pertandingan (Olimpiade Rio saja 28 cabang) dan melibatkan sekitar 9.533 atlet, 4.071 ofisial, 10.271 panitia pelaksana, dan 18.468 relawan— pekerjaan besar yang tidak mudah. Dalam penilaian obyektif penulis, PON XIX secara keseluruhan dalam sepekan ini berjalan lancar dan baik.Kinerja PB PON layak diapresiasi karena telah maksimal merealisasikan terselenggaranya pesta olahraga multicabang yang mungkin terbesar di dunia ini.

Pun demikian, selain kebanggaan, sebagai sebuah evaluasi dan pembelajaran ke depan, tak bisa dimungkiri ada hal yang harus segera diperbaiki dan dicegah jangan sampai terulang pada momentum kenduri akbar olahraga Indonesia ini berikutnya.

Pertarungan gengsi

Pertama, PON Jawa Barat masih banyak terjebak dalam pertarungan gengsi daerah semata. Alih-alih kesamaan semua pihak sebagai medium pembinaan berjenjang menuju ajang olahraga internasional (terutama Olimpiade), PON adalah adu prestise.

Menjaga gengsi daerah adalah sah-sah saja, bahkan menjadi aneh jika prestise tak dikejar tiap kontingen provinsi. Akan tetapi, tak berarti kemudian melupakan cara-cara sportif sekaligus mencederai spirit olahraga yang berbasis jiwa ksatria dan kelegawaan. Sekalipun secara keseluruhan semua pertandingan berjalan lancar dan baik, tetapi praktik- praktik panitia, wasit, atlet, suporter, dan semua pihak yang berlebihan mengejar gengsi daerah tersebut, sepatutnya segera dihentikan.

Sepekan setelah PON, dengan 318 dari 756 pertandingan final sudah dilaksanakan, kami catat tindakan tak sportif terjadi antara lain pada polo air, wushu, bola basket, sepak bola, futsal, hoki indoor, dan atletik.

Mari hentikan fanatisme kedaerahan, yang selain mencederai nilai olahraga, juga melupakan tujuan besar yang ingin kita capai, yakni PON sebagai pembinaan atlet berjenjang guna melahirkan para juara yang siap tanding di kancah internasional. Tak mungkin tujuan besar ini tercapai jika di level mikro pun, semua cara dan daya dilakukan mengingkari kaidah pertandingan olahraga global. Target dan tujuan makro hanya bisa dicapai jika kita sudah memulai dengan baik dan benar di tingkat mikro.

Kedua, spirit kedaerahan yang terlalu dangkal juga kerap membuyarkan konsentrasi dalam melahirkan atlet level juara internasional. Iming-iming bonus bagi atlet daerah menciptakan kondisi kontraproduktif. Terutama, dengan nominal lebih besar dari bonus peraih medali SEA Games, PON malah menjadi target banyak atlet yang sebenarnya sudah level top, tetapi masih mau bermain di level di bawahnya karena lawan main lebih mudah.

Situasi ini sangat menantang, karena kita bicara tentang pola pikir dan kebutuhan praksis mereka. Namun, hal yang sudah pasti, motivasi dan endurance para atlet ini untuk berprestasi di tingkat lebih tinggi menjadi cepat meredup dengan sendirinya.

Akhirnya, bangsa Indonesia juga yang dirugikan. Oleh karena itu, penulis mengimbau agar semua pihak memikirkan tujuan nasional lebih besar dengan tidak memberi bonus PON lebih besar dari bonus SEA Games. Selain itu, mari hentikan proses transfer atlet, yang lagi-lagi terjadi karena kelewat tingginya obsesi prestasi daerah dibandingkan menciptakan tujuan yang lebih besar, yakni regenerasi atlet lokal.

Kehadiran atlet-atlet yang sudah jadi akan cepat memuaskan ego prestasi tersebut. Namun, jangan lupa, pada waktu bersamaan, atlet lokal terbunuh ruang dan kesempatannya sehingga prestasi daerah sebenarnya berjalan pendek. Atlet yang sudah jadi umumnya berada dalam fase emas, tak lama lagi mereka pensiun. Namun karena ruang regenerasi juga ditutup dengan sadar oleh masing-masing provinsi, prestasi dievent olahraga berikutnya kerap kali menjadi mandek, bahkan jeblok.

Oleh karena itu, mari rawat nilai-nilai kebanggaan helatan PON dan untuk menangkal kerusakan masif dunia olahraga Indonesia, mari kita berjuang penuh sportif seraya hentikan praktik iming-iming bonus dan transfer atlet yang sebenarnya merugikan daerah itu sendiri dalam jangka panjang. Pada helatan-helatan terdekat selepas ini, yakni SEA Games 2017 di Malaysia, Asian Games 2018 di Indonesia, dan PON 2020 di Papua, kita harus bekerja optimal meski banyak keterbatasan seperti pada PON Jawa Barat.

Kita juga harus sepakat sepenuhnya bahwa semua pelanggaran harus disikapi. Kita tegakkan semua peraturan kepada siapa pun yang melanggar. Tak ada toleransi dan akomodasi karena akan jadi celah untuk toleransi- toleransi berikutnya.

IMAM NAHRAWI, MENPORA REPUBLIK INDONESIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 September 2016, di halaman 7 dengan judul "Belajar dari PON Jawa Barat 2016".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger