Lewat media sosial Haris menulis, Freddy sempat membawa narkotika dari Medan ke Jakarta bersama jenderal TNI berbintang dua, memberikan uang Rp 90 miliar kepada petugas Polri, dan Rp 450 miliar kepada petugas BNN. Semua diduga demi melancarkan peredaran 1,4 juta butir pil ekstasi melalui jalur laut/pelabuhan dari negeri Tiongkok ke Indonesia.
Setelah protes publik mewarnai media massa dan media sosial, serta muncul petisi hingga pernyataan sejumlah petinggi negara, penyelidikan kasus Haris ditunda sementara pada 11 Agustus. Ketiga instansi membentuk tim untuk mengusut keterlibatan anggotanya masing-masing dalam sindikat narkotika seperti disinyalir Haris. BNN secara langsung memeriksa Kepala LP Batu Nusakambangan Liberty Sitinjak, 8 Agustus lalu.
Meski lambat—baru mulai bekerja 15 Agustus—Polri lebih terbuka. Polri memakai istilah "tim independen" dengan melibatkan Direktur Setara Institute dan penasihat Kapolri era Badroddin Haiti, Hendardi; mantan Direktur Imparsial dan Komisioner Komisi Kepolisian Nasional, Poengky Indarti; serta peneliti komunikasi politik Effendi Gazali.
Sementara tim TNI dipimpin inspektur jenderal, asisten intelijen panglima, dan komandan pusat polisi militer (danpuspom), serta beranggotakan staf jajaran TNI. Danpuspom dikabarkan telah menemui beberapa pihak secara tertutup. Pihak TNI lainnya, instansi Badan Intelijen Strategis (Bais), ikut menelusuri kasus ini.
Akankah masing-masing tim efektif? Jika cerita Freddy benar, ia menggambarkan relasi sindikat narkotika dan pejabat negara dari banyak instansi yang berperan melindunginya ketika mengedarkan narkotika. Meski bisa dibongkar, ini merupakan relasi yang kompleks.
Pejabat sebagai beking
Profesor ilmu politik Richard Snyder dan Angelica Duran Martinez (2009) menggambarkan relasi yang kompleks ini dengan memetakan peranan pejabat negara sebagai pelindung sindikat kejahatan di Meksiko dan Kolombia. Menurut mereka, pejabat negara selaku pelindung (protektor) cenderung meninggikan harga proteksi. Ini dapat diperoleh dengan cara memonopoli suplai proteksi.
Protektor juga cenderung menambah jumlah sindikat kejahatan di wilayahnya demi meningkatkan pendapatan. Semakin banyak sindikat yang mereka berhasil lindungi, semakin tinggi jatah total penghasilan kriminal mereka. Selain itu, kompetisi di antara sindikat untuk mendapat dukungan protektor meninggikan harga proteksi. Memproteksi beragam sindikat mengurangi ketergantungan mereka pada pendapatan tunggal.
Di sisi lain, masih menurut Snyder dan Martinez, sindikat kriminal cenderung meminimalisasi harga proteksi. Mereka ingin memiliki monopoli atas kegiatan bisnis gelapnya. Mereka lebih ingin memiliki banyak protektor karena kompetisi para protektor menurunkan harga proteksi. Memiliki banyak protektor juga memungkinkan sindikat kriminal mengurangi ketergantungan mereka pada satu sumber. Mereka memetakan relasi aktor-aktor ini menjadi empat pola. Pertama, satu protektor, banyak organisasi kriminal. Kedua, banyak protektor, satu organisasi kriminal. Ketiga, satu protektor, satu organisasi kriminal (per jurisdiksi). Terakhir, banyak protektor, banyak organisasi kriminal.
Nah, dari pemikiran mereka, bisa jadi apa yang diceritakan Haris merefleksikan pola relasi yang kedua, yaitu banyak protektor, satu organisasi kriminal. Meskipun fakta sesungguhnya mungkin lebih dari sekadar relasi demikian. Data BNN 2016 yang mengidentifikasi 72 sindikat narkotika dapat menggeser Indonesia ke dalam pola keempat; banyak protektor, banyak sindikat kriminal.
Terlepas dari pola apa pun, apakah tim-tim yang dibentuk Polri, BNN, dan TNI akan berhasil mengungkap pejabat negara dari instansi mereka yang menjadi protektor sindikat narkotika? Terlalu prematur untuk menjawabnya. Seperti termaktub pada konsideran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Butir e: "...tindak pidana Narkotika telah bersifat trans-nasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas...."
Karakteristik kejahatan ini mensyaratkan pengusutan yang andal dengan tingkat kerja sama yang tinggi antarsemua instansi. Kita berharap mereka berhasil. Setidaknya mengidentifikasi pejabat negara yang terlibat dan menjatuhkan sanksi. Jika itu tercapai, kita semua pantas mengapresiasi.
Tim independen di bawah Presiden
Lalu, bagaimana dengan usul pendirian tim independen di bawah presiden? Merupakan suatu kewajaran apabila masyarakat mengusulkan perlu langkah luar biasa dari presiden mengingat ada dugaan keterlibatan pejabat negara dalam melindungi sindikat narkoba.
Meski berbeda, pengalaman sebelumnya dapat dijadikan contoh di mana presiden membentuk tim independen terkait dugaan pejabat negara dalam kejahatan. Presiden BJ Habibie pernah mendirikan Komite Independen Penyelidik Pelanggaran HAM dan Tindak Kekerasan saat Aceh berstatus Daerah Operasi Militer 1989-1998. Presiden Megawati Soekarnoputri membentuk Komisi Penyelidik Nasional atas dugaan keterlibatan aparat dalam pembunuhan tokoh Papua, Theys Elluay, November 2001.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membentuk Tim Pencari Fakta atas kasus meninggalnya pejuang HAM Munir yang mengungkap keterlibatan pejabat negara saat itu. Yang istimewa adalah Presiden Abdurrahman Wahid. Ketika ada dugaan petinggi negara terimplikasi pelanggaran HAM Timor Timur pada 1999, Presiden Wahid memberhentikan pejabat tersebut lalu mendirikan pengadilan ad hoc untuk memeriksa lebih jauh.
Jokowi memang bukan Habibie, Megawati, SBY, atau Wahid. Gaya kepemimpinannya berbeda. Namun, bukankah tujuan mereka dalam memimpin republik ini semestinya sama? Semua tentu di tangan presiden. Namun, semua komponen bangsa wajib mengawal kasus ini hingga tuntas. Jika berhasil, ke depan jaminan negara kepada warga untuk menyampaikan informasi sensitif seperti Haris akan mendorong warga negara lainnya untuk berekspresi.
Seperti diyakini Robert Dahl (1989), kebebasan berekspresi perlu dijamin demokrasi bukan untuk kebebasan itu sendiri, melainkan agar setiap warga bisa berpartisipasi efektif, mencerahkan pemahaman, dan mengontrol agenda dalam kehidupan politik.
USMAN HAMID, PENDIRI CHANGE.ORG INDONESIA DAN DOSEN SEKOLAH TINGGI HUKUM JENTERA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar