Bagi demokrasi kita, kenyata- an itu merupakan tantangan serius yang harus segera dijawab. Dalam studi demokrasi, kualitas demokrasi ditentukan antara lain oleh derajat keinklusifan politiknya. Semakin inklusif sebuah sistem politik demokratis, semakin baik kualitas demokrasinya.
Secara anatomi, inklusi merupakan salah satu konsep kunci dalam politik, terutama politik identitas. Basis argumentasinya, menurut Habermas dalam The Inclusion of the Other, moralitas tentang solidaritas universal dan tanggung jawab sesama.
Respek yang setara terhadap setiap orang, menurut Habermas, tak terbatas pada mereka yang seragam dengan kita,tetapi mesti diperluas kepada orang lain yang ingin tetap pada "ke-lain-annya".Solidaritas atas orang lain sebagai bagian dari kita merujuk pada kelenturan "kita" menolak semua determinasi substantif dan memperluas batas-batas komunal. Artinya, meski batas komunitas itu ada, orang-orang yang berbeda dari kalangan yang lebih luas dimungkinkan masuk.
Komunitas moral itu menegakkan dirinya semata-mata melalui jalan menghapuskan diskriminasi dan tindakan membahayakan lainnya, serta dengan memperluas relasi berdasarkan rekognisi mutual yang meliputi orang-orang terpinggirkan. Komunitas itu tak dibangun sebagai upaya kolektif memaksakan homogenitas anggotanya serta sebagai upaya menegaskan kekhasan komunitas itu. Jadi, inklusi dalam konteks ini bermakna bahwa batas-batas sebuah komunitas terbuka bagi semua, untuk liyan dan orang yang "asing" bagi yang lain dan ingin bertahan dengan ke-'asing'-annya.
Dalam spektrum studi demokrasi, relasi yang banyak dengan yang sedikit, yang mayor dengan yang minor, yang dibedakan batas identitas individual masing- masing adalah salah satu variabel kunci. Alasannya, demokrasi adalah kombinasi utuh antara majority rule dan minority rights. Itu sebabnya Juan J Linz mengidealkan demokrasi sebagai the only rule of game in town.
Persoalannya, salah satu soal serius yang kerap pada masyarakat demokratis, sebagaimana juga diidentifikasi Habermas, adalah ketika sebuah kelompok dominan politis, yaitu kultur mayoritas, memaksakan jalan hidupnya kepada minoritas. Pemaksaan itu kemudian berdampak pada pengabaian kesetaraan hak yang efektif kepada warga negara lain dari latar kultural berbeda. Dalam konteks itu, minoritas tak semata-mata dilihat sebagai subyek yang dikalahkan dalam pemilu oleh mayoritas.
Pemerintahan mayoritas pada akhirnya bekerja dalam keterbatasan komposisi kewargaan yang dibayangkan akan menghasilkan sesuatu sebagai prosedur netral. Sesungguhnya prinsip mayoritas bergantung pada asumsi mereka sendiri sebelumnya mengenai kesatuan komunitas—atau unit politik, dalam istilah Robert Dahl.
Politik inklusi
Dengan demikian, mayoritas akan kesulitan berbuat adil, terutama kepada minoritas. Perilaku adil bagi kesatuan masyarakat secara keseluruhan seharusnya melampaui prinsip mayoritarianisme. Hanya inklusi yang memungkinkan terwujudnya keadilan di tengah kompleksitas mayoritarianisme demokrasi itu.
Politik inklusi dinisbahkan pada pengaturan bersama yang memiliki sensitivitas memadai terhadap latar kultural individu dan kelompok yang spesifik berbeda. Sebagai satu-satunya aturan main, demokrasi harus mampu menginstal politik inklusi dalam dirinya, lebih-lebih pada masyarakat pluralis dan multikultural.
Dalam perkembangan negara- negara demokrasi konstitusional, mereka menyediakan berbagai rute mewujudkan impian politik inklusi yang sensitif perbedaan. Pertama, melalui delegasi kekuasaan di negara federal. Kedua, desentralisasi atau transfer fungsional kekuasaan negara. Keempat, jaminan otonomi kultural dan hak-hak kelompok masyarakat dengan kekhasan tertentu. Kelima, kebijakan kompensatori dan mekanisme lain untuk memastikan perlindungan efektif bagi kelompok minoritas. Keenam, politik elektoral yang menjamin representasi politik formal bagi mereka, seperti di beberapa negara Eropa.
Dari satu peristiwa elektoral yang satu ke yang lain, kita tampaknya tak memiliki rute politik yang jelas untuk menjamin bahwa kompetisi politik dalam demokrasi adalah kontestasi gagasan mengenai pilihan untuk mewujudkan kebaikan bersama dalam arena negara-bangsa. Jadi, bukan ruang mempersoalkan keunikan primordial yang sedikit sehingga demokrasi hanya untuk yang banyak, yang memiliki penciri primordial yang serupa.
Faktanya, mempersoalkan identitas primordial yang sedikit, yang berbeda dari identitas individual komunitas politik yang banyak—dengan bumbu kampanye busuk dan teori konspirasi—digunakan para juru kampanye sebagai cara instan paling efektif mendulang suara pemilih. Regulasi pemilu, pilkada, dan penyelenggaranya gagal membaca diskriminasi semacam itu sebagai patogen serius demokrasi. Praktik itu jadi "pendidikan politik" reguler yang destruktif.
HALILI, PENELITI DI SETARA INSTITUTE
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Minoritas dan Politik Inklusi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar