Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 26 September 2016

Buah Simalakama Pajak (WIM POLI)

Dalam hal pembangunan, pajak adalah alat pemerintah untuk membiayai program pembangunan, yang kian hari kian meningkat dalam negara yang menginginkan peningkatan kemakmuran bangsa yang lebih adil. Di lain pihak, pelaku bisnis dapat merasa pajak sebagai beban yang menghambat usaha kreatifnya sebagai wirausaha.
HANDINING

Pandangan yang berbeda ini sejalan dengan pandangan yang berbeda dari dua ekonom besar abad XX, yaitu John Maynard Keynes (1883-1946) dari Inggris dan Joseph Alois Schumpeter (1883-1950) dari Austria. Keduanya sama dalam menentang pendapat umum yang ada, tetapi berbeda dalam menanggapinya.

Dua pandangan

Pandangan keduanya berbeda karena keduanya: (1) melihat dunia dengan kacamata yang berbeda; (2) menanyakan pertanyaan yang berbeda; (3) memberikan jawaban pemecahan masalah yang berbeda. Kini, di Indonesia, ketika orang berpendapat berbeda tentang pajak, harus diusut asal-usul perbedaan itu, yang mungkin tak disadari oleh setiap pihak. Pertanyaan yang mendasar ialah apa gambaran idealnya sebuah sistem perekonomian?

Bagi Keynes, gambaran yang ideal ialah adanya keseimbangan antara permintaan dan penawaran dalam jangka pendek. Keseimbangan itu tak dapat dijamin oleh kekuatan pasar. Karena itu, pemerintah harus turun tangan untuk membantu mencapai keseimbangan. Caranya: kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Dalam hal kebijakan fiskal, pemerintah mengutak-atik pemungutan pajak, yang selanjutnya digunakan untuk menentukan besarnya anggaran belanja pemerintah. Inilah resep umum dari Keynes, yang luas diterapkan di seluruh dunia setelah Perang Dunia II, termasuk di Indonesia.

Sebaliknya, menurut kacamata Schumpeter, sistem perekonomian selalu berada dalam ketidakseimbangan yang dinamis, yang terus-menerus berubah dalam jangka panjang. Perubahan yang dinamis itu berasal dari para wirausaha, yang menggunakan laba sebagai sumber untuk pembentukan modal baru dan cara produksi yang baru, meniadakan yang lama. Apa yang lama perlu dihancurkan untuk pembentukan masa depan yang lebih baik. Ungkapan yang terkenal ialah sebuah creative destruction; penghancuran yang kreatif. Laba adalah alatnya. Penghancuran yang kreatif ini terhambat jika pemerintah menaikkan pemungutan pajak untuk membiayai pembangunan, yang menjurus keterhambatnya pembangunan jangka panjang. Buah simalakama! Bagaimana mengatasinya? Schumpeter tidak memberikan jawaban. Baginya, jawaban tak penting ketimbang pertanyaan yang tepat untuk dijawab.

Sebaliknya, Keynes memberikan jawaban untuk mengatasi masalah dalam jangka pendek. Karena, katanya: In the long run we are all dead. Di dalam jangka panjang kita semua sudah mati.

Penerapan resep Keynes tampak berhasil di Amerika Serikat setelah Perang Dunia II melalui kebijakan Presiden Franklin Delano Roosevelt (1882-1945). Karena berhasil, tangan pemerintah kian dominan di sana. Jumlah pajak, peraturan pelaksanaan dan pelaksananya juga meningkat drastis. Belanja pemerintah yang meningkat diikuti proses pengambilan keputusan oleh banyak pihak terkait, yang menyebabkan proses tersebut kian rumit dan lama, bahkan di sana-sini bertentangan satu sama lainnya. Akibatnya, pada 1970-an terjadi stagnasi dan inflasi sekaligus: stagflasi.

Tanggapan Presiden Ronald Reagan (1911-2004) ialah menurunkan pajak dan menyeimbangkan anggaran pendapatan dan belanja pemerintah. Ini resep umum yang diajarkan sampai sekarang di mana-mana, khususnya di perguruan tinggi. Kenyataannya, dengan model-model perencanaan yang menggunakan peralatan komputer yang kian canggih, masih juga terjadi krisis tahun 1997 dan 2007, yang tidak teramalkan sebelumnya.

Berbeda dari Keynes, Schumpeter melihat laba dari para wirausaha sebagai motif untuk penghancuran kreatif, yang dapat terhambat oleh peningkatan pemungutanpajak oleh pemerintah. Kenyataan puluhan tahun terakhir menunjukkan, ketika para wirausaha di beberapa negara—termasuk Indonesia—melihat situasi di dalam negerimenghambat usahanya, mereka mencari tempat yang lebih aman di luar negeri, yang kini populer disebut surga pajak.

Muncullah kekuatan penyeimbang oleh tangan pemerintah dalam bentuk amnesti pajak, yang masih kontroversial. Mengapa? Pertama, prioritas pembuat kebijakan yang berbeda tentang pembangunan jangka pendek dan jangka panjang. Kedua, meningkatnya tuntutan penerapan demokrasi di dalam negara yang kian makmur.

Ini pendapat pokok Schumpeter, yang mungkin sekali luput dari perhatian orang, bahkan diejek oleh sebagian orang. Pendapatnya yang "aneh" itu dikemukakan di dalam bukunya,Capitalism, Socialism and Democracy(1942). Menurut Schumpeter, demokrasi di dalam negara maju akan memunculkan sebuah kekuatan kelas baru di dalam masyarakat, yaitu kaum terdidik yang berprofesi sebagai teknokrat, akademisi, pengacara, wartawan, dan sebagainya. Mereka ini adalah hasil pembangunan negara oleh pemerintah yang mengandalkan kebijakan moneter dan fiskal.

Pemerintah, yang mau populer di mata kelas baru yang terdidik ini, cenderung mengadopsi tuntutan mereka untuk mencapai masyarakat yang lebih adil. Supaya lebih adil, pemerintah didesak mengalihkan dana dari sektor riil, yang berguna untuk pembangunan jangka panjang, ke sektor jasa yang kehidupannya bergantung pada produktivitas sektor riil. Pemerintah, yang mau populer di mana rakyat yang memilihnya, cenderungterdesak untuk meningkatkan pemungutan pajak, yang mengancam pembangunan jangka panjang. Sekali lagi: buah simalakama.

Perlu keseimbangan

Mana yang benar, pandangan Keynes atau Schumpeter? Keduanya benar, menurut kacamata masing-masing. Ada kacamata dekat, ada kacamata jauh. Keynes menekankan keseimbangan permintaan dan penawaran di dalam jangka pendek. Schumpeter menekankan kemajuan dinamis di dalam jangka panjang. Pajak adalah sebuah pisau bermata dua bagi pembangunan.

Pandangan Keynes yang rasional di atas perlu disandingkan dengan sebuah peringatannya yang lain, yang sudah dikemukakannya tahun 1936. Pasar tidakdapat dikendalikan sepenuhnya oleh tangan pemerintah yang bertindak berdasarkan pertimbangan rasional. Pasar lebih merupakan hasil tindakan para pelaku individual yang tidak terhingga banyaknya, yang bertindak berdasarkan informasi yang tidak lengkap, tidak sama, bahkan mungkin bertentangan satu dengan yang lainnya.

Dalam keadaan semacam itu, para pelaku pasar cenderung bertindak berdasarkan animal spirits (naluri hewan), bukan pertimbangan rasional saja. Keterbatasan kemampuan tangan pemerintah untuk mengendalikan pasar dan naluri hewan para pelaku pasaradalah dua penyebab utama terjadinya krisis tahun 1997 dan 2007. Seyogianya, dari krisis global tersebut, perlu dipertimbangkan kembali keseimbangan antara resep Keynes dan resep Schumpeter.

Pilihan kebijakan pembangunan yang arif ialah selalu mempertimbangkan pajak sebagai buah simalakama, yang turut memengaruhi kebijakan jangka pendek dan panjang. Dalam hal mencari keseimbangan itu, ilmu ekonomi dan kebijakan pembangunan ekonomi tidak dapat dipisahkan dari keragaman kekuatan politik yang ada dan pertimbangan moral pembuat kebijakan pembangunan. Kearifan lokal, menurut situasi nyata yang dihadapi, dan masa depan yang diinginkan. Kata Peter F Drucker (1909-2005), Bapak Ilmu Manajemen Modern: "Kepintaran adalah raja sehari, tetapi kearifan adalah pewaris masa depan.

WIM POLI, GURU BESAR EMERITUS FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS HASANUDDIN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 September 2016, di halaman 7 dengan judul "Buah Simalakama Pajak".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger