Cari Blog Ini

Bidvertiser

Minggu, 11 September 2016

Hari Raya dan Perdamaian (AHMAD MUCHLISH AMRIN)

Kami datang untuk merayakan hari raya. Kami ingin bertanya kepada kalian, mengapa di negeri kami tidak ada hari raya?

Itulah lirik emosional berjudul "U'thuna al- Thufulah" (Berikan Masa Anak-anak Kami) yang menggema dari bibir gadis cilik 9 tahun asal Suriah, Ghina Bou Hamdan, di panggung "The Voice Kids" pada 6 Januari 2016. Ia menyuarakan rintihan anak-anak yang kehilangan kesenangan masa kecil karena letupan bedil dan asap bom yang menyesaki langit negerinya.

Ia datang di panggung itu untuk merasakan hari raya yang tak pernah ia alami. Padahal, semua orang mengimpikan kebahagiaan, kedamaian, rasa aman, serta merayakan hari raya bersama keluarga dan sanak saudara. Ghina memanggil hati nurani dunia untuk menjawab, merenungi, dan membantunya memberikan perdamaian sehingga ia dan anak- anak lainnya dengan leluasa dapat merayakan hari raya dengan bahagia.

Wahai semua, kata Ghina. Matanya menaburkan keteduhan kepada semua penonton. Tanah airku telah hancur/ kemerdekaan kami telah dirampas/ cita-cita kami yang setinggi langit/ entah kapan akan tercapai? Tiba-tiba Ghina tertunduk, raut wajahnya bergambar sebuah negeri yang sedih, air matanya menghapus cita-cita setinggi langit, ingatan- ingatannya melanglang pada teman-teman sepermainan yang dipaksa pergi ke alam baka oleh senjata-senjata keji perang.

Bagaimana mungkin ia akan merayakan hari raya? Bagaimana mungkin tersenyum di atas tanah tumpah darah yang hancur?

Dalam situasi itu, merayakan hari raya sesungguhnya bukanlah merayakan kemenangan. Merayakan hari raya substansinya adalah merayakan perdamaian. Kemenangan lebih dekat pada permusuhan dan rasa dendam. Di setiap kemenangan pasti ada yang dikalahkan. Sementara perdamaian merajut persahabatan, cinta, dan kasih sayang. Puncak dari pencapaian religiositas manusia sejatinya bukanlah menang, melainkan damai dengan diri sendiri, sesama, alam, dan bermanfaat pada seluruh semesta raya.

Selebrasi spiritual

Agama-agama dunia pasti memiliki hari rayanya masing-masing, lambang dari puncak pencapaian spiritual. Sesama pemeluk agama mengucapkan selamat, saling memaafkan, dan melebur ego diri yang mengarah pada permusuhan menuju perdamaian sejati. Itu sebabnya, dalam istilah Jawa disebut lebar atautellas artinya lebur dan habis segala bentuk energi negatif yang merugikan orang lain.

Di zaman tablet atau komputer pribadi—meminjam bahasa Alfin Tofler (1986)—perjalanan spiritual manusia mengalami perubahan. Pengalaman puncak spiritual yang seharusnya direnungi sebaik-baiknya berubah menjadi selebrasi spiritual yang kurang mendalam. Pelaksanaan ibadah haji atau umrah, misalnya, diwarnai dengan selfie.Kebahagiaan masyarakat kita hari ini ternyata bukan proses penyatuan atas perilaku ibadah, melainkan selebrasi agar diketahui orang banyak melalui media sosial.

Pengalaman spiritual tak perlu dipamerkan karena Tuhan Mahatahu. Capaian-capaian materi hanyalah alat untuk memfasilitasi proses perjamuan dengan Allah SWT. Selebihnya tak ubahnya buih di tengah lautan yang terbawa ke segala arah. Pengalaman spiritual adalah cahaya matahari yang harus bebas dari mendung selebrasi pribadi.

Silaturahim ke rumah sanak keluarga di kampung pun tidak sekadar bertujuan untuk perdamaian dan pemaafan, tetapi selebrasi pribadi dengan menunjukkan segala sesuatu yang dimiliki. Kisah kaum urban yang dibagikan di kampung halaman tak lagi berkisah seputar persoalan pengalaman spiritualitas, tetapi persoalan materi dan pekerjaan. Gejala ini menunjukkan bahwa masyarakat kita cenderung selebratif.

Rekonsiliasi nurani

Merayakan hari raya pada substansinya adalah menanamkan kesadaran akan pencapaian kesucian nurani. Pada hari raya, manusia mengamalkan ritual seolah-olah diri mereka anak-anak, sunyi dari dendam dan keinginan untuk meraih kemenangan. Itu sebabnya, Ghina menggemakan nyanyiannya di atas panggung itu dengan penuh keharuan.

Negeriku kecil seperti tubuhku yang kecil, beri kami kedamaian dan kembalikan masa anak-anak kami. Berikan masa anak-anak kami, berikan pada kami, berikan kami kedamaian.

Meskipun sejarah umat manusia sejak zaman ekumene 6.000 tahun lalu adalah sejarah peperangan dan pertikaian, hendaknya manusia masa kini mampu lebih cermat dan visioner akan pentingnya memelihara perdamaian. Ritualitas umat beragama sesungguhnya untuk diterjemahkan ke dalam nilai-nilai sosial dan aksi-aksi perdamaian dalam hubungan bilateral di seluruh penjuru dunia.

Kecerdasan pikiran, kemajuan teknologi informasi, pengayaan persenjataan antarnegeri, dan kekuatan-kekuatan lain terasa nisbi adanya jika harus merampas hak-hak perdamaian, kemerdekaan, dan anak-anak kehilangan kebahagiaan. Perayaan hari raya adalah perayaan perdamaian dan kemerdekaan.

Akhirnya, sebagaimana raungan Sutardji Calzoum Bachri, marilah kita ngebut di jalan lurus.

AHMAD MUCHLISH AMRIN, PENYAIR DAN CERPENIS, TINGGAL DI YOGYAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Hari Raya dan Perdamaian".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger