Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 26 September 2016

Kehadiran Negara (DAOED JOESOEF)

Belakangan ini mengemuka pemberitaan tentang kehadiran negara yang diakui Wakil Presiden Jusuf Kalla "memang belum optimal". Gejala ini diketengahkan sampai dua kali berturut-turut di bulan September oleh Kompas.
DIDIE SW

Ia memang pantas dipermasalahkan, dibahas secara kritis, bukan karena "memastikan kehadiran negara" merupakan tema sentral Nawacita dari Presiden Jokowi, tetapi jauh lebih serius daripada itu, berhubung ia menentukan kelanjutan hidup (survival) dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Melalui proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 lahir negara dan bangsa Indonesia. Kedua entitas human ini terbentuk bukan dari yang tidak ada—ex nihilo nihil fit—tetapi dari aneka suku dan etnik yang sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Mereka ini bukan sembarang kluster makhluk, tetapi punya daerah kekuasaan, hukum (adat), memori, tradisi, mitos, dan bahasa masing-masing, bahkan ada yang punya aksara dan penanggalan serta sistem pemerintahan sendiri berupa kerajaan berdaulat.

Kemerdekaan nasional mengajak mereka membentuk satu entitas human yang lebih besar dan lebih tinggi, lebih bermartabat dan lebih menjanjikan, sepadan dengan panggilan zaman. Sejak itu, tidak boleh ada lagi "rakyat daerah" tetapi "orang daerah". Yang ada adalah "rakyat Indonesia" di mana mereka menjadi bagian konstitutif yang menentukan, bukan sekadar berupa "penduduk", tetapi "warga negara" (citizen). Majemuk namun satu— Bhinneka Tunggal Ika.

Negara adalah bangsa yang terorganisasi. Sedangkan bangsa, by its very nature, bukanlah pengertian deskriptif. Ia bukan suatu fakta mapan. Ia berupa status nascendi yang permanen yang dari pembawaan alaminya selalu in potentia, tidak pernah in actu. Dengan kata lain, istilah "bangsa" ini bukan menyatakan keadaan, tetapi suatu gerakan, suatu kemauan, suatu usaha bersama.

Jadi ada unsur kerawanan yang melekat pada soal eksistensi negara, lebih-lebih Negara Kesatuan Republik Indonesia, berhubung ia lahir dari "a revolution of rising expectations".Kehadiran negara sangat diniscayakan demi pemenuhan harapan-harapan tersebut.

Pemerintahan Orde Baru, melalui kebijakan pembangunannya yang sentralistik, mengesankan hanya memenuhi kebutuhan warga yang berada di pusat pemerintahan dan ini diidentikkan dengan warga yang ada di Pulau Jawa. Daerah lalu bereaksi dengan mulai satu per satu menjauhi pusat, berusaha mendapatkan pemuasan dengan mengandalkan potensi etnis di daerah masing-masing.

Pemerintah pusat menanggapi peristiwa ini sebagai usaha memisahkan diri dari negara kesatuan, jadi suatu pemberontakan dan kemudian ditumpas secara militer. Pemerintah pusat menang, tetapi meninggalkan bekas luka yang mendalam di daerah. Padahal, mereka pada asasnya bukan berniat memisah dari NKRI. Mereka hanya menginginkan suatu pelaksanaan pembangunan yang relatif merata, tidak hanya di antara sesama warga, tetapi juga dalam artian sesama daerah.

Reformasi menyadari ketimpangan pusat-daerah ini dan berupaya mengoreksinya dengan mengadakan otonomi kedaerahan. Euforia desentralisasi dan otonomi melahirkan raja-raja kecil di daerah yang—sambil membangun dinasti kekeluargaan dan menyalahgunakan kekuasaan—dengan rakus melalap kekayaan potensial daerah. Alih-alih mengoreksi kecenderungan destruktif tersebut, partai politik malah diam-diam memanfaatkannya untuk membangun monarki politiknya sendiri dengan mengatasnamakan demokrasi. Bila demokrasi diumpamakan pohon, organisasi politik sudah menjadi parasit, bukan lagi sekadar epifit.

Konsekuensi sifat revolusi

Ketika rakyat Perancis mencetuskan revolusi, negara dan bangsa Perancis sudah ada, mapan dengan kebudayaannya yang sudah mendunia. Mereka berevolusi untuk menggantikan pemerintahan monarkis menjadi pemerintahan demokratis. Revolusi Amerika yang terjadi sebelum ini digerakkan oleh generasi kedua para pendatang. Nenek moyang mereka pergi ke Amerika, mereka sebut "benua baru", meninggalkan Eropa yang mereka juluki "benua lama", karena di kampung halaman aslinya itu mereka tidak bisa hidup dan berkembang sesuai dengan bakat dan kemampuan pribadinya. Maka kalau mereka tidak puas dengan kehidupan baru di ranah harapan tersebut, mereka lalu bekerja dan berusaha lebih keras lagi karena "they have nowhere to go".

Ketika "enlightened people of Indonesia" berevolusi, suku dan daerah etnis yang dicakupnya tidak hidup dalam kekurangan. Tidak pernah ada catatan yang mewartakan mereka berbondong-bondong eksodus untuk menghindari kesengsaraan hidup. Maka kalau mereka tidak puas dengan apa yang dijanjikan revolusi, mereka berusaha mengatasinya dengan kembali ke daerah etnis masing-masing yang tempo doeloe memberikan mereka suatu kehidupan yang relatif memuaskan. Gerakan inilah yang dianggap pusat sebagai "pemberontakan" dan ditumpas menurut artian tersebut.

Maka kehadiran negara sungguh diniscayakan. Kehadiran ini terasa efektif melalui tindakan aparatur negara dari eselon tertinggi hingga terendah, baik di jajaran sipil maupun militer. Berarti, sistem dan prosedur rekrutmen kepegawaian sangat penting untuk ditaati, mengingat para partai politik cenderung mengganggu. Tidak jarang partai politik berusaha keras menempatkan orang-orangnya di posisi tertentu eksekutif, terutama yang "basah", banyak "sabetannya". Begitu rupa hingga mengacau jalannya sistem karier yang sehat. Ada pemimpin partai politik yang tidak segan-segan menegaskan bahwa anggota partainya adalah petugas partai di mana pun dia berada. Dengan kata lain, parpol ikut menggerogoti.

Mengoptimalkan kehadiran negara dimulai dengan tindakan strategis di dua bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Disebut "strategis" berhubung keberhasilannya akan sangat mempermudah usaha menegakkan (wibawa) negara di bidang-bidang lainnya.

Pertama, bidang pembangunan nasional yang konsepnya dinyatakan dalam term "ruang sosial", yang tidak membuat warga setempat hanya menjadi "penonton" tetapi berperan aktif selaku "partisipan", "diwongke" di mana demokrasi langsung bisa hidup yang di level nasional sudah tidak mungkin lagi. Dalam konteks ini, terbuka peluang bagi negara untuk melakukan perannya sebagai "tutor", tidak hanya sebagai "pengabdi" (servant).

Kedua, bidang keamanan, baik yang menyangkut kehidupan rakyat sehari-hari di mana pun dan jam berapa saja maupun yang terkait dengan keselamatan negara dan bangsa (ketahanan nasional).

Kelanjutan hidup negara-bangsa

Kehadiran negara menjadi urgen mengingat ucapan profetis dari Alexis de Tocqueville, filosof politik Perancis, sudah membayang di negara kita. Profetik ini diucapkannya seabad yang lalu, berbunyi: "a democratic power is never likely to perish for lack of strength or of its resources, but it may very well fall because of the misdirection of its strength and the abuse of its resources".

Kehadiran negara diniscayakan demi preservasi unsur-unsur yang membentuk hukum dari kelanjutan hidup. Unsur itu berupa: hutan, udara, kekayaan alam, unsur air dan membumi (memiliki tanah).

Hutan bagai paru-paru yang berfungsi selaku alat pernapasan. Ia menyimpan aneka ragam flora dan fauna anugerah Tuhan. Terkait erat dengan keberadaan hutan, manusia tidak mungkin hidup tanpa udara. Ia perlu dijaga jangan sampai tercemar. Polusi tak ubah dengan pilek. Ia menyerang siapa saja, baik yang kaya maupun miskin, orang kota dan penduduk desa. Kekayaan alam adalahnatural endowment yang pantang diboroskan. Ia bukan warisan nenek moyang kepada kita, tetapi pinjaman kita kepada anak cucu, generasi mendatang, pelaksana kelanjutan hidup. Air adalah unsur kehidupan mahapenting bagi semua kehidupan.

Industri yang memerlukan air berkualitas baik dalam proses kerjanya harus mampu mengembalikan sama banyak air berkualitas baik di sungai dan danau. Hak berproduksi bukan hak memolusi. Sama dengan air dan udara, tanah tempat berpijak tidak lagi merupakan faktor nirharga untuk dimiliki dan dipakai. Hutan, udara, kekayaan alam, unsur air dan membumi (memiliki tanah) adalah kata-kata yang inisialnya membentuk akronim hukum. Ia mengingatkan kita, bangsa pelupa, adanya the basic law of survival. Negara perlu hadir untuk menegakkan hukum ini.

DAOED JOESOEF, ALUMNUS UNIVERSITE PLURIDISCIPLINAIRES PANTHEON-SORBONNE

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Kehadiran Negara".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger