Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 24 September 2016

Menteri ESDM dan Ketahanan Energi (JUNAIDI ALBAB SETIAWAN)

Kegaduhan seputar sosok menteri energi dan sumber daya mineral belakangan ini banyak membuang energi sia-sia.
HANDINING

Untuk bergerak maju, kementerian ini sesungguhnya sangat butuh menteri yang kuat, kesinambungan kebijakan, konsistensi program dan dasar hukum yang kokoh, serta tekad bersama seluruh rakyat untuk bersatu mewujudkan ketahanan energi.

Kementerian ini termasuk kementerian strategis yang tidak sekadar bertugas mengejar Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang tinggi. Lebih dari itu, juga ditantang mewujudkan ketahanan energi bangsa di tengah situasi krisis energi global yang semakin menggejala. Sementara sejumlah perundangan dan kebijakan yang ada belum mampu memadukan sikap dan kepedulian dari semua komponen bangsa untuk mewujudkan ketahanan energi dan membangun kesadaran menghadapi krisis energi yang kian dekat.

Karena itu, kementerian ini sangat butuh menteri yang kuat dalam mengemban misi nasional untuk mewujudkan kedaulatan energi, seorang nasionalis andal, yang paham konstitusi dan bukan sekadar pemain pasar.

Di ambang krisis energi

Sebagai pembantu presiden, menteri seharusnya berpegang teguh pada visi dan misi presiden ketika berkampanye. Pemerintah Jokowi-Kalla mengusung visi: "Jalan perubahan untuk Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian". Sebuah visi besar yang tidak mudah diwujudkan jika dilihat dari situasi dan kondisi Indonesia sekarang. Namun, janji adalah janji, sekali diikrarkan ia akan jadi pegangan dan alat bagi rakyat untuk mengevaluasi kinerja pemerintah.

Dari visinya, kita bisa menarik pesan bahwa pemerintah memandang Indonesia sedang menghadapi tiga masalah besar. Salah satunya "kelemahan sendi perekonomian bangsa yang disebabkan kesenjangan sosial, kesenjangan antarwilayah, kerusakan lingkungan hidup akibat eksploitasi berlebihan, serta ketergantungan pangan, energi, keuangan, dan teknologi".

Ketergantungan energi merupakan masalah serius dan di situlah peran menteri ESDM diperlukan. Kementerian ESDM merupakan salah satu motor penggerak perekonomian negara, kegagalan kementerian ini dalam menjalankan tugas untuk melepaskan bangsa ini dari ketergantungan energi akan berakibat mandeknya roda perekonomian yang berdampak multidimensi.

Maka, penggantian menteri ESDM di tengah masa jabatan tentu sangat merugikan, terlebih jika disertai kontroversi yang mengundang kegaduhan. Karena saat ini, menteri dituntut agar segera menyatukan semua potensi, mengumpulkan informasi, serta memetakan masalah-masalah di seputar tugas dan fungsi kementerian. Menteri harus segera mengumpulkan dan mendengar sejumlah kepentingan, mulai dari Dewan Energi Nasional (DEN) yang telah menyusun Rencana Umum Energi Nasional, DPR, Komite Eksplorasi Nasional, SKK Migas, BPH Migas, investor pengusaha, kontraktor kontrak kerja sama (K3S), BUMN dan BUMD migas, asosiasi pemerintah daerah penghasil migas, KPK, serta penegak hukum. Tidak kalah penting, menyinergikan temuan-temuan penelitian dari pusat studi energi sejumlah perguruan tinggi.

Sejak Indonesia merdeka, kita terus mencanangkan semboyan untuk mewujudkan kedaulatan energi, tapi pengertian kedaulatan energi tampaknya terlalu abstrak sehingga menjadi bias dalam praktiknya. Tafsirnya bergantung pada arah angin kebijakan penguasa berembus dan biasanya beda pemerintahan beda pula kebijakan. Akibatnya, kebijakan yang diambil bersifat sektoral, tidak berkesinambungan.

Saat ini kita berada di ambang krisis energi yang secara alamiah akan berpengaruh pada konstelasi global. Karena itu, tantangan Kementerian ESDM ke depan adalah mewujudkan ketahanan energi dan menyiapkan simulasi dalam menghadapi krisis. Membangun kesadaran krisis harus dikampanyekan kepada seluruh rakyat, sejalan dengan visi pemerintah yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan sekaligus pelaku utama pembangunan.

Kedaulatan energi yang diinginkan visi pemerintah kali ini bukanlan kedaulatan dalam keterisolasian, melainkan berangkat dari kesadaran saling ketergantungan antarsektor, antarwarga, bahkan antarnegara. Dengan demikian, kuncinya adalah pada komitmen kebersamaan sebagai bangsa dan pemimpin yang kuat, berkarakter, dan tidak mudah terombang-ambing desakan- desakan kepentingan pragmatis.

Dalam mewujudkan ketahanan energi, pemerintah harus pandai mengukur diri dalam ketersediaan sumber daya, pengetahuan, keahlian, dan kemampuan. Serta, tentu saja, bersatu padu menyamakan pemahaman dan langkah ke depan dengan keterbukaan informasi, komunikasi, dan koordinasi lintas sektor.

Selama ini kita terbiasa berpikir dan bekerja dengan orientasi migas. Sementara migas akan semakin hilang dari perut bumi karena habisnya persediaan dan sifatnya yang tidak terbarukan.

Tanda-tanda krisis

Lembaga konsultan Norwegia, Rystad Energi, menyampaikan hasil penelitiannya: dengan kecepatan produksi saat ini, cadangan minyak dunia hanya akan bertahan selama 70 tahun. Sementara Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan, rendahnya harga minyak akan menurunkan efisiensi energi serta memicu produksi migas dan mesin berbahan bakar migas.

Data IEA menunjukkan, investasi di sektor minyak menurun pada 2015, kemudian menurun lagi di 2016. Ini merupakan penurunan dua kali berturut-turut dalam tiga dekade terakhir akibat menipisnya persediaan dan sulitnya lapangan pengeboran sehingga memerlukan biaya tinggi yang tidak sebanding dengan nilai jual. Sebab, harga minyak dunia terus mengalami penurunan akibat kelebihan pasokan lantaran tak terkontrolnya produksi minyak dunia.

Di dalam negeri, saat ini migas masih jadi penopang utama pembangunan sebagai sumber pendapatan tertinggi negara di luar pajak. Namun, persediaan migas makin berkurang dari waktu ke waktu. Cadangan minyak diperkirakan hanya cukup sampai 11 tahun ke depan, sementara cadangan gas diperkirakan cukup sampai 50 tahun ke depan.

Menurut SKK Migas, tanpa ada upaya pencarian sumur baru, produksi minyak mentah akan turun rata-rata 20 persen per tahun. Dalam kondisi itu, produksi minyak mentah Indonesia pada 3-5 tahun ke depan turun hingga 500.000 barrel per hari.

Peranan migas makin berkurang dan investasi sektor migas semakin mahal dan sulit, sementara harga minyak dunia terus turun drastis. Sumber gas yang ada belum dimaksimalkan, ditambah penemuan cadangan yang terbatas jumlahnya.

Situasi itu kini membuat pemerintah tunggang langgang. Untuk menjaga agar defisit anggaran tidak mencapai angka 3 persen, pemerintah dan DPR salah satunya bersepakat menurunkan besarancost recovery dari 11,9 miliar dollar AS menjadi 8 milliar dolar AS dalam RAPBN-P 2016. SKK Migas pun meminta agar asumsi lifting minyak dikurangi dari 800.000 barrel per hari ke angka 740.000-760.000 barrel per hari, sementara produksi gas pada angka 1,1 juta hingga 1,2 juta barrel setara minyak per hari dengan harga minyak mentah Indonesia (ICP) 40-50 dollar AS per barrel. Akibatnya, investasi migas akan makin tak menarik bagi investor.

Produksi minyak turun sementara produksi gas mengalami kenaikan, tapi daya serap masyarakat terhadap gas belum memadai karena transisi dari BBM ke bahan bagar gas (BBG) tidak diimbangi pembangunan infrastruktur hingga ke tengah-tengah masyarakat. BUMD migas hulu dan hilir yang semestinya dijadikan ujung tombak karena memiliki akses dan pengaruh langsung pada kesejahteraan masyarakat lokal justru dibiarkan mati perlahan dalam tekanan persaingan pasar bebas yang tak seimbang serta regulasi yang tak berpihak.

Indonesia diperkirakan menjadi "net importir" gas pada tahun 2030. Konsumsi migas terus meningkat, bahkan terus didukung dengan kebijakan subsidi BBM walaupun kemampuan keuangan negara sedang lemah. Ironisnya, konsumsi yang tinggi itu tidak bisa dipenuhi dari hasil produksi sendiri, tetapi bergantung pada minyak impor.

Di bidang mineral dan batubara (minerba), kebijakan baru besaran royalti, divestasi dan larangan ekspor konsentrat, serta kewajiban membangunsmelter masih berjalan lambat, ditandai ketidaktaatan investor dan lemahnya nilai tawar pemerintah. Sekalipun ditunjang kebijakan kenaikan royalti komoditas minerba—emas naik dari 1 persen jadi 3,75 persen; tembaga dari 3,75 persen jadi 4 persen; perak dari 1 persen jadi 3,25 persen; nikel dari 0,9 persen jadi 2 persen; logam dari 0,7 persen jadi 1,5 persen—tapi belum bisa berjalan secara efektif dalam membantu keuangan negara.

Indonesia juga memiliki sejumlah sumber energi baru terbarukan (EBT), seperti mikrohidro, biomassa, energi matahari, angin, nuklir, dan panas bumi. Namun, pengembangan EBT terlihat masih menghadapi kendala, terutama dari rendahnya kesadaran masyarakat terhadap arti penting EBT bagi masa depan Indonesia. Sementara pemerintah kurang masif dalam mengampanyekan EBT, sebaliknya justru cenderung memfasilitasi rakusnya pasar dan sikap konsumtif masyarakat pada bahan bakar fosil.

Beberapa catatan di atas mengingatkan betapa krisis energi sudah menghampiri kita. Mari manfaatkan waktu yang tersisa untuk bersatu mewujudkan ketahanan energi. Untuk itu, diperlukan kesadaran bersama dan kebijakan yang kuat dan berkesinambungan dari menteri ESDM di bawah pemerintahan yang berwibawa, kuat, dan berdaulat dengan tujuan memenuhi hak-hak dasar warga negara.

JUNAIDI ALBAB SETIAWAN, ADVOKAT, PENGAMAT HUKUM MIGAS

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 September 2016, di halaman 7 dengan judul "Menteri ESDM dan Ketahanan Energi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger