Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 24 September 2016

Keadilan yang Mengendap (DONI KOESOEMA A)

Anggaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terpangkas Rp 23,4 triliun untuk tunjangan penghasilan guru dengan alasan kelebihan anggaran. Terlepas dari apakah pengurangan ini usulan dari Kemdikbud atau "paksaan" dari Kementerian Keuangan, kelebihan anggaran selain menunjukkan buruknya manajemen pendataan guru dan tenaga kependidikan, juga abainya birokrasi pada hak guru yang sudah bersertifikasi.

Kasus guru yang sudah memiliki sertifikasi pendidik tapi tunjangannya tidak cair banyak terjadi selama empat tahun terakhir. Data yang disampaikan Nurzaman, Sekretaris Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, jelas menunjukkan bahwa dalam dana tunjangan penghasilan guru (TPG) yang dipotong tersebut masih ada hak-hak guru (Kompas, 31/8).

Ada 33.000 guru yang tidak berhak mendapatkan TPG karena tidak memenuhi syarat mengajar 24 jam. Ada 26.000 guru yang tidak bisa memperoleh TPG karena tidak sesuai antara apa yang diajarkan dan sertifikasi yang dimilikinya. Sebanyak 59.000 guru yang tidak memperoleh TPG ini semuanya pernah memperoleh sertifikasi.

Korban kebijakan

Guru yang jumlahnya 59.000 ini umumnya masih mengajar. Mereka tidak memenuhi kuota 24 jam, bisa jadi karena struktur Kurikulum 2013 yang memang tidak memungkinkan guru untuk memenuhi tatap muka 24 jam.

Kecilnya jam mengajar seorang guru di unit sekolah juga bisa terjadi karena banyak sekolah mengangkat guru dengan mata pelajaran sejenis. Akibatnya, terjadi kelebihan guru dan 24 jam tatap muka tidak terpenuhi. Selain itu, ada yang tidak bisa memperoleh TPG karena terkendala persoalan linearitas, baik itu linearitas kualifikasi akademis maupun sertifikasi.

Para guru ini sebenarnya korban kebijakan pendidikan. Sebelum pemerintah mengubah nomenklatur mata pelajaran Biologi dan Fisika di SMP menjadi IPA Terpadu, mata pelajaran IPA ini diampu oleh dua guru yang berbeda, yaitu guru biologi dan fisika.

Mereka yang mengajar di mata pelajaran ini memiliki kualifikasi sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Ketika proses sertifikasi terjadi, dua mata pelajaran ini telah berubah nama menjadi IPA. Maka, guru Fisika dan Biologi memperoleh sertifikasi untuk mata pelajaran IPA.

Ketika guru ini pindah ke jenjang SMA dan mengajar mata pelajaran Biologi yang memang sesuai kualifikasi akademiknya, data sertifikasi mereka tak dapat divalidasi karena kode sertifikasi mata pelajaran Biologi berbeda dengan kode sertifikasi mata pelajaran IPA SMP. Siapa yang salah di sini? Kebijakannya atau gurunya?

Para guru yang mengalami kasus ini bahkan pernah datang ke Senayan (baca: Kemdikbud) untuk mencari solusi atas persoalannya. Namun, pemerintah tidak bisa memberikan solusi. Alasannya, tidak ada aturan untuk menyelesaikan persoalan ini. Solusinya apa? Pihak Kemdikbud dengan mudah menjawab, lebih baik guru mengajar kembali ke SMP atau ikut pelatihan profesi guru (PPG) lagi.

Apabila seorang guru swasta dipindah oleh yayasan dari jenjang SMP dan dimutasi ke SMA, guru tersebut hanya bisa taat. Memangnya guru yang memiliki sekolah sehingga bisa memilih seenaknya sendiri mau mengajar di mana? Lebih dari itu, mengikuti PPG lagi jelas merupakan pemborosan waktu dan uang karena sebenarnya guru ini sudah pernah mengikuti PPG. Kebijakan ini juga merugikan peserta didik yang tidak memperoleh layanan dari guru tersebut karena harus absen lantaran mengikuti PPG.

Untuk mengatasi kelebihan guru, apa yang sudah dilakukan Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK)? Bagaimana mungkin pemerintah membiarkan sekolah-sekolah mengangkat guru seenaknya sendiri dan tidak terdeteksi sehingga terjadi kelebihan guru? Bagaimana mungkin pemerintah mengubah kebijakan nomenklatur guru tentang nama mata pelajaran dan menyertifikasi guru, tetapi ketika guru telah melaksanakan kewajibannya, haknya tidak diberikan?

Demikian juga masalah linearitas. Mutasi guru dari SMP ke SMA menjadi bermasalah karena ada perbedaan nomor sertifikasi kode mata pelajaran. Meskipun seorang guru mengampu mata pelajaran yang linear dengan kualifikasi akademisnya, tetapi karena guru tersebut menjalani sertifikasi di SMP dengan kode sertifikasi yang berbeda, ketika guru tersebut pindah mengajar ke SMA seluruh proses verifikasi dan validasi terkendala karena ada ketidaklinearan ini.

Ditemukannya endapan dana TPG di daerah terjadi bukan sekadar karena secara kebijakan Kemdikbud tidak peka dan tidak akomodatif terhadap hak guru, tetapi juga karena sistem pendataan pendidikan kita masih lemah.

Pangkalan data

Di masa lalu, guru banyak disibukkan untuk memasukkan (meng-input) dan memverifikasi data, melalui dua laman yang mengelola guru, yaitu laman Padamu Negeri dan laman Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Karena muncul berbagai polemik terkait pendataan pada laman Padamu Negeri yang tidak terintegrasi dengan Dapodik, mulai 2014 dilakukan integrasi antara data di laman Padamu Negeri dan Dapodik. Adanya dua data ini menunjukkan bahwa belum ada sinergi di dalam Kemdikbud sendiri.

Dapodik untuk pendidikan dasar dan menengah sebelumnya juga masih terpisah. Meskipun sekarang ini sudah dilakukan sinkronisasi data di dua pangkalan tersebut, hilangnya sebagian besar tunjangan sertifikasi guru terjadi ketika dua pangkalan data ini belum sinkron satu sama lain.

Apabila ada seorang guru pindah mengajar dari SMP ke SMA, proses verifikasi data pindahan ini akan bermasalah, sebab guru harus verifikasi pindah di pangkalan data satu dan melapor ke pangkalan data yang lain. Guru sibuk harus mengurus perpindahan data yang rumit dan menyita waktu.

Bila pokok persoalannya adalah sinkronisasi data, usulan pemotongan kelebihan anggaran TPG oleh Kemdikbud kepada Menkeu jelas sebuah pilihan yang rasional pada saat target penerimaan pajak tidak tercapai. Namun, persoalan dana mengendap itu bukanlah sekadar hitung-hitungan teknis sinkronisasi data. Lebih dari situ, bagaimana komitmen Kemdikbud kepada para guru yang telah melaksanakan kewajibannya, bahkan ada yang secara faktual mengajar lebih dari 24 jam, tetapi tetap tidak memperolah tunjangan sertifikasi?

Tunjangan guru itu tidak cair bukan karena guru tidak melaksanakan kewajibannya, melainkan karena peraturan tentang sertifikasi guru telah berlaku tidak adil pada guru. Hak guru ini terpangkas karena sistem dan peraturan yang tidak akomodatif dan responsif terhadap persoalan guru.

Ungkapan Nurzaman yang dikutipKompas mengindikasikan bahwa sejak lima tahun terakhir banyak dana guru yang mengendap. Mereka yang sudah bersertifikasi, meskipun uangnya sudah dianggarkan, haknya tidak terbayarkan. Jadi, hak mereka tidak terbayarkan bukan semata-mata karena kesalahan para guru. Akan tetapi, mereka menjadi korban kebijakan pendidikan yang tidak akomodatif dan abai terhadap hak guru.

Uang yang mengendap bukan sekadar tanda tidak profesionalnya birokrasi di Kemdikbud, terutama di Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan. Lebih dari itu, Kemdikbud telah abai terhadap martabat dan hak guru. Akibatnya jelas: keadilan mereka pun ikut mengendap!

DONI KOESOEMA A, PEMERHATI PENDIDIKAN; PENGAJAR DI UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA, SERPONG

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Keadilan yang Mengendap".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger