Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 13 September 2016

Pemimpin Berwatak Angin (INDRA TRANGGONO)

Idealnya, pemimpin itu berwatak angin. Bukan sekadar menyejukkan dan memberi kenyamanan, melainkan juga mampu jadi pusat pendengaran dan penglihatan rakyat atas berbagai fenomena dan realitas. Itu kata kearifan Jawa dalam konsep hastabrata.

Betapa pentingnya akurasi data dan fakta bagi presiden dalam mengelola kekuasaan, misalnya di dalam mengangkat seorang menteri. Salah pilih bisa fatal karena menteri adalah tangan panjang presiden untuk menjangkau keberhasilan demi kesejahteraan rakyat.

Seorang menteri pada era Orde Baru punya cerita menarik. Menurut dia, Presiden Soeharto selalu hati-hati dan cermat di dalam memilih orang untuk dijadikan menteri. Ini juga berlaku bagi dirinya. Dari lingkaran Istana, dirinya tahu bahwa Soeharto menghendaki dia jadi menteri. Orang Istana pun diminta Soeharto untuk memantau perilaku dirinya baik sebagai pribadi maupun pejabat. Baru beberapa tahun kemudian, Soeharto yakin bahwa pilihannya tidak salah. Maka, si empu cerita itu pun diangkat jadi menteri.

Soeharto tipikal presiden yang memiliki watak "raja". Cirinya, antara lain, kekuasaan ada di dalam genggamannya. Otoritatif. Kekuasaan dan dirinya tak ada jarak. Dirinya adalah kekuasaan itu sendiri. Maka, ketika dia butuh seseorang untuk dijadikan menteri, kekuasaan yang penuh itu digunakan sebaik-baiknya. Dan biasanya, pilihannya jarang meleset. Menteri yang diangkat selalu memenuhi harapannya: kapabel,dan mrantasi gawe(mampu menyelesaikan tugas dengan baik).

Banyak menteri pada era Soeharto jadi legenda dalam dunia teknokrasi, misalnya Soemitro Djojohadikusumo, Emil Salim, Fuad Hassan, Daoed Joesoef, dan Ali Wardhana. Rakyat pun begitu akrab mengenalnya. Kenapa? Karena saat itu, melalui para menteri, negara benar-benar hadir dengan plus-minusnya. Negara jadi versi besar yang jadi panutan mayoritas warga negara.

Hal itu berbeda dengan menteri-menteri pada era Reformasi yang umumnya kurang dikenal publik. Padahal, mereka rajin tampil di media massa, termasuk televisi. Tak jarang mereka pun bikin tayangan profil tentang dirinya. Namun, hal itu tetap saja "lewat" karena kinerja mereka kurang mengesankan.

"Hastabrata"

Terkait kecermatan dan ketelitian dalam kinerja kepemimpinan, budaya Jawa memiliki konsep hastabrata (delapan watak kepemimpinan). Di situ dijelaskan bahwa pemimpin yang ideal memiliki delapan ciri yang disimbolkan dengan alam, yakni bumi (memberi kehidupan), samudra (lapang dada, kejernihan pikiran), bulan (pencerah), matahari (energi, inspirasi) bintang (orientasi keteladanan), api (tegas, lugas), air (rendah hati), dan angin.

Seorang pemimpin yang berwatak angin memiliki sifat kelembutan, kehalusan dan memberikan kesejukan. Angin memiliki energi untuk bisa menyusup ke ceruk-ceruk ruang. Pemimpin yang berwatak angin adalah pemimpin yang didengar dan dipercaya masyarakat. Karena itu, sifat hati-hati dalam bicara, memilih langkah dan bertindak menjadi penting. Kuncinya adalah argumentasi dan akurasi, baik di dalam fakta maupun data sehingga tidak menyesatkan pihak yang dipimpin.

Ketelitian, kecermatan, dan akurasi merupakan bagian dari kapasitas kemampuan intelektual yang berbasis pada etika, logika dan estetika. Intelektualitas tak sebatas dipahami sebagai "kepintaran" atau "kecerdasan" melainkan kemampuan menalar dan menelaah setiap persoalan demi menemukan kebenaran esensial yang bebas dari berbagai tekanan/kepentingan, baik internal maupun eksternal.

Oleh karena itu, seorang pemimpin dituntut kukuh dan teguh dalam prinsip. Berani berkata "tidak" atas pilihan yang harus ditolak. Berani menempuh jalan pahit karena risiko menolak kompromi yang menghancurkan integritas dan idealisme. Juga jauh dari pamrih pribadi, kecuali keberhasilan untuk mengangkat rakyat dari lumpur kemiskinan, kebodohan dan penderitaan, seperti tersirat dalam pikiran tokoh Lantip dalam memaknai kepriayian (lihat, novel Para Priyayi, Umar Kayam, 1992).

Pemimpin harus jauh dari karakter serba gamang, ragu, dan penakut karena kekuasaan selalu menuntut ketegasan dan keberanian (watak api)dalam menghadapi tekanan berbagai kelompok kepentingan. Pemimpin yang baik, sejatinya adalah sosok yang berani menempuh risiko dan total mendarmakan dirinya sepenuhnya untuk kepentingan publik. Bukan pemimpin lembek,aleman (suka dipuji) dan "waton slamet" (asal selamat) yang tidak memberi makna apa pun pada rakyatnya.

Pertanyaan besarnya: beranikah para pemimpin di negeri ini menjadi ksatria konstitusi? Yakni sosok pemimpin berkapasitas pendekar yang memiliki watak keempuan dan kebrahmanaan dalam menerjemahkan konstitusi ke dalam realitas kehidupan rakyat demi memenuhi hak-hak dasar publik. Pemimpin macam ini pasti diapresiasi dan dinilai wangun (pantas, layak, memenuhi standar nilai) oleh rakyat.

INDRA TRANGGONO, PEMERHATI KEBUDAYAAN DAN SASTRAWAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 September 2016, di halaman 7 dengan judul "Pemimpin Berwatak Angin".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger