Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 13 September 2016

Mengenang MAW Brouwer//Ambivalen Kebijakan (Surat Pembaca Kompas)

Mengenang MAW Brouwer

Pembaca Kompas berusia 50 sampai 70-an tahun, saya percaya, banyak yang tahu MAW Brouwer. Ia adalah penulis kolom di Kompas sepanjang tahun 1960-an sampai 1980-an. Almarhum adalah pastor serta psikolog andal dan cekatan. Ia amat mencintai Indonesia, khususnya bumi Parahyangan, dan meninggal di Belanda pada 19 Agustus 1991 dalam usia 68 tahun.

Saya adalah mahasiswanya sewaktu kuliah teknik di Universitas Katolik Parahyangan. Saya banyak membaca buku dan artikelnya yang dimuat diKompas. Berikut beberapa hal yang masih saya ingat tentang Brouwer.

Ia tidak merekomendasikan tes IQ karena percaya tiap orang punya bakat dan kemampuan berbeda-beda yang tidak mudah dikuantifikasi hanya sekadar dengan tes IQ.

Ia menganjurkan agar anak-anak tidak ditekan untuk terus-menerus belajar. Sebaiknya anak-anak banyak bermain karena dengan itu anak-anak akan banyak belajar berkomunikasi. Pada dasarnya manusia itu makhluk sosial yang keberhasilannya banyak ditentukan dari kepandaian berkomunikasi, serta akan menemukan bakat dan minatnya sendiri. Ia mengatakan, banyak orang Asia yang orangtuanya terlalu menentukan ke mana anaknya harus meneruskan pendidikan: dokter, insinyur, SH, dan seterusnya. Padahal, sang anak mungkin memiliki bakat seni atau yang lain.

Dalam salah satu tulisannya, Brouwer mengungkapkan keterkejutannya akan orang Indonesia yang terkenal ramah dan murah senyum, tetapi pada peristiwa penggeseran Orde Lama ke Orde Baru, banyak korban berjatuhan. Padahal, mereka semua saudara sebangsa dan setanah air.

IWAN SETIADI, JL TANJUNG DUREN UTARA III, JAKARTA BARAT

Ambivalen Kebijakan

Kepala Departemen Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Bank Indonesia (BI) Yunita Resmi Sari mengatakan, hanya 22 persen dari total UMKM yang punya akses pada kredit perbankan (Kompas, 26/8). Padahal, BI mendorong perbankan untuk meningkatkan penyaluran kredit ke UMKM.

Ironis, di satu sisi BI mengeluhkan sedikitnya UMKM yang memanfaatkan kredit perbankan. Di sisi lain, BI memasang ranjau (baca: BI Checking-BIC) yang membuat UMKM selalu gagal mendapatkan kredit.

Saya Pensiunan PNS yang membantu usaha kecil istri dengan tujuh karyawan. Kami kena imbas pelambatan ekonomi, omzet dan penghasilan turun 50 persen.

Saya mengajukan tambahan modal ke bank dengan jaminan tanah dan bangunan bernilai lebih dari cukup. Namun, saya dicekal BIC karena telat 23 hari belum bayar cicilan kredit kendaraan bermotor (KKB).

BIC juga mencatat hal-hal yang tak saya lakukan, antara lain KKB di Bank J-Trust Indonesia, lima lembar kartu kredit Bank CIMB Niaga, kredit di BPR Syariah lunas dua tahun, dan kartu kredit Bank Danamon lunas lebih sembilan tahun yang lalu.

BIC cenderung menjadi momok, khususnya usaha kecil. Kegiatannya memata-matai dan mencatat "dosa" nasabah. Sebaliknya BIC tidak segera menghapus "dosa" nasabah ketika kredit lunas. Sekali terdaftar, perlu 10 tahun untuk bisa bebas dari jerat BIC, nasabah kehilangan hak mendapat layanan Bank/LKBB. Akibat lebih jauh, nasabah tidak bisa mengembangkan usaha, dan kolaps.

Cara kerja BIC tidak selektif. Tidak menyelidiki mengapa nasabah menunggak, tidak mempertimbangkan potensi kemampuan nasabah, dan tidak melihat kondisi moneter pada waktu terkait. Siapa menunggak, langsung di-blacklist. Parahnya, bank/LKBB BUMN sebagai motor penyalur dana UMKM menelan bulat-bulat info BIC yang tidakupdate sebagai acuan sehingga nasabah seperti punya dosa abadi.

BIC membuat peringkat "dosa" nasabah: 1 untuk lancar sampai 5 untuk macet total. Padahal, penyandang peringkat kelima pun punya alasan masuk akal, seperti sulitnya melunasi kartu kredit karena bank penerbit menghindar. Jika sudah lunas pun, bank penerbit banyak yang tidak melaporkannya ke BIC.

Saya punya jaminan sangat cukup, tetapi pengajuan kredit saya ditolak Bank BNI Cabang Bekasi, tidak direspons BRI Sentral Niaga Kalimalang Bekasi, dan "diusir" Bank Mandiri Unit Micro Jakarta Kota. Bagaimana nasib UMKM yang tak punya jaminan? BIC perlu direformasi agar selektif dan selalu update demi tersalurnya dana perbankan bagi UMKM secara cepat, tepat, murah, dan tidak diskriminatif (Pasal 8 UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM).

ZULKIFLY SH, PONDOK PEKAYON INDAH, BEKASI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 September 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger