Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 27 September 2016

Pers di Daerah Konflik (ATMAKUSUMAH ASTRAATMADJA)

Delapan belas tahun setelah konflik sosial berlatar belakang perbedaan agama di Maluku dan Maluku Utara, awal 1999-akhir 2002, kita masih dikejutkan oleh cerita lama bahwa pers kita yang berada di wilayah konflik seolah-olah telah memanfaatkan insiden yang tragis itu untuk mengeruk keuntungan bisnis.
DIDIE SW

Pendapat itu sekarang dikemukakan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin ketika menyampaikan "Orasi Budaya: Kebhinekaan dan Keberagaman Indonesia" pada peringatan ulang tahun ke-22 Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Jakarta pada 26 Agustus 2016.

Khusus mengenai situasi konflik di Ambon, dalam pengamatannya, "begitu menguras energi dan emosi serta tak cepat mereda karena media memainkan peran buruk".

Lebih jauh dikatakan, "Euforia kebebasan pers saat itu mengalahkan akal sehat untuk merawat persatuan-kesatuan bangsa. Paling memilukan, dan tentu juga memalukan, ada media yang mengail di air keruh. Sebuah grup media besar saat itu menerbitkan dua media berseberangan, pro-Islam dan pro-Kristen. Isinya mengadu domba kedua kelompok sehingga makin tinggi tensi konfliknya. Tentu kita miris, apakah tidak terpikir bahwa keuntungan finansial yang didapat tak seberapa dibandingkan kerusakan peradaban yang terjadi akibat konflik tersebut?"

"Suara Maluku" dan "Ambon Ekspres"

Ini adalah kisah lama yang sewaktu-waktu bisa muncul lagi, seperti diungkapkan Lukman Hakim Saifuddin. Yang dimaksudkan dengan "sebuah grup media besar" adalah Grup Jawa Pos, yang didirikan dan dipimpin Dahlan Iskan dan berkantor pusat di Surabaya.

Kelompok media pers ini semula mengelola harian Suara Maluku di Ambon sejak 1980-an, jauh sebelum terjadi konflik sosial, sebagai surat kabar umum yang tidak menonjolkan warna agama apa pun. Suara Maluku baru dipersepsikan masyarakat sebagai "koran Kristen" setelah timbul konflik sosial berlatar perbedaan agama. Agaknya, karena surat kabar ini berkantor dan dicetak di "wilayah Kristen", peliputan pemberitaannya tentang masyarakat Kristen kian luas. Sebelum terjadi kerusuhan akibat konflik, oplah Suara Maluku mencapai 12.000 eksemplar.

Setelah timbul konflik sosial di Maluku dan Maluku Utara, Grup Jawa Pos menerbitkan surat kabar Ambon Ekspres,yang mula-mula berupa mingguan ketika didirikan pada 12 Juli 1999 di Makassar. Para pengelolanya di Makassar adalah eks wartawan dan karyawan Suara Maluku, termasuk Ahmad Ibrahim yang ditetapkan sebagai Pemimpin RedaksiAmbon Ekspres. Tugasnya unik karena bukan sekadar memimpin bidang redaksional—dan ikut pula menyunting naskah, melainkan juga mengawasi proses naik cetak sampai ke pengiriman koran ke Ambon.

Namun, kegiatan utama untuk menghimpun materi bagi isi Ambon Ekspres diselenggarakan di Ambon. Para pengelola mengirimkan materi itu—termasuk karya jurnalistik—ke Makassar di Sulawesi Selatan selambatnya Sabtu malam untuk dicetak hari Minggu. Koran itu, yang oplahnya 2.500 eksemplar, diangkut dengan pesawat udara atau kapal laut ke Ambon setiap Senin. Surat kabar ini menjadi harian pada awal 2002 setelah dapat dicetak di Ambon dengan menggunakan mesin cetak yang dikirim dari Makassar. Ambon Ekspresdipersepsikan oleh masyarakat sebagai "koran Islam" karena sebagai surat kabar yang berkantor di "wilayah Islam" melakukan banyak peliputan pemberitaan di daerah tersebut.

Ahmad Ibrahim sekarang menjabat pemimpin redaksi dan direktur surat kabar harian Rakyat Maluku di Ambon—masih dalam Grup Ambon Ekspres dan Jawa Pos. Koran baru ini semula bernamaRadar Ambon ketika mulai terbit pada 8 Agustus 2008. Namun, nama itu sering membingungkan pembaca dan pemasang iklan—karena mirip Ambon Ekspres—sehingga kemudian diubah menjadi Rakyat Maluku sejak 1 Maret 2013.

Menyelamatkan karyawan

Dewan Pers di Jakarta, yang pada masa reformasi dibentuk pada 2000, sudah mendengar desas-desus seperti diceritakan oleh Menteri Lukman Hakim Saifuddin. Untuk mengetahui kebenaran yang sesungguhnya, Dewan Pers mengundang Dahlan Iskan untuk menjelaskan alasannya menerbitkan dua surat kabar bagi kelompok khalayak pembaca yang memiliki perbedaan agama di Maluku. Ia memenuhi undangan itu dengan menghadiri seminar yang mempertemukan 31 wartawan Maluku Utara dan Maluku di Bogor, 25 Februari-1 Maret 2001.

Seminar itu diprakarsai AJI Indonesia dengan dukungan Dewan Pers. Suatu pertemuan yang amat mengharukan karena sebagian wartawan itu sudah berbulan-bulan tidak dapat bertemu karena mereka tinggal di "daerah berbeda agama". Ada yang baru pertama kali bertemu kembali di Bandar Udara Pattimura menjelang keberangkatan ke Bogor. Ada pula yang baru bertemu di Bogor.

Dahlan Iskan menjelaskan, prakarsa menerbitkan Ambon Ekspres adalah untuk menyelamatkan lapangan pekerjaan para wartawan dan karyawannya yang tinggal di "wilayah Islam" karena mereka merasa tidak tenteram jika harus "menyeberang" ke kantor Suara Maluku di "wilayah Kristen".

Saya juga menghadapi pengalaman yang serupa ketika mengunjungi Ambon selama konflik. Ketika diundang Pemerintah Provinsi Maluku untuk mengadakan diskusi tentang pers dan jurnalisme bagi para pejabat daerah, saya perlu meminta bantuan pegawai kantor gubernur untuk mendapatkanAmbon Ekspres. Soalnya, saya menginap di hotel di "wilayah Kristen" dan tidak ada pengecer koran dari "wilayah Islam" yang berminat melintasi "perbatasan".

Situasi pada masa itu juga merepotkan dosen dan mahasiswa yang berbeda agama untuk bertemu guna membahas materi kuliah. Pemecahannya ialah bertemu di teras gedung kantor gubernur karena jalur jalan untuk menuju ke sana dinyatakan "netral".

Kerepotan juga dialami stasiun TVRI di Ambon. Saya diberi tahu bahwa juru kamera yang meliput di "wilayah Islam" akan membawa filmnyake "perbatasan" untuk dijemput rekannya dari stasiun TVRI yang berada di "wilayah Kristen".

Evaluasi Dewan Pers

Setelah pecah konflik sosial di Maluku dan Maluku Utara, ada kekhawatiran di Provinsi Maluku akan dilakukan pembredelan terhadap media pers. Diberitakan oleh majalah Tempo (edisi 10 September 2000), pemerintah daerah sebagai Penguasa Darurat Sipil (PDS) Maluku di Ambon awal September 2000 mengirimkan "surat peringatan terakhir" kepada dua surat kabar harian lokal. Kedua surat kabar itu adalah Suara Maluku dan Siwalima, yang dituduh "gemar meluncurkan berita berbau provokasi".

Ambon Ekspres juga menerima surat teguran dari PDS karena memberitakan kegiatan Front Kedaulatan Maluku (FKM). Namun, peliputan terhadap FKM itu tidak dihentikan karena redaksi koran ini tidak menganggap pemberitaan itu provokatif. FKM adalah lembaga swadaya masyarakat yang berafiliasi dengan organisasi Republik Maluku Selatan yang terlarang di Indonesia.

Pemerintah daerah Maluku menganggap ketiga surat kabar itu tidak netral, tetapi berpihak pada kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat dalam konflik sosial yang sedang berlangsung karena perbedaan agama. Berpedoman pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, para gubernur di daerah konflik, seperti Maluku dan Maluku Utara, berpendirian: mereka dapat membatasi pemberitaan dan penerbitan media pers.

Akan tetapi, Dewan Pers dalam laporan evaluasinya tentang ketiga surat kabar Maluku itu—Ambon Ekspres, Suara Maluku, dan Siwalima—berpendapat: "Ketiganya, dapat dikatakan, sama-sama tampil sebagai surat kabar umum. Juga, yang satu tidak lebih sensasional atau tidak lebih 'provokatif' dari yang lain. Dapat disimpulkan bahwa reaksi para pembaca atau masyarakat terhadap ketiga surat kabar itu, boleh jadi, bukan terutama diakibatkan oleh sajian jurnalistik koran itu sendiri, melainkan karena persepsi (atau prasangka) yang sudah terbangun dalam benak khalayak. Dengan kata lain, amat mungkin bahwa 'nuansa provokatif' surat kabar-surat kabar itu bukan dibangun oleh para pengelolanya, melainkan oleh para pembaca itu sendiri."

ATMAKUSUMAH ASTRAATMADJA, PENGAMAT PERS; KETUA DEWAN PERS PERIODE 2000-2003

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 September 2016, di halaman 7 dengan judul "Pers di Daerah Konflik".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger