Sekalipun tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Jokowi terus menguat, yaitu sebesar 67 persen dibanding 41 persen pada tahun sebelumnya (Survei Saiful Mujani Research and Consulting, 24/7/2016) empat aspek masih menunjukkan rapor merah dengan tingkat kepuasan terendah. Empat aspek tersebut adalah pengangguran, kemiskinan, penyediaan lapangan kerja serta pengendalian harga kebutuhan pokok, khususnya pangan. Keempatnya sangat terkait dengan pembangunan pertanian dan perdesaan.
Tingkat kepuasan masyarakat berdasarkan hasil survei yang bersifat persepsional memang tidak selalu berkesuaian dengan data. Dari data nasional, tingkat pengangguran terbuka cenderung menurun, yaitu dari 5,81 persen pada Februari 2015 menjadi 5,50 persen pada Februari 2016 (Laporan bulanan BPS, Agustus 2016). Sektor pertanian merupakan penyumbang lapangan pekerjaan terbesar di Indonesia dengan total serapan tenaga kerja sebanyak 38,29 juta pada Februari 2016. Sayangnya, sektor pertanian semakin tidak menarik sehingga hanya dalam tempo satu tahun mengalami penurunan terbesar, yaitu sebanyak 1,8 juta tenaga kerja.
Penurunan kesempatan kerja di dunia pertanian seharusnya disambut baik karena tenaga kerja beralih ke sektor yang lebih menjanjikan, tetapi yang terjadi ternyata tidak demikian. Dua sektor penyedia lapangan kerja formal justru juga ikut mengalami penurunan, yaitu sektor industri dan keuangan. Pekerja formal menurun sekitar 500.000 orang pada periode tersebut.
Problem kemiskinan juga mendominasi wilayah perdesaan yang merupakan basis petani dan pertanian. Meskipun angka kemiskinan menurun sebanyak 500.000 orang (Maret 2016 dibanding September 2015), persentase penduduk miskin yang tinggal di perdesaan yang sebagian besar petani justru meningkat dari 62,75 persen menjadi 63,08 persen. Selain peningkatan persentase masyarakat miskin yang tinggal di perdesaan, Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan juga mengalami peningkatan yang menyiratkan ketimpangan yang semakin besar di wilayah pertanian. Dengan demikian, upaya meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat perdesaan masih jauh dari harapan.
Pengendalian harga pangan
Tingkat ketidakpuasan yang tinggi lainnya adalah pengendalian harga kebutuhan pokok. Kenaikan harga kebutuhan pokok terpenting yang sangat dirasakan masyarakat adalah harga pangan. Makanan merupakan komoditas yang memberi sumbangan yang terbesar terhadap garis kemiskinan, yaitu sebesar 70 persen untuk masyarakat perkotaan dan 77,44 untuk masyarakat perdesaan (BPS, Agustus 2016).
Presiden sangat memahami hal ini karena harga pangan, selain memiliki kontribusi terbesar terhadap garis kemiskinan, juga merupakan penyumbang inflasi terbesar. Berkaitan dengan hal tersebut pada awal 2016 Presiden memerintahkan ke seluruh jajaran terkait urusan pangan untuk menurunkan harga pangan pada tahun 2016. Dalam rapat terbatas pada April (26/4/2016), perintah tersebut diulangi dengan target untuk menjungkirbalikkan harga yang biasanya naik tiap Lebaran menjadi turun. Secara spesifik, Presiden menargetkan harga beras harus bisa diturunkan karena bertepatan dengan panen raya dan harga daging sapi maksimum Rp 80.000 per kilogram.
Pada periode Januari-Juli 2014, harga beras medium rata-rata nasional Rp 8.860 kemudian meningkat tajam pada periode yang sama tahun 2015 menjadi Rp 9.972 dan meningkat kembali menjadi Rp 10.749 per kilogram atau kenaikan sebesar 21,3 persen dalam dua tahun terakhir ini di tengah inflasi yang relatif rendah. Meskipun sudah sangat tinggi, harga daging sapi terus melambung sejak kenaikannya pada Mei 2015 hingga saat ini.
Hingga Lebaran berlalu, harga hampir semua kebutuhan pokok pangan bertahan tinggi meskipun banyak upaya telah dilakukan pemerintah. Harga beras masih tetap bertahan tinggi di atas Rp 10.500 per kilogram hingga saat ini. Masuknya beras impor pada Januari-Mei 2016 yang mencapai 1,047 juta ton dan panen raya menyumbang sedikit relaksasi harga beras pada Juni dan Juli 2016. Harga daging sapi rata-rata nasional masih di angka Rp 115.000 per kilogram yang jauh melampaui harapan Presiden di angka Rp 80.000 per kilogram.
Buruknya tata kelola harga pangan dua tahun terakhir ini menyebabkan Menteri Perdagangan dan Kepala Bulog dicopot pada tahun 2015 dan terjadi penggantian Menteri Perdagangan pada tahun 2016. Persoalan tata kelola pangan sesungguhnya bukan di hilir, melainkan justru berada di hulu, yaitu persoalan produksi dan stok (DA Santosa, Kelola Harga Pangan, Kompas, 8/6/2016). Selama data produksi dan stok tidak akurat, maka tata kelola pangan akan selalu bermasalah sehingga apa pun yang pemerintah lakukan dan siapa pun menterinya akan menuai kegagalan.
Simfoni kabinet
Persoalan kemiskinan, pengangguran, dan stabilitas harga pangan bermuara di satu hal, yaitu pertanian dan perdesaan. Pembangunan pertanian dan perdesaan seharusnya dalam satu konsep besar yang utuh, sayangnya program tersebut tersebar di beberapa kementerian. Tidak hanya kementeriannya yang berbeda, kementerian koordinatornya juga berbeda. Tiga kementerian bertanggung jawab di sisi hulu pembangunan pertanian dan perdesaan, yaitu Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Pertanian, serta Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Di sisi hilir terdapat Kementerian Perdagangan dan Bulog yang berada di bawah Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Berdasarkan Peraturan Presiden No 8 Tahun 2015, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian BUMN di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Perekonomian Indonesia. Pada masa Rizal Ramli, Kementerian Pertanian ditarik di bawah Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya Indonesia. Kementerian lain yang sangat penting dalam pembangunan pertanian dan perdesaan adalah Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi yang berada di bawah komando Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Di sini terlihat betapa rumitnya koordinasi terkait pembangunan pertanian dan perdesaan serta tata kelola pangan. Program antarkementerian bisa saling menegasikan satu dengan yang lain pada tingkat lapang, miskoordinasi atau terjadi tumpang tindih penggunaan anggaran. Persoalan bisa menjadi lebih rumit dengan hadirnya Badan Otoritas Pangan yang merupakan tuntutan Undang-Undang Pangan (UU No 18 Tahun 2012) yang berada langsung di bawah Presiden.
Pada masa transisi pemerintahan dari pemerintahan lama ke yang baru pernah diusulkan pembentukan Kementerian Kedaulatan Pangan yang membawahkan seluruh aspek terkait pertanian, pembangunan perdesaan dan tata kelola pangan. Sudah barang tentu dalam kondisi saat ini perombakan kementerian dan nama kementerian hampir tidak mungkin dilakukan.
Hal yang masih memungkinkan dilakukan saat ini adalah menyatukan semua kementerian yang terkait dengan pembangunan pertanian, perdesaan dan tata kelola pangan di bawah satu kementerian koordinator. Dengan cara tersebut, diharapkan terbentuk simfoni yang indah yang mampu menggerakkan pembangunan pertanian, perdesaan, dan tata kelola pangan dalam satu kesatuan langkah dan harmoni di bawah dirigen menteri koordinator. Suatu simfoni pembangunan yang benar-benar mampu menyentuh masyarakat terbawah dan kaum tani yang secara bersamaan menyelesaikan tiga persoalan besar bangsa ini, yaitu kemiskinan, pengangguran, dan stabilitas harga pangan.
DWI ANDREAS SANTOSA, GURU BESAR IPB; KETUA UMUM ASOSIASI BANK BENIH DAN TEKNOLOGI TANI INDONESIA/AB2TI; PENASIHAT PERSAUDARAAN MITRA TANI NELAYAN INDONESIA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar