Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 23 September 2016

TAJUK RENCANA: Kita Mengetahui Masalahnya (Kompas)

Pernyataan Presiden AS Barack Obama bahwa sekitar 50 negara berjanji akan menampung seki- tar 360.000 pengungsi, pada tahun 2017, sungguh melegakan.

Memang, secara jujur harus dikatakan, belum sepenuhnya melegakan. Mengapa? Oleh karena jumlah pengungsi yang belum akan tertampung jauh lebih banyak. Saat ini, ada sekitar 65 juta warga sipil yang lari dari negara mereka karena perang dan penganiayaan. Jumlah tersebut termasuk 21,5 juta orang yang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dinyatakan sebagai pengungsi.

Kalau yang 21,5 juta orang dinyatakan sebagai pengungsi, lalu sisanya (sisa dari 65 juta orang) itu disebut apa? Apakah mereka tidak bisa disebut sebagai pengungsi? Di sini adalah masalah—kalau boleh dikatakan demikian—berkait dengan definisi. Siapa yang disebut pengungsi itu? Konvensi PBB Berkait dengan Status Pengungsi (1951) dan Protokol 1967 yang Berkait dengan Status Pengungsi mendefinisikan pengungsi sebagai pengungsi, menurut Konvensi, adalah seseorang yang tidak dapat atau tidak bersedia pulang kembali ke negara asalnya karena memiliki ketakutan yang mendasar karena ada persekusi yang disebabkan oleh alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau pendapat politik.

Dengan demikian, mereka yang tidak masuk dalam definisi tersebut tidak masuk dalam kategori pengungsi. Karena itu, kemudian muncul istilah "orang dalam situasi seperti pengungsi". Definisi tersebut "sekadar" untuk menggambarkan kondisi orang-orang yang membutuhkan bantuan karena berbagai penyebab. Misalnya, orang-orang Bedouin di Kuwait atau Irak dan orang-orang Myanmar di Thailand atau Malaysia atau juga orang-orang Rohingnya di Myanmar. Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan atau tidak mendapat perlindungan dari pemerintah setempat di mana mereka berada. Namun, mereka itu tidak diakui sebagai pengungsi.

Tentu, nasib mereka sangat berbeda dengan orang-orang dari Timur Tengah, Afrika, dan juga Asia Selatan yang kini "menyerbu" Eropa. Namun, nasib mereka pun tidak kalah menderitanya, meskipun mereka disebut pengungsi. Sejak tahun 2013, ketika arus pengungsi mulai masuk ke Eropa, tak kurang sudah 7.000 orang tewas tenggelam di Laut Tengah. Ribuan orang Rohingnya terpaksa melarikan diri dari Myanmar masuk ke Thailand, Malaysia, dan Indonesia.

Sebenarnya, kita, masyarakat dunia sudah mengetahui persoalan mereka—penyebab mereka menjadi pengungsi, bukan semata-mata masalah migrasi melainkan masalah kemiskinan—tetapi seperti tidak tahu bagaimana mengatasi masalah tersebut. Karena itu, semoga pernyataan Obama tidak berhenti pada pernyataan, tetapi benar-benar direalisasikan demi nilai-nilai kemanusiaan.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Kita Mengetahui Masalahnya".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger