Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 23 September 2016

TAJUK RENCANA: Duka dan Pesan dari Garut (Kompas)

Tentu saja kita tidak menduga, banjir bandang terjadi ketika musim masih kemarau kering. Namun, Garut dan Sumedang mengalami bencana itu.

Hujan lebat selama tiga jam menyebabkan Sungai Cimanuk dan anaknya, Sungai Cikamiri, meluap hebat. Akibatnya, tujuh kecamatan dan 17 desa/kelurahan di Kabupaten Garut, Jawa Barat, dilanda banjir bandang. Hingga kemarin, diberitakan 23 orang meninggal dan 22 orang hilang. Selain itu, juga ada 59 orang luka-luka.

Kita ikut berbelasungkawa atas musibah di Garut juga korban yang meninggal dalam bencana longsor di Kabupaten Sumedang, Jabar. Kita tidak ingin saudara yang terkena musibah menderita sendirian. Selain pemerintah, masyarakat kiranya tak berkeberatan menyingsingkan lengan, membantu meringankan derita korban bencana.

Gubernur Jabar Ahmad Heryawan, seperti dikutip Kompas kemarin, mengatakan, saat ini tidak perlu menunjuk siapa yang salah. Kita garis bawahi penegasan itu. Menolong korban harus menjadi yang utama sekarang ini. Kita tidak lupa, selain yang meninggal, masih banyak warga yang harus tinggal di pengungsian. Rumah mereka banyak yang terendam, roboh, atau hanyut. Bantuan bahan makanan dan kebutuhan penunjang hidup lain perlu disediakan.

Berikutnya, agar bencana serupa tak terjadi lagi, ada sejumlah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Sebagaimana dikatakan Bupati Garut Rudy Gunawan, selain disebabkan oleh curah hujan yang tinggi dan lama, banjir bandang kali ini juga disebabkan pendangkalan sungai dan gundulnya hutan di kawasan hulu. Kita sepandangan, banjir bandang di Garut harus menjadi pelajaran berharga (mengenai) pentingnya menjaga lingkungan.

Sungguh kita sesalkan, ada banyak daerah yang menjadi lahan kritis akibat aktivitas penggundulan wilayah hulu di Jabar. Adanya pengawasan proaktif terhadap lingkungan hulu tak bisa lain harus digiatkan. Yang masih terjadi segera dihentikan, yang sudah rusak harus diperbaiki.

Sekarang ini fenomena perubahan‎ iklim bukan lagi ramalan, melainkan sudah kenyataan. Tahun 2016, banyak wilayah di Indonesia mengalami musim kemarau basah. Selain membingungkan petani, hal ini juga menghadapkan warga, khususnya yang diam tak jauh dari lahan kritis, pada risiko bencana lebih besar dan sering.

Akibat perubahan iklim, bencana banjir dan tanah longsor yang biasanya diantisipasi pada Desember hingga Februari terbukti bisa terjadi pada bulan September.

Dalam kaitan ini pula, kita berharap pemerintah daerah bisa lebih saksama mengecek infrastruktur, seperti tanggul dan jembatan, di wilayah masing-masing, apakah cukup kokoh untuk menghadapi potensi bencana yang ada. Jangan kita dikejutkan oleh bencana seperti di Garut.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Duka dan Pesan dari Garut".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger