Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 23 September 2016

DPR dan Pemerintah Ancam Kemerdekaan Pers (SABAM LEO BATUBARA)

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers adalah salah satu dari beberapa karya besar hasil gerakan reformasi.

UU yang didesain untuk melindungi kemerdekaan pers itu dinilai mengakomodasi konsep demokrasi. Namun, menjelang usianya yang ke-17 tahun pada 23 September 2016, UU itu bukan saja berkembang dalam paradoks, melainkan juga posisinya semakin terancam.

Berkat amandemen konstitusi, Indonesia mengadopsi demokrasi yang menjunjung kedaulatan rakyat. Presiden-wakil presiden, kepala daerah dan legislator dipilih langsung oleh rakyat. Namun, perkembangan itu ternyata tidak direspons DPR dan pemerintah dengan semakin memperkuat kedaulatan rakyat. Demokrasi kini berkembang justru ke arah DPR dan pemerintah tampil sebagai pemilik dan penguasa kedaulatan dengan menerbitkan berbagai kebijakan yang mereduksi hak-hak dasar rakyat.

Lebih buruk

Menurut UU No 40/1999, asas kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat. Namun, perkembangan demokrasi ke arah yang memosisikan DPR dan pemerintah menjadi penguasa kedaulatan berdampak dengan berkolaborasi kedua lembaga itu menerbitkan sejumlah UU dan rancangan UU yang bukan hanya mengancam kemerdekaan pers, melainkan juga kemerdekaan berekspresi rakyat.

Pertama, Rancangan KUHP lebih menggentarkan. Jumlah pasal makin banyak dan ancaman hukuman penjara semakin berat. Dengan memedomani 35 pasal KUHP, penguasa kolonial Belanda berhasil mengirim ribuan orang pers dan pergerakan ke penjara. UU itu dinilai efektif meredam sikap kritis rakyat terjajah terhadap kesewenang-wenangan penjajah.

Pemrakarsa utama Rancangan KUHP adalah Menteri Kehakiman (1998-1999) Muladi. Menjawab pertanyaan wartawan kenapa jumlah pasal yang mengancam pers jadi 49 dan ancaman hukumannya lebih berat, Muladi menjawab, "Rancangan KUHP itu untuk melindungi pemerintah yang sah. Pers bukan sesuatu yang istimewa."

Rancangan KUHP yang sekarang berisi sekitar 61 pasal yang dapat mengkriminalkan pers. Pasal 308, 537, dan 538, misalnya, mengamanatkan setiap orang yang menyiarkan berita yang tak pasti atau berita yang tak lengkap yang mengakibatkan timbulnya keonaran dalam masyarakat diancam pidana penjara. Jika pembuat tindak pidana diberi kesempatan membuktikan tuduhannya, tetapi tidak dapat membuktikannya, diancam pidana paling lama 5 tahun penjara.

Tiga pasal tersebut terkesan bertujuan mematikan jurnalisme investigasi yang dilindungi UU Pers. Kenapa? Karena jurnalisme investigasi hanya mensyaratkan kemasan beritanya dugaan, narasumbernya kredibel, uji informasi dilakukan, serta berita itu untuk kepentingan umum.

Kedua, ancaman penjara RUU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) empat kali lebih berat daripada KUHP. DPR dan pemerintah menerbitkan UU No 11/2008 tentang ITE. Pasal 27 (3) dan Pasal 45 (1) UU ITE menyebut, bagi pelaku pencemaran nama baik yang didistribusikan lewat elektronik diancam penjara sampai 6 tahun dan dapat ditambah denda sampai Rp 1 miliar serta tertuduh dapat langsung ditahan. Ancaman itu lima kali lebih berat daripada KUHP. Pasal 310 KUHP, misalnya, mengamanatkan bagi pelaku pencemaran nama baik hanya diancam penjara 1 tahun 2 bulan atau denda Rp 4.500 dan terdakwa dipenjara setelah hakim memutuskan.

Merespons tuntutan penggiat demokrasi agar dua pasal itu dihapuskan, dalam pembahasan RUU ITE DPR dan pemerintah sepertinya setuju mengurangi ancaman hukuman dari 6 tahun menjadi 4 tahun penjara dan denda dari Rp 1 miliar menjadi Rp 700 juta. Pengurangan itu berarti RUU ITE masih berisi ancaman penjara empat kali lebih berat dibandingkan konsep hukum penjajah Belanda.

Ketiga, ketentuan RUU Penyiaran melanjutkan kebijakan tentara pendudukan Jepang. Dalam draf RUU Penyiaran edisi 2 Februari 2016, Bagian Ketujuh tentang Sensor Siaran, Pasal 140 Ayat (1) menyebut: "Isi siaran dan siaran iklan yang disiarkan lembaga penyiaran wajib diajukan kepada lembaga yang khusus menangani penyensoran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk memperoleh tanda lulus sensor."

Tiru sistem fasis

Menarik untuk membandingkan draf ketentuan di atas dengan ketentuan UU Penyiaran yang masih berlaku, peraturan penjajah Belanda, dan peraturan tentara pendudukan Jepang. UU No 32/2002 tentang Penyiaran Pasal 47 tentang Sensor Isi Siaran hanya mengatur: "Isi siaran dalam bentuk film dan/atau iklan wajib memperoleh lulus sensor dari lembaga yang berwenang".

Pada era penjajahan Belanda, tak ada sensor pers. Penerbitan pers hanya wajib menyerahkan bukti penerbitan kepada aparat Belanda. Pada era pendudukan Jepang yang dikenal fasis berlaku peraturan: "Di setiap lembaga penyiaran (radio) dan penerbitan pers ditempatkan seorang petugas Jepang yang disebutshidooin. Tugasnya menyensor berita mana yang tak layak muat".

Terkesan, penyusun RUU Penyiaran berberahi meniru sistem penyiaran tentara pendudukan Jepang yang fasis.

SABAM LEO BATUBARA, WAKIL KETUA DEWAN PERS 2007-2010

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 September 2016, di halaman 6 dengan judul "DPR dan Pemerintah Ancam Kemerdekaan Pers".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger