Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 13 September 2016

TAJUK RENCANA: Peristiwa yang Berulang (Kompas)

Menjelang dua tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wapres Jusuf Kalla, kritik terhadap kehadiran negara mengemuka.

Tanggal 20 Oktober 2016, tepat dua tahun Presiden Jokowi-Wapres Jusuf Kalla memimpin Indonesia. Keduanya adalah produk demokrasi yang membanggakan. Mempertanyakan kehadiran negara sebagaimana ditulis oleh harian ini, akhir pekan lalu, wajar saja mengingat "memastikan kehadiran negara" menjadi tema sentral Nawacita.

Dalam Nawacita, Presiden Jokowi mengidentifikasi tiga problem bangsa, yakni merosotnya kewibawaan negara, melemahnya sendi perekonomian nasional, dan merebaknya intoleransi dan krisis kepribadian bangsa. Untuk menjawab itu, Presiden menetapkan sembilan agenda prioritas. Prioritas pertama itu adalah "Kami akan kembali menghadirkan negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara".

Munculnya obat palsu, vaksin palsu, kartu BPJS palsu, makam fiktif, doktor palsu, CPNS palsu, pupuk palsu, dokumen e-KTP palsu, serta berbagai kepalsuan lain menunjukkan ketidakhadiran negara untuk mengatur tata kelola tersebut. Namun jika kita melihat sejarah perjalanan bangsa, fenomena kepalsuan itu juga terjadi sebelumnya.

Kompas, 23 Mei 1969, menulis, "Pabrik Obat Palsu di Kramat Digerebek". Sementara harian Kompas, 7 Juni 1966, menulis berita "Ijazah IKIP Palsu Beredar", pada Selasa 9 Maret 1971, harian ini menulis Tajuk tentang "Ijazah Palsu". Sementara mengenai pupuk palsu, Kompas 25 Februari 1971 menulis Tajuk berjudul "326 Ton Pupuk Dipalsu".

Dari sisi jurnalistik, fenomena yang terjadi belakangan ini menunjukkan apa yang disebut tiada yang baru di bawah matahari. Hal yang palsu sebenarnya juga sudah terjadi dan pernah diberitakan. Fenomena ini menunjukkan keinginan Presiden Jokowi menghadirkan negara belum sepenuhnya berhasil untuk menghadirkan perasaan aman dan tenteram masyarakat. Kita hargai pengakuan Wapres Jusuf Kalla yang mengakui kehadiran negara memang belum optimal, tetapi terasa optimal di bagian lain. Pembangunan infrastruktur menjadi contoh nyata kehadiran negara. Itu harus diakui.

Kita mendorong Presiden Joko Widodo konsentrasi memenuhi janji kampanye. Konsentrasi memenuhi janji kampanye lebih penting daripada tergiur dalam manuver Golkar yang sudah menyatakan mendukung Presiden Jokowi pada Pemilu 2019. Terlalu cepat berpikir untuk pemilihan, menunjukkan karakter politisi. Sebagaimana dikatakan intelektual Amerika Serikat, James Clarke, "Seorang politisi berpikir tentang pemilihan ketika seorang negarawan berpikir tentang generasi masa depan".

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Peristiwa yang Berulang".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger