Tanda-tanda kegagalan pun sempat dirasakan oleh Indonesia. Dua bulan setengah berjalannya amnesti pajak, angka uang tebusan jauh dari yang ditargetkan pemerintah. Target uang tebusan dari pemerintah Rp 165 triliun semakin terlihat tidak masuk akal dan ambisius-irasional sehingga aura negatif makin membayangi gagalnya penerimaan pajak tahun ini. Pergerakan uang tebusan superlambat. Pada Juli, hanya Rp 1,1 triliun (0,7 persen dari target), begitu juga Agustus hanya meningkat sedikit Rp 6,0 triliun (3,6 persen).
Ketakutan membengkaknya defisit fiskal makin membayangi perekonomian Indonesia, sehingga ada kemungkinan pemerintah akan makin mengurangi/ menghemat pengeluarannya pada tahun ini. Hal itu tentu bisa kian menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada semester II, yang sangat butuh stimulus fiskal dari pemerintah, pada saat investasi masih lemah dan konsumsi rumah tangga stagnan.
September ceria
Situasi makin sulit karena sebagian wajib pajak terlihat bingung oleh berbagai pertanyaan praktis, yang kesulitan mendapatkan jawaban memuaskan dari petugas pajak. Sosialisasi yang sudah dianggap masif dengan ekstra daya dari pemerintah terasa belum cukup oleh masyarakat. Amnesti pajak terasa meresahkan dan mengganggu di masyarakat. Tidak heran, ada dorongan untuk meminta perpanjangan periode I (Juli-September 2016) pengampunan pajak untuk memberikan waktu yang lebih leluasa kepada masyarakat dan pelaku usaha agar lebih siap mengikuti proyek besar ini.
Ternyata kita alpa, semakin tersudut batas waktu (deadline) periode I pengampunan pajak, wajib pajak semakin pintar dan menyadari betapa pentingnya amnesti pajak buat kelangsungan hidup dan bisnis/usaha ke depannya. Di luar dugaan dan mencengangkan, sungguh mengherankan-saya kira ini berkah luar biasa buat pemerintah dan Indonesia-akselerasi uang tebusan melejit mengikuti fungsi eksponensial ekstrem: uang tebusan di September tercatat Rp 90 triliun (54,6 persen dari target).
Jadi periode I pengampunan pajak, uang tebusan sudah terkumpul Rp 97,2 triliun (0,8 persen dari produk domestik bruto atau 59 persen dari target Rp 165 triliun). Suatu nilai fenomenal, mematahkan prediksi sebagian besar analis, praktisi perpajakan, pelaku usaha, dan masyarakat.
September ceria buat pemerintah! Kita harus angkat topi atas keberhasilan pemerintah dalam menjalankan pengampunan/amnesti pajak yang digulirkan Juli 2016. Saya kira ini cikal bakal reformasi pajak di Indonesia dan tersukses di dunia. Rasio uang tebusan terhadap PDB sekitar 0,80 persen (ini baru periode I amnesti pajak) dan berpotensi bisa di atas 1 persen sampai periode III pengampunan pajak. Rasio ini jauh di atas (bisa dua kali lipat) negara-negara lain, seperti Cile (0,62 persen dari PDB), India (0,58 persen), Afrika Selatan (0,17 persen), Belgia (0,15 persen), Spanyol (0,12 persen), dan Australia (0,04 persen).
Rekor dunia dalam perpajakan ini jangan sampai membuat kita terlena, lengah, dan terbuai. Uang tebusan salah satu hal, tetapi deklarasi harta memang sangat dibutuhkan untuk memperluas basis pajak yang stagnan dalam beberapa tahun terakhir ini. Yang tidak boleh terlupakan dan bahkan tujuan utama dari pengampunan pajak adalah repatriasi harta orang Indonesia di luar negeri. Jadi, bukan hanya deklarasi harta.
Statistik pajak sampai periode I sangat didominasi oleh deklarasi harta sebesar Rp 3.483 triliun. Sementara repatriasi hanya Rp 137 triliun (harta yang dibawa balik ke Indonesia). Artinya, masih jauh panggang dari api karena pemerintah menargetkan dana repatriasi Rp 1.000 triliun.
Komposisi utang swasta
Berkaitan dengan repatriasi, saya pikir cukup relevan kalau kita kaitkan dengan utang luar negeri (ULN) swasta. Mungkin ada yang bertanya, apa hubungannya amnesti pajak dengan ULN swasta? Bukankah tujuan amnesti pajak untuk meningkatkan basis pajak, menaikkan rasio pajak terhadap PDB, dan meningkatkan kepatuhan pajak?
Ada yang menarik dengan ULN swasta Indonesia. Sebelum dan sesudah krisis keuangan dan ekonomi global tahun 2008, terutama kalau dilihat dari negara pemberi pinjaman, ULN swasta Indonesia terlihat melonjak tinggi dari Singapura. Sementara dari negara lain seperti Jepang, Tiongkok, Belanda, Amerika Serikat, dan Hongkong relatif stabil.
ULN swasta Indonesia dari Singapura pada 2004 tercatat 7 miliar dollar AS, naik signifikan jadi 54 miliar dollar AS-atau lebih dari tujuh kalinya-pada Juli 2016. Akibatnya, posisi ULN swasta Indonesia sebagian besar didominasi dari Singapura (33 persen), jauh melebihi negara asal pemberi pinjaman seperti Jepang (16,4 miliar dollar AS; 10 persen), Tiongkok (12,7 miliar dollar AS; 7,6 persen), Belanda (9,2 miliar dollar AS; 5,6 persen), AS (9,1 miliar dollar AS; 5,5 persen), Hongkong (7,6 miliar dollar AS; 4,6 persen), dan Korea Selatan (4,8 miliar dollar AS; 2,9 persen).
Kalau betul dari berbagai isu yang beredar bahwa sebagian besar orang kaya Indonesia memarkir uangnya di Singapura, maka akan menjadi isu yang seksi untuk dikaitkan dengan kondisi ULN swasta Indonesia. Apa betul sebagian besar ULN swasta dari Singapura sebenarnya adalah uang konglomerat Indonesia? Jika, ya, peta dan statistik ULN swasta Indonesia perlu dikoreksi dan didiskon dengan melakukan penyisiran dan pembersihan data ULN swasta, terutama dari Singapura sebagai negara pemberi pinjaman.
Kunci utamanya, apakah repatriasi akan mengikuti kesuksesan gelombang deklarasi harta di periode I? Semoga energi positif dari deklarasi harta mengalir juga ke repatriasi aset luar negeri Indonesia. Jika hal ini terjadi, ke depannya ULN swasta Indonesia yang berasal dari Singapura diperkirakan bisa turun signifikan menjadi 10 miliar-15 miliar dollar AS dari saat ini yang tercatat 54 miliar dollar AS.
Komposisi ULN swasta Indonesia dari Singapura mungkin secara relatif hampir sama dengan Jepang, Tiongkok, Belanda, dan AS. Diperkirakan, total ULN swasta Indonesia bisa turun sekitar 30 miliar dollar AS, yaitu 135 miliar dollar AS dari 165 miliar dollar AS (posisi Juli 2016). Dan, ini secara langsung akan memperbaiki indikator beban utang luar negeri Indonesia.
Keberhasilan repatriasi bisa berdampak menurunkan rasio utang terhadap PDB, rasio utang terhadap ekspor, rasio utang jangka pendek, dan rasio pembayaran utang. Kondisi ini tentu bisa memberikan tambahan sentimen positif ke perekonomian domestik, dengan harapan tekanan dan fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS berangsur turun.
Menarik kita tunggu bersama jejak repatriasi aset orang Indonesia di luar negeri: apakah akan mengikuti kesuksesan deklarasi harta periode I? Gebrakan dan terobosan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bekerja sama dengan pemerintah dan Bank Indonesia, tentunya sangat ditunggu-tunggu untuk ambil bagian dalam menyukseskan repatriasi ini. Repatriasi akan sangat diminati jika ada produk investasi yang menarik dengan berbagai variasinya, yang didukung manajer investasi dan bank yang andal dan tepercaya.
ANTON HENDRANATA
Chief Economist PT Bank Danamon Indonesia, Tbk
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Oktober 2016, di halaman 7 dengan judul "Amnesti Pajak Vs Utang Swasta".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar