Sejak resmi pensiun Januari lalu, saya mengerjakan sawah warisan keluarga di daerah Sukoharjo. Akhir Mei mulai tanam padi dan pada 13 Agustus panen dengan hasil bagus.
Sawah seluas hampir 6.000 meter persegi ditanami benih bagendit, menghasilkan gabah basah 56 karung, kira-kira 2,8 ton. Setelah dijemur jadi 47,5 karung gabah kering, jika diselep jadi beras menghasilkan sekitar 1.270 kilogram.
Harga beras di tingkat petani hanya Rp 8.500 per kilogram. Jadi, hasil kerja keras selama 3 bulan menghasilkan Rp 10.160.000. Sementara total biaya menggarap sawah, benih, pupuk, obat hama, panen, ongkos angkut ke rumah, penjemuran, sampai gabah kering Rp 9.650.000. Jadi keuntungan bersih selama tiga bulan hanya Rp 510.000.
Saya pun mengirim pesan pendek kepada teman di Sukoharjo. Jawabannya sungguh mengejutkan. "Betul Mas, yang paling untung memang tengkulak, petani cukup untuk makan saja. Dulu saya dan dua adik kuliah cukup dengan hasil sawah, sekarang tidak cukup untuk membiayai satu anak kuliah. Petani berjuang sendiri, tidak ada yang back up.Pemerintah tidak terasa kehadirannya. Generasi muda tidak mau ke sawah, lebih baik kerja di pabrik gaji sesuai UMR."
Lama saya merenungkan tanggapan ini. Lalu saya mengadu ke keponakan, petani kecil yang agak modern. Dia lebih pesimistis. "Saya tidak tahu, maunya pemerintah itu apa, menyejahterakan petani atau menekan harga beras? Memang pemerintah memberi bantuan ini itu, tetapi bagaimana kenyataan di lapangan? Petani merasa ayem karena melihat tumpukan gabah di rumahnya. Padahal kalau digiling jadi beras, nilainya tidak seberapa."
Dalam hati saya bertanya, lalu apa pekerjaan para pakar pertanian, baik di pemerintahan maupun di perguruan tinggi? Ini negeri yang luas dan subur tanahnya, mengapa masih saja mengimpor bahan pangan? Bagaimana nanti kalau para petani ramai-ramai mogok tidak mau menanam padi lagi karena harga beras begitu murah?
Semoga pemerintah bisa membuat program swasembada pangan, yang juga diikuti dengan harga komoditas yang memadai untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
SUGENG HARTONO
Pensiunan Petroleum Geologist, Lebak Bulus, Jakarta Selatan
Tanggapan Prudential
Sehubungan dengan dimuatnya surat Bapak Wilson, "Urusan Jadi Berkepanjangan" (Kompas, 20/6), kami telah menghubungi Bapak Wilson untuk menyampaikan permohonan maaf atas ketidaknyamanan yang dialami. Untuk itu, kami telah memperbarui data dimaksud dan polis Bapak Wilson kini telah berstatus aktif kembali.
NINI SUMOHANDOYO
Corporate Marketing and Communications Director, Prudential Indonesia
Tanggapan Ditjen Pajak
Berkenaan dengan artikel berjudul "Sanksi Pengampunan Pajak" (Kompas,10/9), kami menyampaikan terima kasih kepada Adler Haymans Manurung atas partisipasinya menyosialisasikan program amnesti pajak.
Pengenaan sanksi administrasi atas harta yang belum diungkap sebagaimana diatur Pasal 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak berlaku baik bagi wajib pajak yang mengikuti maupun yang tidak mengikuti amnesti pajak.
Terhadap wajib pajak yang mengikuti amnesti pajak, apabila kemudian ditemukan data/informasi tentang harta yang belum diungkap dalam surat pernyataan harta, harta tersebut dianggap sebagai tambahan penghasilan wajib pajak saat ditemukan petugas pajak. Atas tambahan penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan (PPh) dengan tarif normal ditambah sanksi kenaikan 200 persen dari pajak yang tidak/kurang bayar.
Adapun terhadap wajib pajak yang tidak memanfaatkan amnesti pajak, apabila di kemudian hari petugas pajak menemukan data informasi harta yang belum dilaporkan dalam SPT tahunan, atas harta tersebut dianggap sebagai tambahan penghasilan wajib pajak saat ditemukan, paling lama 3 tahun sejak undang-undang amnesti pajak berlaku. Atas tambahan penghasilan dimaksud dikenai PPh dengan tarif normal dan sanksi administrasi sesuai ketentuan umum perpajakan.
HESTU YOGA SAKSAMA
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Oktober 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".

Tidak ada komentar:
Posting Komentar