Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 01 Oktober 2016

Mencegah Kematian Bangsa (ASEP SALAHUDIN)

Tentu saja kematian itu tidak harus dimaknai secara harfiah sebagai prosesterlepasnya nyawa dari tubuh. Ia dapat bermakna metaforis: lambangpunahnya akal sehat, robohnya intelektualisme, defisit moralitas, dan terlucutinya tanggung jawab sosial.

Kematian bukan saja berurusan dengan metafisika, tidak kalah penting, ia bertalian dengan makin pudarnya sikap lapang dari pergaulan keseharian. Kematian bukan melulu dimensi eskatologis, melainkan juga sosiologis ketika tindakan politik makin hiruk-pikuk dengan urusan yang sama sekali tidak ada sangkut pautnyadengan proses penyejahteraan rakyat.

Termasuk juga kematian agama—meminjam Clifford Geertz—ketika agamawan lebih berminat dicengkeram agama bukan mencengkeram agama. Semacam agama yangbukannya menyuntikkansikap toleran, melainkan semakin bernafsu mengembangkan buruk sangka terhadap yang berbeda; agama yang telah dicerabutakar imannya oleh kaum pemeluknya sehingga yang mencuat ke permukaan adalah hasrat memonopoli kebenaran dan nafsu membangun "rezim kepastian".

Dalam l15 tahun terakhir, justru model agama seperti ini yang mendominasi aras kehidupan, baik di tingkal lokal maupun global. NIISdan harakah yang semazhab dengannya adalah gambaran yang memantulkan fakta betapamuka agama sering tampil dalam raut buruk rupa. Alih-alih menebarkan kasih sayang, tetapi menegaskan realita bahwa tidak sedikit kaum beragama yang kakinya masih terbenam dalam limbo alam pikiran skolastik,dalam imaji disparitasduniayang dibelah menjadi kutub "kawan" (darul Islam) dan "lawan"(darul harbi).

Dalam konteks kebangsaan, pasca robohnya negara fasis Orde Baru, bukansikap toleran yang tumbuh, melainkan gempita kontestasi destruktifdi ruangpublik. Cakupannyatidak lagi antar-agama, bahkan antar-mazhab. Hubungan antar-agama belum juga menemukan titik formulasinya yangsetimbang, tiba- tiba isu Syiah, Ahmadiyah, dan ajaran lokal ramai diperbincangkan dan ditarik dalam percakapan yang lebih mendahulukan hujatan ketimbang hujjah.

Ruang publik yang seharusnya steril dari sikap partisan,kenyataannya jadi ajang perlombaan mendesakkan politik keagamaan eksklusif. Ruang publik yang semestinya jadi arena terjadinya dialog dengan menjunjung tinggi kepentingan bersama dan demokrasi liberatif berubahmenjadi forum penghakiman dan medan intimidasi satu kelompok dominan kepada kelompok lainnya.

Sektarianisme

Selama 71 tahun usia kemerdekaan ternyata belum juga mampu menyelesaikan sengketa tidak produktif seputar politik aliran seperti ini. Atau mungkin sesungguhnya hari ini kita lebih pandir ketimbangmanusia pergerakan. Padahal, minimal terbaca lewatgerakan Sumpah Pemuda, sektarianisme kesukuan, dan keagamaan itu sudah dipandang selesai. Perdebatan alot pada sidang BPUPKI dan PPKItelah menghasilkan rumusan Pancasila dan UUD 1945 yang sangat visioner dan mewadahi semua kepentingan dan keragaman yangada.

Pancasila adalah sebagai titik temu agar kematian bangsa dan agama dapat dihindari. Ini supaya "Ketuhanan Yang Maha Esa" itu menjadi pilar bagi kesatuan dan persatuan, kemanusiaan yang dijangkarkan di atas nilai keadilan dan keadaban, persoalan yang diselesaikan secara musyawarah mufakat, dan keadilan yang terdistribusikan secara merata. Hari ini justru Pancasila itu sendiri yang eksistensinya dinafikan sambil terus memimpikan negaraarkaik, "khilafah", yang di jantungtempat kelahirannya sendiri bukan hanya tidak berkembang malah sedang memanggungkantragedi kemanusiaan mengerikan.

Kalau boleh berbangga, sekarangsebenarnya bukan wajah kita yang harus berkiblat ke Timur Tengah, tapi mereka yang mesti berkunjung ke negara kita, menyerapoksigen keragaman yang relatif masih berada dalam semangat kebersamaan. Bisa jadi agama-agama besar yang berkembang di negeri kepulauan ini datang dari negeri seberang, tapi bukan berarti kita tidak memiliki kearifan lokal yang telah tumbuh ribuan tahun. Justru kearifan lokal yang telah menjadibagian dari palung penghayatan yang kemudian disenyawakan dengan ajaran agama, sejatinya yang menjadi kekuatan agama itu.

Ada al-hikmah al-khalidah (kebaikan perenial) yang menjembatani antara formalisme agama dan keyakinan yang tumbuh di suatu wilayah. Gus Dur menyebutnya dengan pentingnya "pribumisasi Islam". Islam "dipribumikan" agar kaum beragama tak terlepas dari magma kesejarahannya supaya urusan agama bukan melulu memburu fantasi silam milik bangsa lain, melainkan menggali kekayaan khazanah falsafah milik kita.

Makna "menggali"

Maka, menarik ketika Bung Karno menggunakan istilah "menggali" ketika dinisbatkan kepada Pancasila. Dalam istilah itu terkandung pemaknaan bahwa dasar negara itu tidak lahir dari ruang hampa, tetapi digali dari keyakinan yang telah tumbuh sebelumnya, diperoleh lewat dialektika pemikiran dan pengalaman para pejuang.

Dari frase "menggali"tersimpan sebuah upaya kesinambungan hari ini dengan masa lalunya. Masa depan hanya bisa mekar kalau terhujam pada kesilaman. Ini pula makna lain apa yang dibilang Bung Karno sebagai "ketuhanan yang berkebudayaan".

Ketuhanan yang berkebudayaan bukan mengandung arti menurunkan wibawa Tuhan, melainkan sebaliknya: ketuhanan itu akan berartimanakala jadi kesadaran dalam berbudaya. Ketuhanan yang menjadi darah dan daging masyarakat jadi tarekat berbangsa dan bernegara. Ketuhanan yang memberikan penghargaan tinggi atas keragaman budaya, pluralisme, dan multikulturalisme. Ini semua hanya mungkin terjadi manakala dibangun poros "gotong royong" atau eka sila itu.

Mengapa "gotong royong"? Jawabannya pasti karena etik ini yang akan jadi roh kebinekaan: Bhinneka Tunggal Ika. Hanya dalam kesediaan gotong royong etos hospitalitas, toleransi, dan inklusivitas itu bisa terwujud.Dalam hamparan "gotong royong", tidak mungkin mencuat politik egoisme dan egosentrisme. "Gotong royong" yangbikin kita baik sebagai bagian dari keumatan atau kebangsaan dapat membangun relasikesetaraan, non-diskriminasi, dan saling membuka diri sesuai dengan komunalisme yang menjadiwatak masyarakat.

Dalam "gotong royong" persahabatan itu akan menemukan pintunya yang asasi dan menjadi fitrah yang melekat kokoh dalam kesadaran dirinya. Perjumpaan dengan liyan sebagai modus eksistensial kehadiran setiap kita. Bahwa kesempurnaan kita sebagai manusia hanya dimungkinkan ketika menerima kehadiran manusia lain, mendengarkan, serta saling memberi dan menerima saat menjadi energi hidup dalam kebersamaan. Orang lain adalah undangan universal (a universal call)agar kita semakin mengenali diri, baik berhubungan dengan kehidupan praktis maupun kehidupan politis.

Agama yang berpusat pada keinsafan diri dengan elan kegotongroyongan ini sesungguhnya yang akan bikin kematian itu semakin tidak akrab dengan kita. Kita akan hidup abadi dalam epifani wajah ilahi: religiositas menjadi obor kebangsaan dalamterang spirit kebinekaan.

ASEP SALAHUDIN, DEKAN FAKULTAS SYARIAH IAILM PESANTREN SURYALAYA TASIKMALAYA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 September 2016, di halaman 7 dengan judul "Mencegah Kematian Bangsa".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger