Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 08 Oktober 2016

Pengendali Risiko Korupsi di TNI (DEDI HARYADI)

Komisi Pemberantasan Korupsi enggan. Presiden sebagai panglima TNI tertinggi  juga enggan. Keengganan KPK mengungkap dan mengadili korupsi di tubuh TNI dapat dilihat dalam tulisan saya di harian ini, "Pemberantasan Korupsi dan Penegakan Supremasi Sipil" (Kompas, 2/8).

Sementara keengganan Presiden Joko Widodo  mengendalikan risiko korupsi di dalam tubuh TNI bisa dilacak  dalam Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2016 tentang Aksi   Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi yang baru saja keluar. Dalam inpres tersebut  sama sekali tidak ada aksi bagaimana mencegah dan memberantas korupsi di tubuh TNI.

Tampaknya KPK dan Presiden Jokowi belum sanggup memikul ongkos politik pengendalian risiko korupsi di tubuh TNI. Ongkos politik itu, ya, bisa "digebuk" secara politik-baik langsung atau tidak-sehingga dukungan politik dari sejumlah pihak menyusut, sampai defisit. Keengganan yang bertumpuk tersebut menguatkan kesan seolah TNI memiliki kekebalan dari kemungkinan eksposur kasus korupsi yang mungkin terjadi di tubuhnya.

Lalu, siapa yang akan mengendalikan risiko korupsi di tubuh TNI? Padahal, risiko korupsi di tubuh TNI juga persisten tinggi.  Laporan sebuah studi (2015) menyebutkan-dari enam kategori risiko korupsi yang mungkin: sangat rendah (A), rendah (B), moderat (C), tinggi (D), sangat tinggi (E), dan kritis (F)-risiko korupsi di tubuh TNI tergolong tinggi (D). Dua tahun sebelumnya, risiko korupsi militer kita masuk kategori sangat tinggi (E).  

Program pengembangan zona integritas dan wilayah bebas korupsi yang dirintis Jenderal Moeldoko, mantan Panglima TNI,  sejak Agustus 2014, memainkan peranan penting dalam penurunan  risiko korupsi di tubuh TNI dari E ke D. Sayang, karena keengganan juga, program tersebut kini terkesan mandek.

Tingginya risiko korupsi selain potensial memboroskan sumber daya juga  sangat membahayakan kedaulatan negara, keamanan warga, dan keselamatan prajurit itu sendiri.

Perkuat masyarakat sipil

Hikmah apa yang kita dapat dari realitas politik serba enggan ini?  Pertama,  lanskap sosial politik yang demokratis dan masyarakat sipil yang kuat dan efektif tersebut sesungguhnya belum sepenuhnya terwujud.

Kedua,  karena itu, upaya  membangun demokrasi dan masyarakat sipil yang kuat dan efektif harus dilanjutkan dan diperdalam. Di sini kita  perlu mendorong supaya kontrol politik dari parlemen  dan kontrol publik (dari masyarakat dan media)  terhadap TNI/Kementerian Pertahanan harus makin efektif.

Komponen utama dan paling penting dari semua jenis kontrol tersebut adalah adanya politisi, aktivis,  warga, dan jurnalis yang knowledgeable, berintegritas tinggi,  independen, dan militan. Kita harus memproduksi  orang- orang seperti itu. Kalau aktivis mungkin seperti almarhum Munir.  

Tidak kalah penting, secara internal, kita perlu mendorong dan menumbuhkan prajurit-prajurit yang punya roh dan semangat anti korupsi yang kuat. Selain piawai tempur, mereka juga dapat memerangi korupsi di tubuhnya.

DEDI HARYADI

DEPUTI SEKJEN TRANSPARANSI INTERNASIONAL INDONESIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul "Pengendali Risiko Korupsi di TNI".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger