Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 08 Oktober 2016

Hillary, Tokoh Sejarah di Jalan Berliku (RIZAL MALLARANGENG)

Transformasi sejarah terkadang butuh sebuah peristiwa politik untuk memicu momentum perubahan.

Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS, kalau dia berhasil mengungguli Hillary Clinton, barangkali bisa menjadi awal bagi momentum semacam itu. Dengan angin anti kemapanan, atavisme, dan populisme yang akhir-akhir ini juga menguat di Eropa, maka Trump, dari kursi eksekutif tertinggi di Gedung Putih, bisa membalikkan arah dunia menuju pada sesuatu yang lebih penuh konflik, merkantilis, tertutup, dan cenderung kelam.

Karena itulah, pemilu presiden AS kali ini berbeda daripada biasanya. Mungkin agak berlebihan jika kita berkata bahwa Hillary adalah benteng pertahanan terakhir melawan kegelapan.

Risikonya terlalu besar jika tokoh ignoramus dan seeksplosif Trump memegang tampuk kekuasaan yang begitu penting. Dia harus dicegah. Dan, suka atau tidak, walau kekurangannya tak bisa disisihkan begitu saja, hanya Hillary yang mampu melakukan hal ini. Dalam konteks itu, kita patut bersyukur bahwa pada debat kandidat pertama, 26 September, di Hofstra University, New York, Hillary mampu menahan laju Donald Trump. Walau pada awalnya tersudut dan gamang, dalam forum 90 menit tersebut, disaksikan langsung hampir 100 juta pemirsa televisi, mantanFirst Lady ini tampil simpatik, tajam, penuh pengetahuan, dan dengan emosi yang terjaga menohok satu per satu kelemahan Trump.

Setelah debat ini, dengan keunggulan tipis di kisaran 3 persen, jalan Hillary tampaknya akan lebih mulus. Hanya satu hal yang masih mengkhawatirkan. Donald Trump adalah the candidate of fear: jika penembakan dan pengeboman yang dramatis terjadi lagi di beberapa kota AS sebelum hari pemilu, 8 November, kecemasan publik bisa tiba-tiba merebak dan Raja Properti asal New York itu mungkin mendapat angin baru.

Kalau semua itu tidak terjadi, Hillary Clinton akan menjadi presiden ke-45 Amerika Serikat, sebuah republik terkuat, terkaya dan, sejak runtuhnya Uni Soviet, menjadi satu-satunya negara adikuasa di dunia. Dalam konteks sejarah kontemporer dengan berbagai potensi perubahan besar, barangkali ia layak mendapat sebuah julukan yang diperkenalkan oleh Hegel, yaitu eine historische frauen.

Tugas berat

Tugas Hillary ke depan jauh dari mudah. Dalam politik internasional, pertanyaan Trump ada benarnya, walau jawabannya keliru dan berbahaya. Hillary harus meninjau kembali peran Amerika dalam teater global. Setelah Perang Dingin, meskipun AS telah mengorbankan ribuan nyawa dan Pentagon telah membelanjakan ratusan miliar dollar setiap tahun, faktanya dunia tidak semakin aman dan damai.

Irak telah memberi pelajaran pahit. Satu diktator ditumbangkan, tetapi dengan kekuasaan setengah hati, AS justru meninggalkan ruang kosong yang kemudian diisi oleh Iran dan NIIS, kekuatan dan momok baru yang fanatik serta bersifat lintas-negara. Akibatnya, Timur Tengah tidak semakin damai, Suriah bergolak, dan Eropa, dengan gelombang ratusan ribu pengungsi yang menyedihkan, harus menanggung akibat langsungnya.

Tanpa harus berbicara lagi tentang banyak soal lain, poin yang harus ditegaskan telah dikatakan dengan baik oleh mantan PM Denmark Anders Rasmussen, "Dunia tidak terdiri dari kumpulan domba yang bisa dipimpin dari belakang." Negara adikuasa tidak perlu bertindak unilateral, tetapi justru dengan merangkul bangsa-bangsa lain ia harus berdiri di garis terdepan dan memimpin dengan tegas.

Selain itu, dalam dimensi ekonomi internasional, khususnya dalam mengelola dan jadi aktor terpenting globalisasi ekonomi, negeri "Paman Sam" sekarang berada dalam situasi pelik. Globalisasi ekonomi memang berhasil mengangkat nasib ratusan juta orang miskin di dunia. Ekonomi Tiongkok, India, Indonesia, dan banyak negeri lain tidak mungkin tumbuh hanya dengan mengandalkan pasar domestik. Namun, apakah proses yang sama menguntungkan pekerja AS?

Sekian tahun lalu, jawabannya jelas. Globalisasi baik dan perlu. Titik! Tapi akhir-akhir ini, dengan semakin mengecilnya basis industri manufaktur di negara bagian penting seperti Michigan, Ohio, Illinois, dan Pennsylvania, jawabannya tidak lagi sederhana. Bahkan ekonom peraih Hadiah Nobel seperti Paul Krugman kini mulai bersuara kritis dengan posisi yang terkadang membingungkan.

Jika fondasi intelektual globalisasi ekonomi telah diragukan oleh pendukungnya yang terkemuka, bisa dibayangkan seperti apa suara dan kecaman kaum proteksionis yang memang selama ini menunggu saat yang tepat untuk menyerang balik. Celah semacam inilah, antara lain, yang dimanfaatkan untuk mendiskreditkan globalisasi oleh tokoh semacam Trump.

Singkatnya, di arena internasional, Hillary harus meniti percabangan jalan yang berliku. Sejak hari pertama memerintah nanti, dia harus menemukan formula baru yang menempatkan posisi AS dalam peranan yang tepat. Baik dalam mendorong perdamaian dunia lewat hubungan yang terbuka maupun dalam menjamin bahwa arsitektur ekonomi internasional tetap memungkinkan perdagangan antarbangsa yang semakin cepat dan dinamis.

Persoalan domestik

Di arena domestik, tantangan yang menanti Hillary pasti tidak lebih ringan. Basis konsensus di kalangan politisi Kongres, lembaga legislatif tertinggi, sekarang semakin menyempit, sementara suasana hati rakyat semakin diwarnai sentimen anti-establishment. Hal semacam ini tentu menjadi persoalan politik tersendiri bagi siapa pun untuk memerintah secara efektif.

Namun, di atas semua itu, problem terbesar yang menanti Hillary adalah kondisi ekonomi AS yang masih tak menentu. Setelah krisis finansial pada 2008 silam, pemulihan ekonomi masih terseok dan penghasilan kaum pekerja tidak kunjung meningkat selama hampir satu dekade.

Secular decline adalah istilah yang diberikan oleh Lawrence Summers, mantan menkeu di zaman Bill Clinton, untuk menggambarkan dilema ekonomi AS saat ini: meski suku bunga sudah ekstrem rendah, malah negatif, peningkatan investasi belum terjadi dan tingkat tabungan masih relatif tinggi. Bagi kaum ekonom umumnya, situasi ini sangat pelik dan dalam batas tertentu hanya mungkin diselesaikan oleh intervensi pemerintah dengan gelontoran stimulus yang besar.

Di sinilah persoalan politik dan ekonomi bertemu, a deadly crossroad. Dalam polarisasi politik yang tajam, mungkinkah Hillary membujuk kaum politisi Kongres untuk menganggarkan stimulus fiskal dalam jumlah yang memadai, dalam kisaran ribuan miliar dollar? Dalam suasana anti politik yang pekat saat ini, masihkah tersisa ruang memadai bagi Hillary sebagai presiden untuk melakukan transformasi ekonomi yang berarti? Kita belum tahu jawabannya.

Machiavelli pernah berkata, Sang Penguasa yang sukses pasti memerlukan dua hal, yaitu virtue dan fortuna. Tentang hal yang pertama, Hillary telah membuktikan bahwa ia adalah seorang pemimpin yang berpengalaman, simpatik, dengan pengetahuan tentang kebijakan yang hampir tak tertandingi di kalangan politisi kontemporer di Washington DC. Tentu kita berharapfortuna, yaitu nasib serta angin baik, juga berpihak padanya, dengan munculnya beberapa hal positif yang sekarang ini belum terlihat.

Kalau sukses, nama Hillary akan tercatat dengan tinta emas dan akan terus dikenang sebagai salah satu pelaku sejarah yang paling menentukan perjalanan abad ke-21. God speed, Madam.   

RIZAL MALLARANGENG

Pengamat Politik; Pendiri Freedom Institute, Jakarta

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Oktober 2016, di halaman 7 dengan judul "Hillary, Tokoh Sejarah di Jalan Berliku".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger