Kalangan yang optimistis meyakini, pemerintah tengah mengagendakan kembali perlindungan HAM yang selama ini dinomorduakannya demi mengatasi lambatnya perekonomian. Saat ini, kata mereka, perekonomian membaik setelah berjalannya proyek infrastruktur, amnesti pajak, dan menguatnya rupiah.
Sementara kalangan skeptis meragukan komitmen tersebut karena Presiden Jokowi menyerahkan penyelesaian kasus HAM kepada pejabat strategis sipil/militer yang terkena kasus masa lalu. Pelanggar-pelanggar HAM, kata mereka, semestinya dilarang menduduki jabatan publik demi mencegah keberulangan.
Politik keadilan
Prospek penyelesaian tak cukup hanya berharap "kehendak politik" Presiden Jokowi dan lingkaran dekatnya, tetapi bagaimana bertindak memastikan sistem nasional bekerja. Di sini, kita perlu menguji keteguhan janji, kebijakan, dan tindakan kolektif Presiden beserta keseluruhan lembaga tinggi negara. Sejauh mana Presiden serius dan mampu mengubah resistensi elite-elite konservatif agar berorientasi pada politik keadilan.
Pertama, janji kampanye Jokowi-Kalla. Dalam visi-misi Nawacita, Jokowi-Kalla menulis, "Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai saat ini masih menjadi beban sosial bagi bangsa Indonesia, seperti kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi I dan II, penghilangan paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965."
Kedua, setelah terpilih, pemerintahan Jokowi-Kalla memasukkan perlindungan HAM dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), termasuk Tragedi 1965. Menjelang Mei 2015, Presiden menyiapkan pencabutan Keputusan Presiden No 28/1975 tentang Perlakuan terhadap Mantan Tahanan Politik PKI Golongan C sesuai perintah Mahkamah Agung pada 2013. Rancangan perpres diajukan Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto setelah Menkumham Yasonna Laoly menyurati Presiden.
Untuk kasus Munir, pada era pemerintahan Jokowi-Kalla, terpidana kasus Munir, yaitu Pollycarpus, menghirup udara bebas, akibat akumulasi remisi sejak dari pemerintahan sebelumnya. Namun seperti dikatakannya kepada akademisi dan praktisi hukum yang diundangnya ke Istana, 22 September lalu, "PR kita adalah pelanggaran HAM masa lalu, termasuk kasus Mas Munir."
Ketiga, Presiden Jokowi menegaskan komitmennya saat memperingati Hari HAM di Istana Negara, akhir 2015. "Kita semua harus punya keberanian untuk melakukan rekonsiliasi atau mencari terobosan penyelesaian melalui jalur-jalur yudisial ataupun non-yudisial" (Kompas, 11/12/2015).
Sebulan kemudian, Menkopolhukam Luhut Pandjaitan mensponsori simposium Tragedi 1965 di Jakarta, Januari 2016, dibantu orang-orang kepercayaan Presiden Jokowi lainnya seperti Sidarto Danusubroto-anggota Dewan Pertimbangan Presiden, mantan Ketua MPR, dan ajudan Presiden Soekarno-dan Letjen (Purn) Agus Widjojo- putra seorang jenderal yang diculik dan dibunuh, Sutoyo, dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965. Setelah simposium, Presiden bahkan memerintahkan Menkopolhukam mencari kuburan massal korban 1965.
Meski kontroversial, perkembangan ini diapresiasi. Sementara kasus Munir baru sebatas pernyataan dalam pertemuan akademisi/praktisi hukum.
Penjelasan tersebut memperkuat argumen optimistis soal penyelesaian kasus HAM seperti Tragedi 1965. Namun, hanya ada sedikit bukti untuk optimistis pada kasus-kasus HAM lainnya. Karena itu, baik kalangan optimistis maupun skeptis harus mendorong Presiden Jokowi untuk melakukan tiga hal.
Pertama, konsolidasi internal. Presiden perlu memastikan jajarannya bekerja sesuai UU. Contoh, Jaksa Agung Prasetyo mengedepankan rekonsiliasi. "Rekon (rekonsiliasi) itu diharapkan agar masalah segera selesai dan bisa realistis," kata Prasetyo di Jakarta.
Begitu pula Menkopolhukam yang baru, Jenderal (Purn) Wiranto, menyatakan pemerintah akan membentuk badan khusus untuk menyelesaikan kasus HAM secara non-yudisial; "...suatu badan yang katakanlah melakukan suatu usaha-usaha untuk membangun kerukunan nasional," katanya (Kompas, 4/10).
Pernyataan keduanya terkesan menyamaratakan kasus HAM masa lalu sebagai konflik dan hanya perlu solusi non-yudisial. Apa hanya ini perintah Presiden? Bukankah Presiden menyebutkan dua terobosan: yudisial dan ekstra-yudisial. Jika hanya non- yudisial, Jokowi bisa dituduh melindungi Wiranto yang terimplikasi kasus HAM Timor-Timur pada 1999 sehingga diberhentikan oleh Presiden Wahid.
Boleh saja pejabat pemerintah mengutamakan rekonsiliasi. Namun, rekonsiliasi bukan substitusi kewajiban hukum negara. UU Pengadilan HAM memerintahkan Jaksa Agung bertindak selaku penyidik untuk melanjutkan penyelidikan Komnas HAM, mendapatkan alat bukti hukum, menemukan tersangka, dan menuntut pelaku. Satu dasawarsa lebih temuan penyelidikan Komnas HAM tak terbantahkan, yakni ada saudara sebangsa kita telah mengalami pelanggaran HAM. Nah, Presiden perlu mendisiplinkan pejabat yang menginterpretasi sendiri dan mereduksi perintah undang-undang.
Kedua, konsolidasi eksternal diperlukan karena sejak awal kaum konservatif menekan Presiden Jokowi dengan mendramatisasi "isu" Presiden akan minta maaf kepada PKI pada tahun pertama dan kedua pemerintahannya sehingga tercipta opini antagonistik dan benturan sosial berbasis politik aliran. Padahal, misalnya, yang disiapkan Sekretaris Kabinet dan Menkumham pada Mei 2015 di atas adalah pencabutan Keppres No 28/1975 yang diskriminatif.
Wacana "maaf" pernah mengemuka selama pemerintahan Yudhoyono. Mantan penasihat presiden, Albert Hasibuan, menegaskan, "permintaan maaf..., adalah atas nama negara, dan ditujukan kepada seluruh korban pelanggaran HAM, . yang terjadi sebelum masa Reformasi. Bukan, secara khusus terhadap korban 1965/1966 dan sama sekali tidak ditujukan kepada PKI...." (Hasibuan, 2016). Presiden Jokowi bisa memanggil Hasibuan untuk melaksanakan "konsep penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu" yang sempat diserahkan kepada Yudhoyono.
Ketiga, konsolidasi lembaga tinggi negara. Presiden Jokowi memang menguasai 2/3 suara parlemen-setelah Golkar membawa 15 persen kursi tambahan. Namun, hambatan internal dan eksternal juga bisa datang dari partai politik yang lama, yang baru bergabung, termasuk militer dan pejabat yang anti HAM. Presiden perlu memastikan kuantitas berkoalisi besar partai-partai diikuti dengan kualitas komitmen substansial mereka untuk menyelesaikan kasus HAM masa lalu.
Perlu tindakan kolektif
Komitmen Presiden bukan sekadar pertaruhan menguasai mayoritas parlemen, melainkan semua lembaga tinggi negara untuk mendukung penyelesaian kasus HAM masa lalu. Jika berhasil, DPR-dibantu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung- berkewajiban mendorong peradilan ad hoc HAM ataupun proses penyelesaian non-yudisial lainnya secara paralel. Yang penting, libatkan publik seluas-luasnya.
Akhirnya, haruskah kita optimistis atau skeptis? Sekali lagi, menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu butuh komitmen dan tindakan kolektif institusi-institusi sosial dan politik. HAM bukanlah aspirasi aktivis semata, atau desakan korban-korban. HAM adalah fondasi dasar seluruh umat manusia-termasuk bangsa Indonesia-pada masa yang akan datang. Karena itu, mari kita selesaikan dengan seadil-adilnya.
USMAN HAMID
Pendiri Public Virtue, Change.org Indonesia, dan Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Oktober 2016, di halaman 7 dengan judul "Penyelesaian Kasus HAM"

Tidak ada komentar:
Posting Komentar