Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 03 Oktober 2016

Tata Niaga Pangan (TAUFIK AHMAD)

Fluktuasi harga pangan dengan kecenderungan naik kini menjadi problema ekonomi Indonesia. Ini terjadi di tengah menurunnya harga pangan di pasar internasional seiring turunnya harga minyak. Bahkan, untuk pangan tertentu, konsumen Indonesia mengonsumsinya dengan harga lebih mahal daripada konsumen negara lain, termasuk yang pendapatan per kapitanya lebih tinggi.

Pemangku kebijakan terus mencari cara agar gejolak dapat dikendalikan. Namun, sering kali permasalahan justru berawal dari kebijakan pangan yang memberi ruang bagi eksploitasi konsumen melalui harga tinggi oleh penguasa pasar.

Secara umum, pendekatan tata niaga pangan saat ini selalu diawali keinginan melindungi petani/peternak, yang memiliki daya saing dan daya tawar rendah. Konsepnya dilakukan dengan membatasi jumlah pasokan di pasar. Pasokan hanya diperbolehkan sebesar permintaan. Kelebihan pasokan tidak ditoleransi karena akan menyebabkan harga jatuh, yang merugikan petani/peternak.

Pasokan dipenuhi oleh produksi dan impor. Impor dilakukan saat produksi tidak bisa memenuhi seluruh kebutuhan. Impor tidak boleh lebih dari kekurangan produksi yang ditetapkan. Secara konsep, di sisi hulu pemerintah melakukan intervensi dengan membatasi pasokan.

Namun, kelanjutan tata niaga ini terasa unik. Di hilir (distribusi dan perdagangan), di tengah pembatasan pasokan di hulu, pemerintah justru memberlakukan mekanisme pasar. Distributor, pedagang, dan pengecer memiliki kebebasan dalam menentukan harga dan pasokan.

Intervensi pasokan di hulu dan mekanisme pasar di sisi hilir dipandang aneh. Hal ini mengingat dalam sistem ekonomi seharusnya kita memilih satu dari dua pilihan: menganut mekanisme pasar total atau intervensi pasar total dari hulu ke hilir. Saat ini, seolah Indonesia anti pasar di hulu tetapi sangat liberal (pro pasar) di hilir.

Pembatasan pasokan hanya sebesar permintaan di hulu telah mendistorsi pasar. Dalam kondisi ini, seharusnya proses distribusi/perdagangan tidak dilakukan dengan mekanisme pasar mengingat distribusi/perdagangan hanya berfungsi menyalurkan pasokan yang terbatas dari tempat produksi ke pasar.

Eksploitasi kekuatan pasar

Tata niaga seperti ini akhirnya menyebabkan penguasa rantai pasok memiliki kekuatan pasar yang besar. Struktur distribusi cenderung hanya bergerak dari monopoli menuju oligopoli. Hampir tidak mungkin ada persaingan karena pasokan dibatasi. Penguasa rantai pasok mengetahui bahwa barang hanya ada pada mereka. Tidak ada pesaing berpotensi masuk pasar karena kebijakan menghalanginya.

Tidaklah mengherankan apabila penguasa pasar begitu leluasa menjual produk pangan mereka dengan harga tinggi. Mereka leluasa mengeksploitasi konsumen sampai ambang batas daya belinya. Semua dilakukan atas nama mekanisme pasar.

Melalui tata niaga seperti ini, hampir dipastikan harga pangan cenderung naik. Hampir mustahil turun. Para pelaku usaha penguasa rantai pasok, seperti importir, produsen, dan pelaku jejaring distribusi, dipastikan akan untung. Satu-satunya potensi kerugian terjadi saat produksi dalam negeri berlimpah. Saat itu harga turun, tetapi selepas kembali ke keseimbangan, harga kembali naik.

Dalam perspektif persaingan, tata niaga ini rentan disalahgunakan menjadi kartel karena struktur industri yang terkonsentrasi. Kekuatan pasar penguasa rantai pasok dapat dengan mudah disalahgunakan. Itulah yang dibuktikan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam kasus kartel daging sapi.

Salah satu prasyarat keberhasilan tata niaga saat ini terletak pada akurasi data pasokan dan permintaan. Kesalahan data akan menyebabkan pasar bergejolak.

Data pangan Indonesia sendiri cenderung buruk. Seperti diketahui, silang pendapat tentang akurasi data pertanian sempat terjadi, sebelum Presiden memutuskan data Badan Statistik Nasional (BPS) sebagai acuan. Hal ini membuktikan bahwa selama ini tata niaga didasarkan pada data yang tidak akurat.

Keterpurukan tata niaga beberapa komoditas yang produksinya rendah diperparah buruknya realisasi impor untuk menutup kekurangan pasokan. Impor sering kali tidak terealisasi 100 persen. Anehnya hal ini ditoleransi. Hampir tidak ada importir yang mendapat sanksi. Padahal, perilaku mereka tidak merealisasikan 100 persen impor telah mendistorsi pasar jauh lebih dalam.

Kondisi ini seolah menunjukkan bahwa untuk pangan tertentu tata niaga membiarkan pasokan selalu berada di bawah permintaan, yang justru dimanfaatkan oleh penguasa pasokan berpesta atas nama mekanisme pasar. Tidak mengherankan apabila harga pangan tidak pernah beranjak turun.

Solusi

Menghadapi kenyataan ini, pemerintah harus memilih antara memberlakukan mekanisme pasar total atau intervensi pemerintah total. Apabila pemerintah berketetapan melakukan intervensi melalui pembatasan pasokan, pemerintah harus menyempurnakannya dengan intervensi di hilir.

Siapa pun pelaku usaha yang berada di jejaring distribusi harus diikat dengan kewajiban menjaga ketersediaan dan harga terjangkau. Karena, selama pasokan dibatasi, mereka dipastikan tidak akan pernah mengalami kerugian. Selain itu, pemerintah harus bersiap dengan pengawasan dan penegakan hukumnya.

Cara lain adalah dengan memberlakukan mekanisme pasar total, tetapi dengan skema perlindungan petani/peternak sehingga petani/peternak terlindungi dan konsumen menikmati harga kompetitif.

Hanya melalui perbaikan tata niaga pemerintah bisa mewujudkan perlindungan petani/peternak dan menjamin harga terjangkau serta produk tersedia. Tanpa perbaikan, tata niaga akan terus mengerek harga, yang bermuara pada tidak kompetitifnya pangan Indonesia. Ironi pun terjadi, Indonesia negara agraris tetapi rakyatnya mengonsumsi produk agraris dengan harga lebih mahal daripada negara nonagraris. Semoga tak terjadi lagi.

TAUFIK AHMAD, BEKERJA DI SEKRETARIAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Oktober 2016, di halaman 7 dengan judul "Tata Niaga Pangan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger