Kekhawatiran ini dikaitkan dengan adanya perikatan Indonesia ke dalam sejumlah perjanjian preferensi perdagangan, seperti Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan perjanjian perdagangan bebas antara ASEAN dan enam negara mitranya, pemikiran pemerintah untuk bergabung ke dalam TransPacific Partnership(TPP), ataupun perjanjian yang masih dalam proses perundingan, seperti Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) serta kemitraan dengan Australia, European Free Trade Association (EFTA) dan Uni Eropa.
Beberapa perjanjian atau perundingan ini mencakup isu-isu nonkonvensional, seperti hak kekayaan intelektual, persaingan usaha, e-commerce, peranan BUMN, belanja pemerintah, tata kelola peraturan, pembangunan yang berkelanjutan, bahkan TPP juga memuat aturan mengenai anti korupsi.
Kekhawatiran ini umumnya beranjak dari penilaian bahwa banyak persoalan domestik yang belum diselesaikan sehingga Indonesia tidak akan mampu bersaing dengan negara-negara yang terikat dalam perjanjian preferensi dengan Indonesia. Sebuah survei yang dilakukan oleh sebuah lembaga riset di Tanah Air beberapa tahun lalu seolah menguatkan kekhawatiran ini.
Survei itu menunjukkan bahwa sebagian besar provinsi di Indonesia masih menghadapi kendala konektivitas dan keterbatasan suplai energi untuk mengembangkan potensi ekonomi daerah sehingga tidak saja kegiatan produksi sering terganggu, tetapi juga hasil produksinya sulit memasuki mata rantai distribusi nasional apalagi internasional.
Tak heran jika sejumlah kalangan berpendapat bahwa Indonesia hanya akan menjadi pasar bagi negara lain yang lebih kuat daya saingnya, dan bahwa petani, peternak, nelayan serta UKM Indonesia akan semakin terpinggirkan.
Tidak kurang dari Presiden RI Joko Widodo dalam KTT G-20 di Tiongkok dan KTT ASEAN di Laos baru-baru ini mewanti- wanti kepala negara lain untuk memberikan perhatian pada lapisan bawah masyarakat agar keuntungan dari globalisasi dapat terbagi secara lebih adil. Lalu, bagaimana kita menyikapi dorongan globalisasi yang semakin kuat dan tak terhindarkan ini di tengah desakan untuk meningkatkan kemampuan dan menciptakan kesempatan yang layak bagi petani, peternak, nelayan, dan UMKM untuk tumbuh?
Proteksionis atau membuka pasar?
Dengan kemajuan ilmu dan teknologi yang semakin cepat saat ini, praktis tidak ada satu pun negara di dunia yang dapat meraih kemajuan ekonomi dengan cara menutup diri dari dunia luar.
Pengalaman banyak negara di Eropa pada abad ke-16 hingga ke-18 serta beberapa negara di kawasan Amerika Latin sejak tahun 1970-an hingga belakangan ini cukuplah menjadi pelajaranbahwa pendekatan merkantilis—di mana negara mengerahkan kekuasaannya untuk memproteksi perekonomian nasional—ternyata tidak membuahkan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sebaliknya, yang terjadi adalah terciptanya ekonomi biaya tinggi, menurunnya daya beli masyarakat dan membesarnya beban fiskal pemerintah melalui berbagai program subsidi, yang dalam beberapa kasus justru mengantarkan negara yang bersangkutan ke ambang kebangkrutan.
Tentu saja pemerintah di mana pun harus memastikan agar pelaku usaha, terutama dari kalangan bawah, memiliki kesempatan yang terbuka lebar dan adil untuk berkembang, jika perlu dengan memberikan insentif dan bantuan. Di lain pihak, pemerintah juga memikul tanggung jawab yang sama beratnya untuk memastikan agar masyarakat memiliki pilihan yang luas untuk memenuhi kebutuhannya dengan biaya yang wajar.
Kedua tanggung jawab di atas, baik dahulu dan lebih-lebih kini, tidak dapat lagi dilaksanakan dengan pendekatan merkantilis. Proteksi yang berlebihan hanya akan melambungkan tingkat harga yang harus ditanggung oleh konsumen. Apabila tercipta perbedaan harga yang tajam antara barang atau jasa yang diproduksi di dalam negeri dengan barang atau jasa yang diproduksi secara lebih efisien oleh negara lain, maka tidak saja konsumen terpaksa harus membayar lebih mahal dari seharusnya, tetapi juga mendorong tumbuh suburnya praktik penyelundupan dan berbagai transaksi ilegal lainnya.
Jika direnungkan dengan kepala dingin, jelas bahwa pilihan cerdas yang tersedia bukanlah mengembangkan kebijakan proteksi secara masif atau sebaliknya membuka pintu impor selebar- lebarnya. Harus ada keseimbangan antara tujuan memajukan pelaku usaha nasional di satu pihak dan ketersediaan barang serta jasa kebutuhan masyarakat pada tingkat harga yang wajar di lain pihak.
Kata kuncinya adalah "mengelola" (managing) ekonomi dan khususnya "mengelola" pasar secara cerdas agar keseimbangan itu dapat tercipta.
Mengoreksi dan mengakali perjanjian
Mengelola pasar memang bukan urusan yang mudah karena Indonesia sudah terikat dengan sejumlah perjanjian perdagangan yang menimbulkan tidak saja hak, tetapi juga kewajiban yang harus dipatuhi. Dari sejumlah perjanjian yang diikuti Indonesia, maka yang paling mendasar adalah Perjanjian Marrakesh yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994, yang menandai terbentuknya Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) pada tahun 1995 berikut semua perjanjian yang termaktub di dalamnya.
Perjanjian WTO ini sering digunakan oleh Indonesia untuk mempersoalkan kebijakan negara anggota WTO lainnya apabila dianggap melanggar perjanjian WTO sehingga merugikan Indonesia. Namun sebaliknya, Indonesia juga sering mendapatkan keluhan dari negara lain jika ada kebijakan perdagangan Indonesia yang dianggap melanggar perjanjian WTO.
Perjanjian-perjanjian di WTO itu sendiri tidaklah sempurna. Ia merefleksikan kondisi saat perjanjian itu dirundingkan dari tahun 1986 hingga 1994. Sejak itu, dunia mengalami banyak perubahan signifikan, seperti ledakan jumlah penduduk di negara berkembang, perubahan cuaca yang memengaruhi produksi pertanian, meningkatnya urbanisasi, meningkatnya kemampuan fiskal negara berkembang, serta kemajuan teknologi, khususnya di bidang genetika dan digital.
Karena itu, negara berkembang menilai bahwa beberapa perjanjian WTO perlu dikoreksi karena tidak mengakomodasi realitas di negara berkembang saat ini. Itulah yang sedang diperjuangkan Indonesia bersama sejumlah negara berkembang lainnya di Geneva tempat WTO bermarkas, antara lain sebagai ketua G-33, yaitu sebuah kelompok terdiri dari 48 negara berkembang yang memiliki sensitivitas terhadap impor produk pertanian.
Terlepas dari berbagai ketimpangannya, perjanjian-perjanjian WTO tetap menjadi rujukan baku bagi 164 negara anggotanya. Karena itu, untuk mengelola pasar dengan sebaik-baiknya, pemerintah tetap perlu mengindahkan sejumlah perjanjian yang ada di WTO. Hal ini penting untuk menghindari kemungkinan Indonesia diadukan ke WTO oleh negara lain, yang akan menguras tidak saja tenaga, pikiran, dan waktu, tetapi juga biaya untuk beperkara.
Sejumlah perjanjian WTO memberi hak kepada anggotanya untuk melakukan larangan dan pembatasan berdasarkan pertimbangan K3LM, yaitu kesehatan, keamanan, keselamatan, lingkungan, dan moral.
Namun, perjanjian WTO juga menegaskan bahwa larangan dan pembatasan dapat diterapkan bukan sebagai instrumen untuk menghambat impor guna melindungi produk lokal. Untuk membantu produk lokal ini, perjanjian WTO menyediakan instrumen lain bagi anggotanya, seperti kebijakan tarif, subsidi sampai batas tertentu, serta langkah anti dumping, anti subsidi dan pengamanan (safeguard).
Didesak oleh tuntutan domestiknya, banyak negara anggota "mengakali" perjanjian WTO sehingga kebijakannya tampak masih sesuai dengan ketentuan di WTO. Namun, WTO juga menyediakan wadah, yaitu Badan Penyelesaian Sengketa apabila negara lain merasa dirugikan oleh akal-akalan ini.
Bila demikian realitasnya, kita harus berusaha menjadi smart boy, mengikuti kaidah-kaidah yang diatur di WTO, tetapi bila perlu juga "mengakali" secara cerdas perjanjian WTO agar kepentingan nasional kita tercapai. Kata kuncinya, sekali lagi, adalah "mengelola" pasar.
IMAN PAMBAGYO, ANGGOTA TRAP FORUM (LEMBAGA PENGAMAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN BERKEDUDUKAN DI JAKARTA)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul "Mengelola Pasar di Era Globalisasi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar