Agaknya inilah salah satu dampak jika sebuah negara mempunyai wilayah yang luas dan pasokan kebutuhan dasarnya serba terpusat. Pendistribusian pun bisa menjadi masalah, apalagi apabila infrastrukturnya menyulitkan.
Salah satu contoh adalah bahan bakar minyak (BBM). Setelah 71 tahun, akhirnya di era Presiden Joko Widodo ada kebijakan BBM satu harga. Sesuatu yang sangat ditunggu masyarakat, terutama di Indonesia bagian timur.
Selama ini, mengirim BBM tidak mudah. Selain jarak yang jauh, juga harus melewati medan yang berat. Tentu ini akan membutuhkan usaha dan biaya ekstra.
Dulu, zaman pengiriman surat masih manual dengan jasa pos, seseorang di Papua baru menerima surat dari saudaranya di Jakarta sebulan kemudian karena jauh. Inilah yang dihadapi negara sekarang.
Harga BBM bisa sepuluh kali lipat dari harga resmi yang dipatok negara, di kawasan jauh dari pusat. Karena itu, pemerintah, tepatnya Presiden Jokowi, bertekad menjadikan BBM satu harga, di mana pun di Indonesia.
Saran saya, seperti yang saya sampaikan juga di akun Twitter Pak Presiden, berbasis pada kebutuhan BBM negara kita yang tidak terpenuhi oleh produksi dalam negeri (Pertamina). Kalau tidak salah, sebagian besar pasokan BBM masih mengandalkan impor. Jika memang demikian, mengapa BBM itu tidak langsung diantar ke Papua dan kawasan Indonesia lain, tanpa harus masuk ke Pertamina Jakarta. Dengan demikian, biaya pengiriman BBM tidak menjadi beban subsidi sampai miliaran rupiah.
Mungkin pemerintah bisa belajar dari PT Semen Padang, yang bisa mengatur penjualan di luar Provinsi Sumbar dengan harga selisih tipis. Misalnya, jika di Padang harga semen Rp 60.000 per zak, di Riau—yang berjarak 500 km— bisa dijual dengan harga paling tinggi Rp 62.000 per zak. Hanya selisih Rp 2.000. Meski dari Padang menuju Riau tidak menyeberangi laut, transportasi melewati jalan berliku, dengan bukit yang tinggi dan lurah yang dalam.
PANDU SYAIFUL, PERUMAHAN CENDANA, PEKANBARU, RIAU
Pembayaran dengan "E-toll"
Pembayaran dengan kartu e-toll di gerbang masuk tol cukup membantu karena lebih singkat dan mencegah kesalahan uang kembalian. Namun, ada beberapa hal yang mengganggu, bahkan berlawanan dengan tujuan untuk mempercepat transaksi, karena malah memperlambat.
Salah satunya adalah alat sensor yang dipasang tidak sensitif. Akibatnya, pengendara butuh menunggu cukup lama dan kartu harus benar-benar menempel ke alat pemindai. Seharusnya seperti alat yang ada di supermarket, misalnya, cukup dari jarak tertentu kartu sudah terbaca. Jadi tidak perlu ditempel.
Saya tidak tahu, apakah sengaja atau tidak, sering mobil yang tidak mempunyai kartu e-toll masuk ke gerbang bertulisan Gerbang Transaksi Otomatis (GTO). Bisa jadi pengemudi mobil tersebut berharap dapat meminjam kartu kepada pengemudi kendaraan di belakangnya. Jika tidak dipinjami, petugas akan menyuruh mobil itu mundur sehingga mengganggu antrean.
Bahkan, ada petugas yang menyuruh membeli kartu, dan ini juga memperlambat antrean. Pengemudi seperti itu seharusnya mendapat sanksi, misalnya denda untuk membayar dua kali lipat dari tarif tol yang berlaku.
MUHTAR, JALAN ARGA MURIA, KOTA CILEGON, BANTEN
Menambah Loket
Menanggapi surat berjudul "Antre di Kantor BPJS" di Kompas (30/10) yang disampaikan Ibu Vita Priyambada, kami mohon maaf atas ketidaknyamanan yang dialami. Untuk meminimalkan antrean di kantor cabang, kami menyediakan layanan pendaftaran daring melalui laman www.bpjs-kesehatan.go.id
Terima kasih atas saran tentang penambahan loket, dan sudah ditindaklanjuti dengan menambah jumlah loket pelayanan peserta untuk mempersingkat waktu pelayanan. Bahkan, Kantor Cabang Utama Jakarta Timur telah menyediakan tempat pelayanan khusus bagi usia lanjut, ibu hamil, ibu dengan anak balita, dan penyandang disabilitas.
Pengaduan dan permintaan informasi juga dapat disampaikan ke Care Center 1500400.
BUDI MOHAMAD ARIEF, KEPALA GRUP KOMUNIKASI PUBLIK DAN HUBUNGAN ANTAR- LEMBAGA BPJS KESEHATAN
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 November 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".

Tidak ada komentar:
Posting Komentar