Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 28 November 2016

Nasib Bahasa dan Penyekapan (DERHAM BURNEWI)

Setiap kali menyambut hari Sumpah Pemuda 28 Oktober, kita diingatkan dengan semboyan "Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa". Namun, semakin bertambah usia bangsa Indonesia dan dengan bergantinya generasi bangsa, semakin luntur kebanggaan tentang Indonesia. Kita tetap menekankan semboyan "Satu Nusa dan Satu Bangsa Indonesia" karena kita tetap tinggal di bumi Indonesia.

Semboyan "Satu Bahasa, Bahasa Indonesia" telah luntur pada generasi kita sekarang. Lihat sekitar kita, apakah kita masih perlu berbahasa Indonesia? Hampir semua media menggunakan campuran bahasa Inggris, seperti dalam tulisan- men-download, men-share, me-launching, dan sebagainya.

Bahkan, di sekolah-sekolah lebih banyak penggunaan bahasa Inggris, dari tulisan di lapangan basket sampai semboyan sekolah. Mulai dari PAUD sampai perguruan tinggi apabila tidak menggunakan bahasa Inggris, gengsinya rendah. Cukup banyak sekolah menggunakan kata internasional untuk menarik peminat dan juga meningkatkan gengsi.

Belum lagi dengan ujian akhir nasional (UAN), nilai Bahasa Inggris lebih penting dibandingkan mata pelajaran lain. Bahkan, Kota Bandung, Jawa Barat, jika tidak ada kata-kata Inggris di setiap sudut ataupun taman tidak keren namanya. Gedung dan pusat perbelanjaan menggunakan petunjuk dalam bahasa Inggris. Hal itu dapat dilihat dalam gedung dan area parkir, yaitu exitone waythis waypark.

Bahkan, pemerintahan lebih suka menggunakan program- program dalam bahasa Inggris. Lucunya lagi kepolisian lebih menonjol dengan tulisan Inggrispolicehighway patrolturn back crime. Pelaku bisnis juga lebih senang dengan bahasa Inggris yang ujung-ujungnya mendongkrak harga lebih mahal ice tea,coffeefried ricesalsasale, dan sebagainya. Nama perumahan dan apartemen juga lebih keren jika menggunakan nama dan daerah di Amerika Serikat atau Eropa agar harga jual lebih tinggi.

Terkejut dan gembira mendengar harga bahan bakar minyak (BBM) di Papua sama dengan harga di Pulau Jawa. Ini belum pernah terjadi dalam sejarah sejak Indonesia merdeka. Silih berganti kita berganti pimpinan negeri ini, tetapi keadaan perekonomian dan pembangunan di Papua atau Indonesia Timur seolah dianaktirikan meski termasuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemerintahan Kabinet Kerja Joko Widodo dan Jusuf Kalla sungguh-sungguh mempraktikkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Semoga pada masa mendatang negara Republik Indonesia bisa sejajar dengan negara-negara besar. Diharapkan pencapaian demokrasi tidak rusak oleh sekelompok orang-orang yang tidak bertanggung jawab, terutama menjelang pemilihan kepala daerah, khususnya pilkada di DKI Jakarta yang akan datang.

Sekitar 35 tahun lalu (1981-2016), saya menerima balasan surat dari Profesor Emil Salim, waktu itu menjabat Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Kependudukan. Saya melaporkan tentang kuburan/pusara keluarga di Sumatera Barat, dan menyarankan agar setiap kecamatan hanya memiliki satu tempat pemakaman umum.

Tidak diizinkan memakamkan jenazah di tanah pribadi. Ini agar di kemudian hari tidak menimbulkan masalah apabila ingin membangun rumah, gedung, atau jalan. Surat dari Bapak Emil Salim berlogo resmi kop negara ditembuskan kepada Gubernur Sumatera Barat yang waktu itu dijabat Azwar Anas.

Tentang makam keluarga masih tetap berjalan sampai saat ini, maka melalui akun Twitter Gubernur Sumatera Barat sekarang ini, Irwan Prayitno, saya bertanya, apakah surat tembusan dari Emil Salim waktu itu masih ada. Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno menjelaskan bahwa 35 tahun sudah lama sekali. Berdasarkan Undang-Undang Negara, penyimpanan dokumen hanya berlaku 10 tahun, dan setelah itu dimusnahkan.

Saya merasa heran. Jadi jika begitu, dokumen tentang laporan Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Munir mungkin juga sudah dimusnahkan karena sudah sekitar 12 tahun. Jika ini terjadi, sebaiknya meminta pertinggal/arsip kepada anggota TPF. Mustahil jika di antara mereka tidak menyimpan data.

Sehubungan dengan penyekapan, penganiayaan, dan penyiksaan yang menimpa anak saya (Yulyani) yang bekerja di Riyadh, Arab Saudi, yang dilakukan oleh majikan, saya menilai Mahara Rekruitment Riyad selaku agen tenaga kerja wanita telah melakukan kelalaian dengan tidak selektif dan tanpa pertimbangan yang matang mengambil majikan untuk anak saya sehingga anak saya mendapatkan perlakuan tidak berperikemanusiaan.

Saya sebagai ayah kandung korban sudah melakukan langkah-langkah dengan memohon bantuan kepada Kedutaan Besar Republik Indonesia di Riyadh agar korban dibantu dijemput dari kantor Mahara Recruitment Riyadh untuk dipulangkan ke Indonesia. Saya sudah mengirim SMS ke nomor +966569094526 dan telepon ke KBRI lewat telepon nomor +966509398264, +966114882800 namun tidak direspons.

Mengingat keterbatasan dan ketidakmampuan dalam berbahasa Arab, pihak saya dan keluarga tidak bisa menelepon ke kantor Mahara Recruitment Riyadh dengan nomor +966509781515 yang saat ini dipimpin Ibu Makhrus. Korban mempunyai anak yatim berusia 5 tahun yang masih membutuhkan pembinaan dan kasih sayang ibunya.

Akhir-akhir ini, media cukup banyak memberitakan terkait gubernur non-aktif DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama. Dilihat dari pandangan hukumnya, seharusnya jika Basuki alias Ahok masih dalam status tersangka (belum terdakwa) peran media adalah menunggu proses hukum selanjutnya, apakah akan praperadilan atau langsung ditetapkan sebagai terdakwa.

Animo masyarakat saat ini banyak yang gagal paham. Mereka menilai ketika Basuki Tjahaja Purnama sudah menjadi tersangka berarti langsung dipenjara dan dinyatakan bersalah. Lagi-lagi hal ini hanya akan melahirkan riuh di beberapa media cetak, terutama media online. Membuat masyarakat asal bicara, seketika menghakimi tanpa melihat realitas yang terjadi di belakang layar.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 November 2016, di halaman 13 dengan judul "Nasib Bahasa dan Penyekapan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger