Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 15 November 2016

TAJUK RENCANA: Terorisme dan Integrasi Perancis (Kompas)

Perancis memperingati setahun serangan teror di Paris yang menewaskan 130 orang pada 13 November 2015 dan pemerintah memperpanjang status darurat.

Ada enam lokasi yang dipasangi plakat bertuliskan 130 nama korban tewas yang ketika serangan terjadi sedang menikmati konser band, menikmati makan malam di bar ataupun restoran. Itu merupakan serangan yang dilakukan oleh teroris yang berafiliasi pada Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) berikutnya setelah pada Januari 2015 serangan dilakukan pada majalah Charlie Hebdo.

Perancis kemudian menyatakan negara dalam keadaan darurat. Namun, serangan truk di resor Nice pada Juli 2016 yang menewaskan 84 orang membuat Pemerintah Perancis memperpanjang status keadaan darurat sampai sekarang. Bahkan, menurut PM Manuel Valls, status itu akan terus diperpanjang sampai beberapa bulan.

Pada peringatan itu, Michael Dias, anak salah satu korban tewas Manuel Dias, membuat pernyataan yang mengharukan. Dias adalah warga Perancis yang berasal dari Portugis. "Ayah saya menjadi bukti bahwa integrasi di Perancis itu mungkin. Hidup toleransi." Namun, kenyataan di Perancis lebih kelam dari harapan Michael. Luka psikologis yang dialami warga Perancis kini mewujud dalam prasangka xenofobia, khususnya terhadap kaum imigran ataupun warga Perancis yang Muslim.

Kasus pelarangan burkini (pakaian renang perempuan yang menutupi seluruh tubuh) di 30 kota pantai di Perancis, misalnya, menjadi refleksi prasangka itu. Dampak pelaranganburkini bukan saja sekadar pelarangan "baju renang". Pelarangan itu telah melanggar hak asasi pribadi, sesuatu yang diagungkan Perancis yang mengusung prinsip liberte (kebebasan),egalite (persamaan),dan fraternite(persaudaraan). Bahkan, lebih jauh lagi, telah membungkam suara perempuan Muslim Perancis yang posisinya sudah terjepit karena pelarangan hijab.

Di ranah politik, reaksi kebencian itu disalurkan melalui dukungan terhadap partai politik ekstrem kanan yang memiliki ideologi xenofobia (di antaranya anti imigran dan anti Muslim). Marine Le Pen dari partai kanan Front Nasional kini menjadi calon presiden yang populer di Perancis. Sementara presiden saat ini, Francois Hollande, menjadi presiden yang paling tidak populer.

Kemenangan Donald Trump sebagai presiden AS yang selama masa kampanye mengobarkan semangat serupa menjadi semacam "pembenaran" tentang kebangkitan gerakan kanan. Hampir di setiap negara Eropa, partai kanan memperoleh dukungan luas dari warganya yang dipicu kekhawatiran akan banjir imigran yang menyerbu Eropa sejak meletusnya perang Suriah lima tahun lalu.

Pemilihan umum tahun depan di Perancis, Jerman, Belanda, dan negara lain akan membuktikan apakah Eropa akan mengukuhkan asumsi di atas.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 November 2016, di halaman 6 dengan judul "Terorisme dan Integrasi Perancis".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger