Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 07 Desember 2016

Tantangan Ekonomi Dunia (ANWAR NASUTION)

Ada tiga sumber masalah ekonomi eksternal yang akan dihadapi oleh Indonesia pada tahun 2017.

Pertama adalah kesulitan yang dihadapi oleh ekonomi Tiongkok sehubungan dengan kelebihan kapasitas produksi industri pengolahan sumber daya alamnya, perumahan, dan infrastruktur. Pada gilirannya, rangkaian kesulitan ini menimbulkan persoalan pada industri keuangannya, termasuk perbankan. Kesulitan ekonomi Tiongkok sekaligus mengurangi impor negara tersebut atas bahan mentah dari Indonesia dan menurunkan harga komoditas primer sejak 2011.

Masalah kedua adalah keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit). Masalah ketiga adalah terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat untuk masa jabatan mulai Januari 2017. Brexit dan program kerja Trump memberi petunjuk akan terhambatnya proses globalisasi. Untuk melindungi produksi dalam negeri, baik Brexit maupun Trump berjanji akan meningkatkan tarif bea masuk atas impor.

Untuk melindungi tenaga kerja kasar di dalam negeri, kedua negara tersebut akan membatasi masuknya tenaga kerja asing dan pengungsi dari daerah konflik, seperti Timur Tengah, Afrika, dan Myanmar. Tenaga kerja asing menambah permintaan akan jasa-jasa sosial, seperti kesehatan dan pendidikan. Selain disaingi oleh migrasi pekerja asing, permintaan akan tenaga kasar juga semakin berkurang karena proses mekanisasi dan otomatisasi ataupun robotisasi.

Selain dari kemungkinan peningkatan tarif bea masuk impor, tantangan kedua dari AS adalah kemungkinan kenaikan tingkat suku bunga acuan oleh bank sentral yang diperkirakan akan dilakukannya sebelum liburan Natal 2016. Tanda-tanda tersebut sudah kelihatan berkenaan dengan kemajuan pesat perbaikan kondisi ekonomi makronya dan semakin rendahnya tingkat pengangguran tenaga kerja. Peningkatan suku bunga di negara tersebut akan menyedot aliran modal dunia ke negara itu atau setidaknya mengurangi aliran modal ke negara-negara berkembang, seperti Indonesia. Ini masalah ketiga.

Efek globalisasi

Selama ini, AS dan Inggris adalah penganjur utama demokratisasi politik dan globalisasi atau integrasi pasar nasional dengan pasar dunia dalam hal barang dan jasa, teknologi, keuangan, dan tenaga kerja. Kedua negara tersebut sekaligus merupakan peletak dasar standar internasional dalam segala aspek kehidupan, termasuk perdagangan dan lembaga keuangan, hak asasi manusia, perburuhan, lingkungan hidup, ataupun intervensi pemerintah dalam perekonomian. Perusahaan AS membuat makanan negaranya berupa hamburger, ayam goreng, piza, donat, ataupun kopi menjadi makanan internasional. Dunia mengamati kebakaran hutan dan rawa serta hutan bakau di Indonesia ataupun penggantian hutan dengan kebun kelapa sawit yang mengganggu negara-negara tetangga ataupun pemanasan bumi. Bagi Indonesia, sangat mahal beban fiskal untuk memadamkan kebakaran hutan tersebut. Lalu lintas manusia yang semakin mudah sekaligus memudahkan penjangkitan penyakit dari satu tempat ke tempat lainnya, seperti malaria, AIDS, flu burung, dan TBC.

Globalisasi produksi terjadi akibat dari gabungan dua hal. Pertama, adanya deregulasi nasional dalam segala bidang kehidupan itu yang menurunkan tarif bea masuk ataupun hambatan nontarif atas impor. Kesepakatan dalam organisasi perdagangan dunia, seperti WTO, ataupun perjanjian regional, seperti Uni Eropa dan ASEAN, telah semakin meniadakan hambatan nontarif dan menurunkan tarif bea masuk. Perjanjian Schengen di Uni Eropa membebaskan lalu lintas tenaga kerja antarnegara anggota.

Kedua, karena adanya kemajuan pesat dalam teknologi komputer dan telekomunikasi sehingga menurunkan ongkos angkut serta biaya logistik yang memungkinkan terjadinya mata rantai proses produksi (global supply chains) yang dilakukan di sejumlah negara. Pesawat telepon genggam merek iPhone dirakit di Tiongkok dengan menggunakan suku cadang dan komponen yang diimpor dari 27 negara.

Bahan, mode, dan ukuran pakaian dinas tentara NATO yang dijahit di Solo ditentukan oleh pemesannya, sedangkan penjahitnya hanya menerima upah jahitan. Demikian pula dengan sepatu Nike dan Adidas yang diproduksi di Tangerang dan jaket Tumi yang dijahit di Bandung yang hasilnya diekspor ke pasar dunia, terutama AS dan Uni Eropa.

Terciptanya pasar global telah memungkinkan produksi secara besar-besaran. Pada gilirannya skala ekonomis (economies of scale) dan produksi dilakukan di negara yang lebih murah upah tenaga kerjanya telah menurunkan biaya produksi dan harga produk.

Rantai produksi global

Peningkatan kembali tarif bea masuk dan hambatan nontarif lainnya di negara- negara maju akan mengganggu mata rantai proses produksi global atau pembagian kerja antarnegara. Hambatan perdagangan tersebut sekaligus merangsang terjadinya kembali perang dagang. Sementara itu, walaupun sudah beberapa kali melakukan koreksi kurs, AS masih tetap menuduh Tiongkok melakukan manipulasi kurs mata uangnya sebagai strategi untuk meningkatkan ekspornya.

Sumber konflik yang ketiga adalah karena Tiongkok mengekspor kelebihan produksinya ke pasar dunia dengan tingkat harga murah yang disebut oleh sejumlah negara sebagai dumping.

Kelebihan kapasitas produksi di Tiongkok terutama terjadi pada enam bidang usaha industri besar dan padat modal yang didominasi oleh perusahaan milik negara, yakni industri besi, tambang batubara, industri semen, pabrik gelas, kertas, dan non-ferrous metal.

Keenam bidang usaha tersebut mengimpor bahan mentah dan bahan bakar dari mancanegara, termasuk Indonesia dan Australia. Keenam industri berat tersebut ditambah dengan industri perumahan dan infrastruktur digalakkan oleh Pemerintah Tiongkok sebagai bagian dari ekspansi fiskal guna menghadapi krisis keuangan global tahun 2008-2009. Perumahan dan infrastruktur memerlukan banyak bahan bangunan, sedangkan industri peleburan atau pengelolaan sumber daya alam memerlukan banyak tenaga listrik yang antara lain digerakkan oleh batubara.

Sumber dana ekspansi fiskal tahun 2008-2009 di Tiongkok adalah berasal dari kredit dari bank-bank negara yang langsung diterima oleh BUMN di keenam industri di atas ataupun melalui perusahaan daerah milik pemda (BUMD) yang membangun industri perumahan dan infrastruktur. Pemerintah daerah di Tiongkok dapat mengarahkan bank-bank negara memberikan kredit pada BUMD miliknya.

Pada gilirannya, BUMD memberikan kredit perumahan kepada nasabahnya. BUMD yang memberikan kredit seperti itu disebut sebagai bank bayangan (shadow banking) karena tidak mendapatkan fasilitas kredit ataupun tunduk pada pengaturan bank sentral. Ekspansi kredit perbankan dengan bunga murah juga merupakan bagian dari strategi untuk menumbuhkan permintaan pasar dalam negeri sebagai pengganti dari penurunan ekspor.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa dewasa ini ekonomi Tiongkok menghadapi berbagai krisis multidimensi. Pertama, krisis akibat dari adanya kelebihan kapasitas produksi pada industri pertambangan dan industri berat pengolahan sumber daya alam. Perusahaan-perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan tersebut, terutama BUMN, hanya bisa bertahan karena adanya kredit murah dari bank- bank negara.

Kedua, kelebihan pembangunan rumah dan infrastruktur, terutama di daerah terpencil, seperti yang dialami oleh AS pada tahun 2008-2009. Ketiga, melemahnya posisi keuangan lembaga-lembaga keuangannya yang masih bertumpu pada industri perbankan. Kredit bermasalah pada industri perbankan tersebut semakin meningkat karena gangguan pada ekspor dan permintaan domestik. Sekitar 70 persen dari kredit bermasalah bank-bank negara ada pada keenam BUMN raksasa di atas.

ANWAR NASUTION

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Desember 2016, di halaman 6 dengan judul "Tantangan Ekonomi Dunia".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger