Perintah Eksekutif yang diambil akhir pekan lalu oleh Trump itu menyatakan pelarangan terhadap warga asal tujuh negara berpenduduk mayoritas Muslim untuk masuk AS. Mereka yang dilarang adalah pengungsi, penduduk sah, termasuk pemegang green card (kartu hijau), dari ketujuh negara itu. Ketujuh negara itu adalah Libya, Sudan, Yaman, Somalia, Iran, Irak, dan Suriah.
Kebijakan keimigrasian lewat Perintah Eksekutif yang diberi tajuk "Perlindungan Bangsa dari Teroris Asing Masuk ke Amerika Serikat" tersebut berlaku untuk masa 90 hari ke depan. Perintah itu juga secara tegas melarang pengungsi Suriah untuk ditampung di AS dan menangguhkan masuknya semua pengungsi dari setiap negara untuk jangka waktu 120 hari.
Sulit untuk memahami kebijakan tersebut, yang di atas sudah disebutkan sebagai kebijakan diskriminatif, bahkan berbau rasialis, meskipun berlatar belakang pertimbangan keamanan nasional. Setiap negara, memang, memiliki kebebasan dan kedaulatan sepenuhnya untuk mengamankan dirinya sendiri dari serangan dari luar dalam bentuk apa pun, tentu terutama dari aksi terorisme.
Akan tetapi, pertanyaannya adalah mengapa ketujuh negara itu yang terkena kebijakan Trump. Memang, negara-negara tersebut sekarang tengah bergolak. Perang di Suriah belum ada pertanda kapan berakhir. Irak masih belum sepenuhnya aman dan bersatu. Kedua negara tersebut masih direcoki oleh sepak terjang kelompok bersenjata yang menyebut dirinya Negara Islam di Irak dan Suriah. Libya masih tetap bergemuruh, konflik bersenjata di antara kelompok belum usai.
Yaman masih dicabik-cabik perang. Perang di negeri itu, yang melibatkan Arab Saudi dan Iran, memakan banyak korban. Somalia negeri yang disebut-sebut sebagai sumber para perompak. Sudan masih dilanda konflik. Tetapi, Iran? Mengapa Iran juga dimasukkan ke kelompok tujuh negara itu? Apakah Iran di mata AS menjadi sumber gerakan teroris? Bukankah hubungan antara AS dan Iran belakangan ini mulai membaik setelah dicapainya kesepakatan tentang program senjata nuklir?
Apakah kondisi di negara-negara tersebut yang menjadi dasar terbitnya Perintah Eksekutif Trump itu? Apa pun alasannya, kebijakan tersebut akan menimbulkan banyak persoalan. Dan, bukan tidak mungkin kebijakan diskriminatif itu akan memunculkan tindakan balasan dalam berbagai bentuk.
Akan tetapi, yang lebih penting adalah kebijakan Trump itu telah menempatkan AS sebagai negara yang menyebut dirinya pembela demokrasi dan hak-hak asasi manusia masuk ke kotak hitam negara diskriminatif.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Januari 2017, di halaman 6 dengan judul "Kebijakan Diskriminatif Trump".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar