Sikap kecewa tanpa langkah politik yang bisa dilakukan Presiden Joko Widodo sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara tidak akan menolong Mahkamah Konstitusi. Ditangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar pada 2 Oktober 2013 dan tiga tahun kemudian Patrialis Akbar mempertontonkan ada yang salah dalam desain Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Dua hakim konstitusi dari partai politik ditangkap dalam sebuah lembaga yang beranggotakan sembilan negarawan adalah kejadian luar biasa.
Upaya pembenahan sebenarnya sudah dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Mahkamah Konstitusi. Perppu yang mengatur soal pola perekrutan hakim konstitusi, sistem pengawasan, dan jeda waktu bagi politisi untuk jadi hakim MK itu diterima DPR. Namun sayang, perppu tersebut dibatalkan oleh MK sendiri.
Sikap resisten MK ini yang membuat tragedi kedua itu terjadi kembali. Peristiwa tersebut sekaligus menunjukkan sistem anti korupsi di MK tidak berfungsi. Dewan Etik di MK gagal menjalankan fungsinya mendeteksi kesalahan besar ketika pelanggaran etik kecil dibiarkan. Sikap permisif MK ikut membuat kejadian kedua itu terjadi.
Patrialis memang membantah menerima suap. Namun, biarlah itu menjadi tugas KPK untuk membuktikannya. Reformasi MK harus dilakukan segera dan itu membutuhkan tangan serta kuasa Presiden. Sistem seleksi hakim konstitusi dari jalur Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung tak bisa dilepaskan begitu saja menjadi kewenangan lembaga. Sistem perekrutan oleh ketiga lembaga itu bukan berarti diambil dari unsur lembaga itu. Perekrutan oleh DPR, misalnya, bukan berarti diambil dari unsur politisi di DPR. Tak ada standar yang sama dari tiga lembaga bagaimana merekrut hakim konstitusi.
Kita tak ingin hakim konstitusi yang dikonstruksikan dari tiga jalur kemudian mengambil sikap menghamba atau mengamankan kepentingan lembaga yang mengusulkan. Para hakim konstitusi itu mengamankan konstitusi dan juga ideologi negara Pancasila.
Tanpa ada perbaikan undang-undang, peristiwa itu bisa saja terjadi lagi. Karena itulah, ungkapan kekecewaan dan permintaan maaf dari Ketua MK tak menjawab persoalan. Menerbitkan perppu adalah domain Presiden jika memang ada keinginan Presiden membenahi MK. Namun, sikap MK yang anti perubahan dan alergi terhadap pengawasan juga harus dihilangkan. Rakyat menunggu langkah konkret, bukan sekadar ungkapan kekecewaan.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Januari 2017, di halaman 6 dengan judul "Tak Cukup Hanya Kecewa"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar