Disebut tragedi karena telah terjadi kematian yang sia- sia. Padahal, kita baru saja dikagetkan oleh meninggalnya Amirulloh Adityas Putra, taruna tingkat I Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran Marunda, Jakarta, 10 Januari lalu. Duka belum hilang, aktualitas beritanya belum surut, lagi-lagi terjadi kekerasan di kampus yang berujung kematian.
Penanganannya kini tidak lagi mencukupi hanya menyempitkan kasus pada sebuah perguruan tinggi, tetapi kapstok persoalan yang ditangani harus menyeluruh. Tidak cukup hanya kuratif, tetapi preventif sekaligus.
Meski tidak ada hubungan langsung antara ketahanan fisik dan kemampuan akademik, sejarah pendidikan tinggi di negeri ini sering diwarnai secara sporadis jatuhnya korban sia-sia dalam kegiatan pengenalan mahasiswa baru. Padahal, ketahanan fisik bersifat komplementer, bukan syarat mutlak.
Setelah berkali-kali jatuh korban di lingkungan pendidikan tinggi yang berada di bawah koordinasi Kemristek dan Dikti, kegiatan yang berpotensi terjadinya kekerasan, kemudian dibenahi. Namun, korban kekerasan, bahkan kematian yang sia-sia, belakangan justru sering terjadi di lingkungan pendidikan tinggi kedinasan. Ironisnya, pembenahan selalu dilakukan setelah terjadi kasus, sifatnya reaktif, dilokalisasi, dan tidak pernah secara menyeluruh.
Meskipun pembenahan sifatnya reaktif dan post factum (sesudah kejadian), penanganan secara kuratif perlu diikuti penanganan secara preventif. Mencegah agar kejadian serupa tidak terulang serta membawa kembali roh pendidikan yang pedagogis bukan spartan-militeristis.
Dalam kasus kekerasan, pelaku, penanggung jawab acara, bahkan pimpinan lembaga perlu diklarifikasi sanksi berat-ringannya. Tujuannya agar kasus tidak terjadi lagi serta agar praksis pendidikan jauh dari aroma kekerasan fisik. Penetapan akreditasi yang menjadi hak dan otoritas Kemristek dan Dikti sebaiknya dijadikan sarana perbaikan.
Menyerahkan pengelolaan sekolah kedinasan ke Kemristek dan Dikti bukan jalan keluar yang mendesak, mungkin juga tidak perlu. Selain kementerian-kementerian punya hak prae-service bagi calon karyawannya, Kemristek dan Dikti juga kerepotan. Akan tetapi, mencegah kekerasan fisik tidak kembali terulang merupakan persepsi dan keinginan bersama praksis pendidikan.
Persepsi yang sama itu tidak dalam hal kekhasan, tetapi dalam hal mengembangkan sistem dan proses pendidikan yang terampil, tangguh sekaligus berkarakter, jauh dari aroma mengedepankan kekerasan dan impuls negatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar