Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 09 Januari 2017

Tonggak Baru Hak Masyarakat Adat (MIMIN DWI HARTONO)

Penantian panjang masyarakat adat yang diisi dengan berbagai bentuk perjuangan telah berbuah dengan ditetapkannya sembilan hutan adat oleh Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Seremoni atas penetapan itu dilakukan secara langsung melalui penyerahan surat keputusan oleh Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, pada 30 Desember 2016.

Sembilan komunitas adat yang tersebar di beberapa wilayah itu akan mengelola hutan adat seluas kurang lebih 13.100 hektar dan dihuni oleh sekitar 5.700 kepala keluarga.

Hutan adat

Ke sembilan hutan adat itu adalah Hutan Adat Ammatoa Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, luasnya mencapai 313,99 hektar.

Berikutnya Hutan Adat Marga Serampas, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi, dengan luas 130 hektar.

Hutan Adat Wana Posangke, Kabupaten Morowali Utara, seluas 6.212 hektar.

Hutan Adat Bukit Sembahyang dan Padun Gelanggang, Kabupaten Kerinci, Jambi, seluas 39,04 hektar.

Ada juga Hutan Adat Kasepuhan Karang, Kabupaten Lebak, Banten, seluas 486 hektar.

Hutan Adat Bukittinggi, Kabupaten Kerinci, Jambi, seluas 41,27 hektar.

Hutan Adat Tigo Luhah Permenti Yang Berenam, Kabupaten Kerinci, Jambi, dengan luas 276 hektar.

Selanjutnya Hutan Adat Tigo Luhah Kemantan, Kabupaten Kerinci, Jambi, dengan luas 452 hektar.

Terakhir Hutan Adat Tombak Haminjon, Kabupaten Humbahas, Sumatera Utara, dengan luas 5.172 hektar.

Selama 71 tahun Indonesia merdeka, baru kini eksistensi masyarakat adat diakui dan ditetapkan oleh negara. Keputusan pemerintahan Presiden Jokowi ini tentu menjadi tonggak emas perjuangan masyarakat adat.

Selama ini, masyarakat adat diabaikan keberadaannya oleh negara. Regulasi dan kebijakan negara banyak tidak berpihak kepada kelompok masyarakat yang sangat teraniaya ini. Izin-izin yang diterbitkan baik di sektor kehutanan, perkebunan, dan pertambangan di wilayah hutan adat sering tidak dikonsultasikan dengan pemilik hutan adat.

Perjuangan berat

Masyarakat adat yang berjuang mempertahankan hutan adatnya, karena menjadi urat nadi hidupnya, tidak jarang dipenjarakan dan menjadi korban kekerasan yang berujung dengan pembunuhan.

Regulasi dan kebijakan yang telah menihilkan eksistensi masyarakat adat itu menjadi justifikasi bagi pemegang izin untuk semena-mena memperlakukan masyarakat adat dengan melibatkan aparat negara.

Hal-hal tersebut di atas menjadi temuan Komnas HAM di dalam inkuiri nasional tentang hak masyarakat adat atas hutannya. Inkuiri nasional dilaksanakan pada 2014-2015 di tujuh region, yaitu Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Jawa, dan Bali-Nusa Tenggara.

Di setiap region, dilakukan bedah kasus beberapa kelompok masyarakat adat yang mempunyai karakteristik beragam. Di dalam proses inkuiri itu, kesaksian masyarakat adat direspons secara langsung oleh pihak yang diadukan (pemerintah, TNI/Polri, perusahaan, dan lain-lain).

Sebagai hasil dari inkuiri nasional yang merupakan metode pengungkapan kasus secara komprehensif dan baru pertama kalinya diterapkan di Indonesia, direkomendasikan agar pemerintah mengembalikan hutan-hutan adat yang selama puluhan tahun diklaim oleh negara.

Maka, pengakuan atas sembilan hutan adat itu tentu disambut gembira. Apalagi ini bukan hasil tiba-tiba, tetapi melalui proses panjang yang terutama didorong oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa hutan adat bukan hutan negara.

Selama beberapa tahun, putusan itu masih saja diabaikan dengan berbagai alasan khususnya eksistensi masyarakat adat harus diakui dalam bentuk peraturan daerah atau keputusan kepala daerah sebelum hutan adatnya dikembalikan.

Bagi masyarakat adat, memenuhi syarat tersebut ibarat keluar dari "mulut harimau masuk ke mulut buaya" karena hampir tidak mungkin ada kepala daerah yang mengakui keberadaan masyarakat adat. Bagi kepala daerah, mengakui eksistensi masyarakat adat berikut hak-haknya hanya akan mempersulit investasi dan keuntungan ekonomi.

Terobosan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar yang menetapkan hutan adat patut diapresiasi karena berani berpihak pada hak asasi manusia.

Meski demikian, sebagai bagian dari program reformasi agraria yang dijanjikan oleh Presiden Jokowi seluas 12,7 juta hektar, jumlah 13.100 hektar yang telah "dikembalikan" kepada masyarakat adat tentu masih sangat sedikit. Reformasi agraria, selain kepada masyarakat adat, juga akan diberikan kepada petani dan kelompok lain yang perlu.

Masih banyak hutan adat

Jumlah hutan adat yang harus "dikembalikan" kepada pemiliknya tentu masih banyak karena Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) telah memetakan wilayah adat di Nusantara yang total luasnya mencapai 8 juta hektar.

Hakikatnya, pengakuan hutan adat oleh negara bukan merupakan budi baik atau sumbangan dari negara, tetapi sebaliknya: sebagai bentuk dari penyesalan negara atas kebijakannya yang selama ini telah "merampas" hutan adat. Adalah kewajiban negara untuk memulihkan hak-hak masyarakat yang telah dilanggarnya.

Dengan penetapan hutan adat itu, masyarakat adat berhak mengelola hutan adatnya sendiri tanpa khawatir akan dihalangi oleh pihak lain. Dengan bertambahnya populasi masyarakat adat dan kebutuhan ekonomi yang meningkat, menjadi tantangan bagi masyarakat adat agar bisa mengelola hutan adatnya secara lestari dan mencukupi kebutuhan hidupnya.

MIMIN DWI HARTONO, STAF SENIOR KOMNAS HAM

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Januari 2017, di halaman 7 dengan judul "Tonggak Baru Hak Masyarakat Adat".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger