Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 21 Februari 2017

TAJUK RENCANA: NATO di Tengah Kerisauan (Kompas)

Persekutuan Pertahanan Atlantik Utara risau sejak Donald Trump terpilih sebagai Presiden AS karena saat kampanye Trump menganggapnya usang.

Apa yang dirasakan 28 anggota NATO bukannya tidak berdasar. Di luar pernyataan di atas, mereka juga mencium kedekatan antara Presiden Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin yang beberapa waktu terakhir memperlihatkan kebijakan agresif, seperti tampak di Ukraina.

Realitas ini di satu sisi terbaca amat kontradiktif, bahwa AS selaku negara pelindung dan pilar pertahanan utama NATO, yang selama lebih dari setengah abad terlibat dalam Perang Dingin dengan (dahulu) Uni Soviet, kini justru dipandang dekat dengan Rusia yang merupakan penerus Uni Soviet. Di sisi lain, pengamat melihat, jika pandangan di atas benar, itu menegaskan adagium: tak ada teman atau musuh yang abadi, yang abadi adalah kepentingan.

Dalam lawatannya ke Eropa, antara lain untuk menghadiri konferensi keamanan di Muenchen, Jerman, akhir pekan kemarin, Wakil Presiden AS Mike Pence mencoba meredam kekhawatiran sekutunya di NATO. Ia mengatakan, AS tetap menjaga komitmennya terhadap mereka.

"Ini janji Presiden Trump, kami akan berdiri bersama Eropa saat ini, dan setiap hari, karena kita terikat bersama dengan ide-ide mulia: kemerdekaan, demokrasi, keadilan, dan penegakan hukum," kata Pence.

Saat memberikan sambutan, Pence tidak banyak mendapat tepukan tangan, kentara bahwa sekutu NATO tidak yakin atas apa yang ia sampaikan. Dengan segala kemajuan yang dicapai, harus diakui, negara-negara Eropa tetap khawatir terhadap kondisi keamanan di kawasan mereka. Pengalaman Ukraina menjadi trauma tersendiri.

Mereka mengakui kenyataan bahwa andalan utama keamanan mereka adalah jaminan perlindungan keamanan oleh AS yang faktanya memikul 70 persen biaya pertahanan NATO. Apa jadinya jika semua tatanan yang ada selama ini berubah? Memang Pence mengatakan, AS akan bersikap keras terhadap Rusia. Khusus menyangkut Ukraina, AS akan meminta Rusia menghormati kesepakatan damai di Ukraina timur tersebut.

Yang lebih kuat tertanam di benak negara-negara Eropa adalah AS akan menarik diri dan mengutamakan kepentingan negaranya lebih dulu, sebagaimana dinyatakan dalam slogan Trump, "America First". Apalagi, pemimpin baru AS juga menyokong Brexit atau keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Di sini pun muncul kesan, Trump juga berharap negara lain akan mengikuti jejak Inggris. Bisa kita bayangkan konsekuensinya jika hal itu terjadi pada Uni Eropa yang beranggotakan 28 bangsa ini.

Betapa luar biasa fenomena Trump ini sehingga NATO yang sudah berjaya semenjak berdiri tahun 1949 dan demikian solid di era Perang Dingin kini dilanda kecemasan besar setelah munculnya pemimpin baru di AS.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Februari 2017, di halaman 6 dengan judul "NATO di Tengah Kerisauan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger