Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 21 Maret 2017

TAJUK RENCANA: G-20 dan Proteksionisme (Kompas)

Kekalahan G-20 menghadang proteksionisme bukan hanya kekalahan Jerman sebagai Ketua G-20, melainkan juga ancaman besar bagi ekonomi global.

Besarnya kontribusi perdagangan dalam pertumbuhan ekonomi global membuat maraknya proteksionisme bisa mengancam prospek pertumbuhan ekonomi dunia, justru di saat perdagangan global mengalami kolaps dewasa ini. Perdagangan dunia diprediksi OECD tumbuh nol persen 2017, menyusul pertumbuhan hanya 1 persen 2016.

Hampir satu dekade sejak krisis finansial global 2008, ekonomi dunia belum mampu keluar dari perangkap pertumbuhan rendah, antara lain akibat lesunya perdagangan dan investasi global, produktivitas dan upah. Lesunya pertumbuhan ekonomi global memicu memburuknya pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan di banyak negara.

Kebijakan proteksionis dan isu perubahan iklim—dua isu yang ditinggalkan dalam komunike para menteri keuangan G-20 di Baden-Baden, Jerman, 17-18 Maret—adalah dua isu penting yang dihadapi masyarakat dunia dewasa ini, sekaligus dua isu utama dalam propaganda America First yang membawa kemenangan Donald Trump dalam Pilpres AS pada 2016.

Kebijakan itu diwujudkan Trump lewat penerbitan dekrit penarikan diri AS dari sejumlah komitmen perdagangan multilateral dan ancaman pengenaan tarif dan sanksi bagi korporasi multinasional AS yang berproduksi di luar AS. Trump yang tak percaya adanya perubahan iklim juga bertekad memangkas belanja terkait lingkungan.

Kekecewaan berbagai kalangan pada G-20 bisa dipahami karena yang dipertaruhkan adalah pertumbuhan ekonomi global. Pada KTT setahun sebelumnya, G-20 berjanji memerangi segala bentuk proteksionisme. Kembalinya rezim proteksionisme juga kemunduran besar bagi liberalisasi perdagangan 15 tahun terakhir. Ironisnya, AS yang semula kampiun kapitalisme dan liberalisasi kini menjadi kampiun proteksionisme di bawah Trump.

Bukan hanya perekonomian global, perekonomian negara berkembang—khususnya Asia—juga akan merasakan dampaknya, mengingat ketergantungan besar perekonomian berkembang Asia—sebagai motor utama pertumbuhan ekonomi global—pada perdagangan. Sejumlah kalangan mengingatkan, sentimen proteksionisme AS dan negara maju lain bisa menuntun ekonomi global ke dalam resesi.

Kita berharap keputusan G-20 menoleransi sikap proteksionis AS dalam "proses belajar dan adaptasi" Trump sebagai presiden baru tak mencederai ekonomi global. Sikap AS yang menuntut perdagangan lebih berimbang mungkin bisa dipahami mengingat defisit masif neraca perdagangan yang dialami AS selama ini.

Persoalannya bagaimana AS bisa memperjuangkan perdagangan yang lebih berimbang dengan mitra-mitra dagang utamanya—di mana AS mengalami defisit perdagangan masif seperti China, Jerman, dan Meksiko—tanpa harus mengorbankan kepentingan negara lain dan ekonomi global secara keseluruhan.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Maret 2017, di halaman 6 dengan judul "G-20 dan Proteksionisme".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger