Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 29 Maret 2017

TAJUK RENCANA: Memprihatinkan Mahkamah (Kompas)

Kewibawaan MK terus digerogoti. Belum tuntas kasus dugaan korupsi Patrialis Akbar, lembaga tempat para negarawan bekerja itu disatroni pencuri!

Kita pantas menundukkan kepala. Bersedih dan geregetan menyaksikan kinerja lembaga produk perubahan UUD 1945 itu tak bisa beranjak menyelesaikan masalah. Pencurian berkas perkara sengketa Pilkada Dogiyai, Papua, sungguh keterlaluan! Yang lebih menyedihkan, pencurian dilakukan orang dalam Mahkamah Konstitusi itu sendiri.

Kepala Subbagian Humas MK Rudi Harianto disebut terlibat dalam pencurian itu. Juga terlibat dua anggota pengamanan MK, Edi Mulyono dan Samsuar. Mereka mengaku tidak hanya mencuri berkas sengketa Pilkada Kabupaten Dogiyai, tetapi juga berkas perkara Kabupaten Takalar (Sulawesi Selatan) dan Bengkulu Tengah.

Rentetan kejadian di MK, penangkapan Ketua MK Akil Mochtar, hakim konstitusi Patrialis Akbar, dan pencurian berkas perkara menunjukkan MK tak bisa bersih dari praktik tercela. Publik merasakan ada derajat penurunan kualitas kepemimpinan di MK. Ketua MK Jimly Asshiddiqie dan Mahfud MD relatif baik dalam memimpin MK meski suara "perdagangan perkara" sudah terdengar.

Sejak Akil Mochtar ditangkap, kepemimpinan MK terasa kian kedodoran. Etika hakim konstitusi beberapa kali diabaikan. Ketua MK Arief Hidayat pernah mengeluarkan katebelece dan mendapat teguran ringan dari Dewan Etik MK, Patrialis Akbar menjual putusan uji materi, dan satpam MK mencuri berkas perkara. Lengkap sudah kerusakan MK.

Presiden Joko Widodo sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara harus menyikapi serius peristiwa yang terjadi di MK. Mencermati berbagai perkara di MK, diawali dengan keterlibatan MK dalam penanganan sengketa pilkada. Kultur pilkada yang kotor, transaksional, telah merembes ke MK sampai Ketua MK Akil Mochtar menjual putusan MK soal pilkada.

Saran kita jelas dan terang. Dalam beberapa ulasan di kolom yang sama, sikap kita jelas. MK tak perlu menangani sengketa pilkada! Dengan sembilan hakim konstitusi, MK juga tidak mungkin memberikan keadilan substantif dalam penanganan sengketa pilkada. Kondisi ini membuat MK menjadi Mahkamah Kalkulator yang terbuka dipengaruhi pihak beperkara. Serahkan sengketa pilkada ke pengadilan khusus. Biarlah pemerintah dan DPR memikirkannya.

Terhadap kasus pencurian berkas itu sendiri, tidak ada kata lain: bersihkan semua orang MK yang terlibat. Harus diungkap motif pegawai MK mencuri berkas dan siapa yang menyuruhnya. Respons yang biasa saja terhadap kasus di MK membuat lembaga ini kian terpuruk dan bisa jadi tidak dipercaya orang.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Maret 2017, di halaman 6 dengan judul "Memprihatinkan Mahkamah".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger