Rasanya, kok, susah membandingkan antara studi banding para anggota DPR itu dan melancong. Begitulah yang saya pikirkan menanggapi niat Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu untuk mempelajari sistem pemilu di Jerman dan sistem presidensial di Meksiko. Dari sisi waktu saja, hanya enam hari termasuk perjalanan, jelas tidak cukup untuk sungguh-sungguh belajar.
Bagaimana caranya menyerap semua peraturan, termasuk undang-undang, baik di Jerman maupun Meksiko? Belum lagi kendala bahasa. Terus terang, saya meragukan kemampuan mereka yang bertugas studi banding kecuali mereka berkapasitas setara almarhum Gus Dur.
Belum lagi rencana anggaran untuk keperluan tersebut yang mencapai miliaran rupiah. Alangkah baiknya jika biaya tersebut bisa membantu korban banjir dan tanah longsor.
Umumnya para anggota DPR yang terhormat adalah orang-orang pintar. Sayang, mereka tidak cerdas sehingga kepintarannya tidak bisa disalurkan untuk membuat pintar orang lain. Seharusnya kalau merasa pintar, bisa membuat rakyat yang diwakilinya semakin pintar dan cerdas.
Sebetulnya, jika studi banding bisa diganti dengan memanggil duta besar berikut staf negara yang dimaksud, upaya studi banding ini akan menjadi efektif dan efisien. Duta besar dan stafnya pasti sudah bertahun-tahun mewakili negaranya, jadi tentu tahu seluk-beluk peraturan, perundang-undangan, dan sistem pemilu di negerinya.
Jika studi banding hanya kedok untuk melancong ke luar negeri, lebih baik ambil cuti dan melanconglah bersama keluarga. Jangan memakai uang rakyat.
SLAMET KARTOSUMARTO
Jl Letkol Komirkartaman 10 Tasikmalaya, 46112
Sistem Karantina
Menanggapi Tajuk Rencana harianKompas (Kamis, 30/3) tentang masih adanya hambatan terhadap impor barang contoh (sampel) furnitur sebagai akibat proses karantina pertanian, kami sampaikan bahwa Badan Karantina Pertanian memakai sistem Indonesian Single Risk Management (IRSM).
IRSM adalah kebijakan teknis perkarantinaan berbasis analisis risiko untuk menentukan status media pembawa yang akan diimpor. Kebijakan ini selaras dengan kebijakan fasilitasi perdagangan dalam rangka peningkatan daya saing ekspor dan merujuk pada ketentuan standar internasional IPPC-FAO (ISPM 32 tentang kategorisasi menurut risiko organisme pengganggu tumbuhan, OPT).
Berdasarkan analisis risiko organisme pengganggu tumbuhan, bahan furnitur yang sudah full processing berisiko membawa organisme pengganggu tumbuhan karantina (OPTK) sangat rendah atau dapat diabaikan.
Berdasarkan analisis risiko itu, Badan Karantina Pertanian melalui Surat Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor 12471/KR.020/K/1/2016 tanggal 8 Desember 2016 menyatakan, beberapa komoditas, khususnya produk olahan kayu yang sudah melewati proses pengolahan pemanasan dan tekanan tinggi (full processed) atau di-finishing,antara lain furnitur, plywood, particle board, wafer bard, veneer, dan medium density/fibreboard (DHF) tidak memerlukan Sertifikat Kesehatan Tanaman (Phytosanitary Certificate).
Untuk memadukan kebijakan tersebut dengan Indonesian Single Window (INSW), kami telah menyurati pengelola portal INSW untuk mengeluarkan jenis komoditas tersebut dari daftar Lartas Karantina Tumbuhan.
JAPAR SIDIK
Kabag Hukum dan Humas
Badan Karantina Pertanian
Tagihan Melonjak
Saya terkejut saat membayar tagihan Matrix 0816198xxxx yang melonjak Rp 980.000. Padahal, biasanya tagihan saya maksimal Rp 200.000. Paket internet di Matrix suka berubah-ubah sendiri meski saya sudah komplain.
Terakhir saya menerima SMS dari Indosat pada tanggal 15/2/2017 menyatakan bahwa pemakaian dengan tarif per KB adalah Rp 49.094. Padahal, jauh sebelum itu paket saya seharusnya sudah Unlimited.
Tanggal 16/2/2017, saya lapor ke gerai Indosat di Pondok Indah. Lalu saya mendapat SMS yang menyatakan paket sudah diubah kembali menjadi Unlimited.
Kesimpulannya, tagihan sampai 15/2/2017 adalah Rp 49.094 ditambah tagihan Unlimited Rp 100.000. Maka, seharusnya tagihan saya sekitar Rp200.000.
Mohon Indosat segera menyelesaikan masalah ini.
ANHAR SULAIMAN
Taman Rempoa Indah, Ciputat, Tangerang Selatan
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 April 2017, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar