Semakin miris dan gemas rasanya melihat kelakuan para pengendara sepeda motor di Jakarta yang semakin seenaknya melanggar aturan. Mereka menerobos jalur transjakarta, berkendara tanpa helm, kendaraan tanpa pelat nomor, melaju di trotoar dan jalur tengah, menerobos lampu merah, dan melawan arus.
Yang lebih parah lagi, saat kita mencoba mengingatkan dengan cara menegur mereka baik-baik, sikap mereka jauh lebih galak. Mereka menghadapi kita dengan mata melotot, bahkan kadang mengumpat, yang membuat kita mengalah sambil mengurut dada. Rupanya mereka merasa hak dan kesenangannya diganggu.
Saya melihat petugas lalu lintas di lapangan bersikap masa bodoh, terkesan membiarkan perilaku itu terus berlangsung. Mungkin karena mereka sudah beberapa kali mencoba, tetapi tidak berdampak apa-apa.
Operasi Simpatik yang dilakukan jajaran kepolisian sampai 21 Maret 2017 ternyata juga tidak cukup kuat dampaknya untuk mengatasi hal ini. Oleh karena itu, melalui surat terbuka ini saya mengimbau agar para petugas lalu lintas secara terus-menerus dan berkelompok menggelar penertiban atas pelanggaran oleh para pengendara roda dua yang saat ini sudah mencapai titik nadir, khususnya di kawasan Ibu Kota. Hal ini demi keselamatan pengendara sepeda motor itu sendiri maupun pengguna jalan dan pengendara kendaraan bermotor lain.
Perlu ada program kerja sama antara pihak kepolisian dan masyarakat secara bersama-sama untuk mengatasi masalah ini sehingga para pelanggar lalu lintas tersebut tidak hanya takut dengan seragam polisi lalu lintas saja.
Perlu adanya sanksi yang memberi efek jera dan membuat para pengendara sepeda motor ini berpikir ulang untuk melakukan pelanggaran lalu lintas, khususnya dalam hal melawan arus yang jelas membahayakan pengendara lalu lintas yang lain yang berlaku tertib.
TANOE WIJAYA, MITRA GADING VILLA, KELAPA GADING, JAKARTA UTARA
Memelihara Sarana Publik
Baru-baru ini lift di suatu pusat perbelanjaan jatuh dalam kondisi padat penumpang. Syukurlah mereka hanya cedera, tidak ada yang meninggal.
Kasus jatuhnya lift di Jakarta ini bukan yang pertama terjadi. Beberapa waktu lalu, di salah satu gedung perkantoran di kawasan TB Simatupang, ada lift jatuh dan penumpangnya meninggal.
Jatuhnya lift ini harus menjadi teguran bagi setiap pengelola gedung yang menyediakan fasilitas lift, jangan sampai kasus seperti ini tidak terjadi lagi. Apalagi di pusat perbelanjaan yang ramai pengunjung.
Pertanyaannya kemudian, berapa kali suatu lift dicek kondisinya, dijaga agar tetap aman dan berfungsi optimal? Setiap hari? Seminggu sekali? Siapakah yang bertugas memeriksa perawatan lift berlangsung baik dan beroperasi sesuai standar?
Jika di pusat perbelanjaan juga tersedia eskalator, ada baiknya para pengunjung diimbau untuk lebih banyak naik eskalator. Dengan demikian, lift hanya diprioritaskan untuk lansia, difabel, ibu hamil, serta ibu yang membawa bayi dan balita. Lift menjadi kurang bebannya, lebih mudah pemeliharaannya, dan berfungsi optimal.
KARLA WAURAN, MAHASISWA IISIP 2014 JL JAGAKARSA, JAKARTA SELATAN
Jembatan Semanggi
Kami ingin menambah informasi pada tulisan di harian Kompas terbitan 20 Maret 2017 tentang metamorfosis Semanggi.
Arsitek atau lebih tepatnya perencana Jembatan Semanggi adalah Prof Dr (HC) Ir Sutami. Ia menggandeng konsultan teknik BBRV dari Swiss. Informasi ini bisa dibaca dalam tulisan Prof Dr Ir Wiratman Wangsadinata dalam buku berjudulCakrawala Rooseno (Yayasan Obor Indonesia 2008, halaman 311).
Penggunaan beton pratekan di Indonesia untuk pertama kalinya diperkenalkan Sutami dalam pembangunan Jembatan Semanggi, tahun 1961.
Ir Sutami adalah seorang insinyur teknik sipil lulusan ITB tahun 1956. Ia juga yang membantu menghitung konstruksi bangunan Gedung MPR/DPR.
Ia sudah menjadi menteri tahun 1964 pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, berlanjut sebagai Menteri Pekerjaan Umum pada pemerintahan Presiden Soeharto selama 12 tahun (1966-1978).
EMIR SANAF, JALAN BATU INDAH VII BANDUNG 40266
Tidak ada komentar:
Posting Komentar