Yang dibutuhkan ialah sinkronisasi peraturan perundangan yang masih terserak, termasuk percepatan penetapan desa adat. Hal ini mengingat target 12,7 juta hektar reforma perhutanan pada 2019 setara 5.080 desa adat dan sudah ada utang penetapan lebih dari 350 desa adat yang resmi diajukan pemda hingga 2017.
Upaya membangun masyarakat adat mencakup tiga aspek: rekognisi keberadaan masyarakat dan desa adat, subsidiaritas atas wewenang adat, dan dukungan keberlanjutan pembangunan kawasan adat. Pilihan desa adat mengandung keunggulan mengakui warga adat, mewujudkan pemerintahan lokal berbasis adat, kepemilikan aset adat.
Instruksi presiden (inpres) menjadi motor percepatan desa adat, menggerakkan kementerian dan lembaga di pusat, sekaligus pemerintah provinsi, kabupaten dan kota. Karena tercantum pada dokumen perencanaan strategis RPJMN 2015-2019, reforma agraria kehutanan beserta konsekuensi pendirian desa adat tergolong penetapan wilayah strategis.
Justifikasi ini tepat dicantumkan dalam inpres sehingga pemerintah pusat berhak berinisiatif membentuk desa adat.
Sejalan dengan Peraturan Mendagri No 1/2017 tentang Penataan Desa, inpres dapat menugasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mempercepat delineasi wilayah hutan adat, dan menyampaikan permohonan penetapan desa adat kepada Kemendagri. Didasari Peraturan Mendagri No 45/2016 tentang batas desa, program pemetaan Badan Informasi Geospasial sebaiknya dialihkan ke desa adat. Dengan demikian, negara punya peta, nama dan batas desa yang jelas, berikut jumlah penduduknya.
Kemendagri bisa ditugasi mempercepat penyusunan surat keputusan desa adat dan langsung dilengkapi kode desa adat. Sampai titik ini pendirian desa adat menjadi kepastian.
Untuk melengkapi rekognisi, inpres dapat menugasi Kementerian Agraria dan Tata Ruang menyertifikasi hutan adat sebagai lahan komunal sesuai Peraturan Mendagri No 10/2016. Selanjutnya, inpres mengharuskan lahan itu menjadi aset desa adat terkait. Sesuai Peraturan Mendagri No 1/2016, begitu menjadi aset desa, hutan adat mustahil hilang lagi.
Karena telah memiliki kode desa adat, Kemenkeu dapat ditugasi mengalirkan dana desa ke sana. Kementerian Desa PDTT dan Bappenas memprioritaskan kegiatan di kawasan desa adat. Agar hasil percepatan pembentukan desa adat akurat, inpres perlu memerintahkan keikutsertaan organisasi kemasyarakatan yang memiliki informasi masyarakat adat dan peta wilayah adat.
Instruksi mendagri
Proses berikutnya berada pada pemerintah kabupaten/kota dan provinsi. Inpres bisa terus menginstruksikan bupati/wali kota, gubernur, dan anggota DPRD untuk memprioritaskan ketetapan atas adat. Selebihnya, giliran Kemendagri yang berperan.
Instruksi Mendagri mencakup pelaksanaan Permendagri No 52/ 2014, agar bupati/wali kota langsung membentuk panitia masyarakat hukum adat, serta selambatnya sebulan kemudian memutuskan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, wilayah adat, aset adat, dan pemerintahan adat. Bupati/wali kota meresmikan peraturan tentang kewenangan desa adat sesuai Permendagri No 44/2016.
Yang krusial, Mendagri menginstruksikan pembahasan raperda desa adat. Menurut UU No 23/2014 tentang Otonomi Daerah, legislasi otomatis masuk daftar kumulatif terbuka raperda penataan desa. Karena keputusan Mendagri dilengkapi kode desa adat, pembahasan lebih untuk persetujuan penetapan di kabupaten/kota dan provinsi. Menurut Peraturan Mendagri No 1/2017, penetapan peraturan daerah desa adat inisiasi pemerintah dilarang lebih dari dua tahun.
Instruksi Mendagri kepada pemerintah provinsi ialah mempercepat evaluasi peraturan daerah penetapan desa adat, memberi nomor registrasi, dan langsung melaporkan kepada Mendagri.
Untuk mengontrol percepatan desa adat di kabupaten/kota dan provinsi, Peraturan Mendagri tentang penyusunan APBD yang terbit tahunan harus berisi kewajiban memprioritaskan penetapan masyarakat hukum adat, desa adat, dukungan kegiatan pembangunan kawasan adat. Regulasi itu memberi hak Mendagri untuk mencoret anggaran pemerintah daerah yang memperlambat penetapan desa adat.
IVANOVICH AGUSTA
Sosiolog Pedesaan IPB Bogor
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 April 2017, di halaman 6 dengan judul "Mempercepat Desa Adat".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar