Judul itu menanggapi operasi tangkap tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Direktur Utama PT PAL Firmansyah Arifin sebagai tersangka penerima suap terkait penjualan kapal ke Filipina. Selain Firmansyah, KPK juga menetapkan General Manager Treasury PT PAL Arif Cahyana dan Direktur Keuangan PT PAL Saiful Anwar.
Sebelumnya, sejumlah petinggi BUMN juga terjerat suap, seperti mantan Dirut Garuda Emirsyah Satar dan Dirut Pelindo II Richard Joost Lino. Mereka sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, tetapi prosesnya belum juga bergerak ke pengadilan. Lino ditetapkan sebagai tersangka pada Jumat, 18 Desember 2015. Itu sudah terlalu lama kasus ini diambangkan! Sementara Emirsyah ditetapkan sebagai tersangka 19 Januari 2017. Petinggi BUMN dari Adhi Karya juga pernah dijerat sebagai tersangka kasus korupsi dalam kasus pembangunan proyek Hambalang.
Masih terjeratnya dugaan suap/korupsi pada petinggi BUMN paling tidak menggambarkan kultur birokrasi di BUMN belumlah berubah. Seorang petinggi BUMN dan sekarang sudah meninggalkan BUMN mengatakan kultur BUMN memang harus direformasi. Sepuluh tahun kondisinya tidak banyak berubah. Masalahnya adalah apakah kultur suap, komisi, gratifikasi, atau dalam bahasa yang lebih modernmarketing fee yang hidup dalam BUMN disadari sebagai masalah atau tidak oleh Kementerian BUMN? Apakah perubahan kultur kerja itu dijadikan prioritas atau tidak selain program strategis lain?
Kampanye zero tolerance di lingkungan BUMN adalah baik, tetapi tidak cukup jika memang tidak ada upaya untuk mereformasi kultur BUMN tersebut. Harus ada indikator yang jelas bagaimana capaian keberhasilan zero tolerance untuk korupsi itu? Menteri BUMN harus menaruh perhatian serius terhadap perubahan kultur BUMN yang betul-betul zero tolerance terhadap praktik korupsi.
Terus merajalelanya korupsi membutuhkan hukum progresif. Dan, kita tak boleh lelah melawan praktik korupsi. Ini membutuhkan nyali dan dukungan politik. Selain hukuman berat dan merampas aset koruptor, hukuman tambahan berupa penambahan data diri "mantan terpidana korupsi sekian tahun" dalam program KTP elektronik selayaknya dipertimbangkan.
Terhadap kasus PT PAL, kita dorong KPK bergerak cepat menuntaskannya. Namun, terhadap kasus Pelindo II yang sudah lama, kita juga mendorong KPK untuk tidak terlalu lama menggantung kasus tersebut. Keadilan yang tertunda sama dengan ketidakadilan itu sendiri.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 April 2017, di halaman 6 dengan judul "Jangan Pernah Lelah".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar