Dalam laporan lembaga yang dikenal sebagai Suhakam dan dipublikasikan oleh Reuters itu, sebanyak 83 orang tewas pada 2015 dan hingga 20 Desember 2016 setidaknya 35 orang lagi tewas. Di antara para korban terdapat 63 migran asal Myanmar.
Sebanyak 68 orang di antara mereka meninggal karena penyakit seperti radang paru-paru, infeksi bakteri leptospirosis yang menular melalui binatang seperti tikus, dan tuberkulosis. Penyakit ini diperparah oleh kualitas sanitasi dan makanan yang buruk serta minimnya layanan kesehatan. Mantan penghuni detensi menyebut sulit untuk mengakses air bersih. Tahanan yang sakit tidak diisolasi sehingga penyakit mudah menular.
Pemerintah Malaysia menyebut hal ini terjadi karena aliran migran masuk Malaysia melebihi kapasitas detensi. Padahal, anggaran untuk mengurus para migran terbatas. Terdapat 13 rumah detensi imigrasi di Malaysia, yang pada puncaknya tahun 2016 menampung hingga 86.795 orang.
Apa yang terjadi di Malaysia ini adalah potret yang terjadi di banyak negara berkembang, bahkan negara maju. Seperti yang terjadi di Pulau Manus, Papua Niugini, yang oleh Australia dijadikan tempat detensi pencari suaka yang datang lewat laut. Buruknya kondisi detensi imigrasi menyebabkan kekacauan dan beberapa pencari suaka mencoba bunuh diri.
Sejumlah negara lain, termasuk Indonesia, menjadi tempat transit migran menuju negara tujuan. Rumah detensi, untuk menampung migran tanpa dokumen imigrasi, kerap tak mampu menampung banyaknya migran.
Hal ini menyebabkan para migran, pencari suaka, bahkan mereka yang sesungguhnya berhak atas status pengungsi menjalani hidup yang tidak manusiawi. Mereka yang meninggalkan negerinya untuk menghindari penganiayaan, kekerasan, dan peperangan menempuh perjalanan yang penuh bahaya, dan di negara penampung sementara hidup dalam kondisi yang tidak memuliakan martabat mereka sebagai manusia.
Tidak mudah untuk mengatasinya karena konflik dan kekerasan yang tak henti menyebabkan jumlah orang yang terpaksa meninggalkan kampung halaman untuk pertama kalinya menembus 65 juta orang pada 2016. Selain memperbaiki kondisi detensi imigrasi agar lebih manusiawi, komunitas internasional harus bekerja lebih keras untuk menghentikan konflik dan kekerasan yang menjadi penyebab timbulnya pengungsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar