Hingga pertemuan di Taormina, Italia, akhir pekan lalu berakhir, Presiden Amerika Serikat Donald Trump memilih tidak mengambil keputusan soal sikap negaranya terhadap isu perubahan iklim yang dicapai dalam Kesepakatan Paris, Desember 2015.
Penolakan Trump yang menyatakan AS akan tetap melanjutkan komitmen yang dibuat Barack Obama itu dianggap paling kontroversial dari pertemuan G-7.
Dalam kicauannya di Twitter pada Sabtu (27/5) petang waktu Taormina, Trump mengatakan akan membuat keputusan mengenai kesepakatan iklim pekan depan. Sebanyak 195 negara menandatangani Kesepakatan Paris.
Trump menentang kesepakatan iklim saat berkampanye sebagai calon presiden AS tahun lalu. Kemungkinan besar sikap tersebut tidak akan berubah meskipun Trump mendapat banyak desakan untuk mematuhi Kesepakatan Paris dari dalam negeri AS dan dari pemimpin lain di dalam G-7 yang terdiri dari AS, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, dan Perancis.
Kesepakatan iklim meminta negara-negara penanda tangan mengurangi emisi gas rumah kaca, terutama karbon, sebagai penyebab naiknya suhu muka bumi secara global. Sebagai konsekuensi penandatanganan kesepakatan tersebut, AS sebagai negara dengan ekonomi terbesar dunia berkomitmen menyumbang "dana hijau" untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan mencari energi pengganti yang lebih bersih.
Kesediaan AS menandatangani kesepakatan pada tahun 2015 dianggap sebagai langkah maju mengingat selama ini negara tersebut selalu menentang.
Jika AS nanti terbukti mundur dari kesepakatan atau setidaknya menarik diri dari pokok-pokok utama perjanjian, hal itu menjadi pukulan berat bagi upaya memitigasi perubahan iklim akibat pemanasan global mengingat posisi AS sebagai negara dengan ekonomi terbesar dunia.
Dalam konteks global, sikap Trump yang tidak memberikan komitmen dapat membahayakan Kesepakatan Paris. Sikap tersebut dapat diikuti negara lain, terutama negara berkembang yang ekonominya sedang bertumbuh cepat.
Hingga saat ini, negara-negara anggota kartel penghasil minyak, OPEC, misalnya, tidak pernah membahas pengurangan produksi minyak bumi dalam konteks mengatasi perubahan iklim. Pengurangan produksi minyak bumi OPEC lebih untuk mengatrol harga minyak yang merosot sejak tahun 2014. Sementara AS sendiri saat ini adalah penghasil minyak dan gas serpih (shale oil and gas) terbesar dunia. Kita berharap Trump akan menimbang dengan baik berbagai fakta perubahan iklim saat mengambil keputusan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar