Memang ada jargon reformasi total dan reformasi mental yang dikumandangkan Presiden Joko Widodo, tetapi jargon tetap jargon, yang tidak mengubah perilaku. Memang telah dibentuk tim sapu bersih pungli yang diketuai Menko Polhukam Wiranto, tetapi suap tetap terjadi. Suap kali ini terjadi di lingkungan pejabat negara.
Bangsa ini tak kekurangan aturan untuk mencegah korupsi. Ada ketetapan MPR, ada setumpuk undang-undang tindak korupsi, ada instruksi presiden, ada sumpah jabatan, tetapi korupsi tetap saja eksis dalam kehidupan sehari-hari. Ada lembaga negara yang bertugas mengawasi keuangan negara seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ada fungsi inspektorat jenderal di kementerian yang berfungsi mencegah penyelewengan, tetapi kali ini justru merekalah yang menjadi aktor utamanya.
Kita geram dan marah ketika opini wajar tanpa pengecualian (WTP) BPK telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Bukan kali ini saja auditor BPK ditangkap karena memperjualbelikan opini WTP. Harga WTP berkisar ratusan juta rupiah hingga miliaran rupiah dimanfaatkan untuk memperkaya auditor BPK. Pada sisi lain, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi terdorong untuk mendapatkan opini WTP sebagai "pertanda" kementeriannya bersih. Karena pertemuan dua kepentingan itulah jual beli opini WTP terjadi. Padahal, sertifikat WTP bukan jaminan kementerian terbebas dari korupsi.
BPK bukanlah lembaga sertifikasi, apalagi jual beli sertifikat. BPK adalah lembaga negara yang punya mandat dari konstitusi untuk memeriksa pengelolaan keuangan negara. Apa yang dilakukan auditor utama BPK, Rochmadi Saptogiri, dan Ali Sadli, serta Irjen Kementerian Desa Sugito dan anggota stafnya, Jarot Budi, berkongkalikong untuk mendapatkan opini WTP adalah tindakan amat mengecewakan sekaligus memalukan.
Kita dorong KPK mengungkap tuntas siapa pun yang terlibat dalam kasus korupsi pembelian opini WTP. Bagi BPK, inilah momentum berbenah diri agar jual beli opini WTP tak terjadi lagi. Menurut data Indonesia Corruption Watch, pada 2005-2017 ada enam kasus yang melibatkan 23 auditor/staf BPK. Dari 23 nama itu, 5 orang telah divonis bersalah, 14 orang mendapat sanksi internal, dan 4 orang masih diproses KPK. Komitmen baru harus dibangun.
Kita mendorong Presiden Jokowi untuk tidak terlalu membanggakan laporan keuangan kementerian beropini WTP dari BPK jika proses memperoleh opini WTP itu dilakukan dengan cara tidak terhormat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar